KULIAH
Meski saya punya 6 gelar akademik, saya beritahu satu hal: gelar tersebut didapat bukan dari universitas idaman atau top. Saya pernah dikomentari, “Buat apa kuliah di banyak tempat, tapi tak satupun yang hebat dan terkenal!” Saya ingin ceritakan ini agar kawan-kawan yang kebetulan kuliah bukan di Universitas top tetap semangat mengejar impiannya. Gak usah hiraukan hinaan orang.
Sebagai anak madrasah, jalur saya yah melanjutkan kuliah ke IAIN (belakangan berubah jadi UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, di mana kebetulan rumah dinas Abah saya di dalam kampus. Jadi, saya cuma melangkah 100 meter untuk kuliah. Sore hari ambil kuliah di Fakultas Hukum UMJ (Universitas Muhammadiyah Jakarta), kampus swasta di Cirendeu, yang jelas bukan termasuk papan atas.
Saat meneruskan kuliah s2, saya kuliah di UNE (University New England) yang jarang dikenal, bahkan berada di kota kecil terpencil Armidale. Saya kuliah juga s2 program LLM di Fakultas Hukum, Northern Territory University (sekarang berubah jadi Charles Darwin University) —ini juga kampus urutan menengah ke bawah.
Saat ambil program PhD yang pertama, di University of Wollongong, yang sekali lagi juga bukan papan atas. Ambil program PhD yang kedua di NUS (National University of Singapore), yang kalah ‘bergengsi’ dengan kampus di Amerika dan Eropa.
Point dari cerita ini adalah bukan kampus top yang akan menentukan masa depan kita, tapi ya kita sendiri. Sekarang saya mengajar di Monash University, salah satu kampus terbaik di Australia. Banyak kolega saya itu lulusan Harvard, Cambridge dan Oxford. Kok bisa anak madrasah kayak saya ini mengajar bersama mereka?
Publikasi buku dan artikel saya melampaui Ciputat dan Cirendeu tempat saya kuliah s1 dulu. Routledge, Oxford, Cambridge, ISEAS, dan Edward Elgar adalah penerbit tulisan saya di luar negeri.
Sekali lagi, bukan nama besar sekolah dan kampus yang akan menentukan masa depan kita: tapi komitmen, kesungguhan dan tak kenal menyerah dalam menuntut ilmu yang menjadi ukuran keberhasilan kita kelak.
Muda
Gara-gara pernah dapat julukan cendekiawan muda, Gus Dur dan Gus Mus selalu dianggap muda, bahkan panggilan ‘Gus’ pun selalu melekat, seolah gak pernah tua untuk kemudian layak ‘naik pangkat’ dari Gus menjadi Kiai. Padahal kita tahu K.H. Ahmad Mustofa Bisri sudah punya cucu dan berusia tembus 70 tahun (semoga Allah selalu mengaruniai beliau kesehatan dan panjang usia. Amin Ya Allah).
Sebenarnya muda atau tua itu bersifat relatif. Dibanding saya tentu Mbah Yai Mustofa Bisri itu masuk kategori tua, tapi dibanding orang lain yang berusia lebih sepuh 90 tahun, misalnya, tentu usia beliau masih lebih muda. Tapi kalau soal ganteng, jelas Mbah Yai Mus tetap lebih ganteng dibanding saya 🙂
.
Di Australia wajah bule itu kelihatan lebih tua dibanding wajah orang asia. Kolega saya di kampus banyak yang seusia dengan saya tapi wajahnya terlihat lebih tua. Sering saya disangka masih sebagai mahasiswa. Dua kali saya ditegur staff library Monash karena saya masuk ke area yang hanya boleh diakses oleh dosen. Bahkan pernah dulu saat masih mengajar di UOW saya dihardik staff bagian riset karena membawa dokumen rahasia nama penguji disertasi untuk mahasiswa s3 saya. Disangka saya lah yang mahasiswa dan bukan pembimbing disertasi.
Di tanah air, seringkali banyak yang kaget setelah bertemu saya secara langsung karena tidak menduga ada Rais Syuriah NU yang menurut mereka masih terlihat muda. Repotnya saya ini selalu gagal menua-nuakan diri. Saya susah buat jaim. Dan dengan mudahnya saya bisa cepat akrab dengan siapa saja, dan langsung guyonan. Padahal saya juga sudah tidak muda lagi. Usia sudah menuju kepala 5. Anak saya yang paling tua sebentar lagi wisuda.
Beberapa website menyebut saya sebagai “intelektual muda NU”. Entah kenapa harus ada kata “muda” diselipkan di sana yah. Penekanan apa yang hendak dimaksudkan dengan kata “muda” tersebut. Kenapa begitu pentingnya menyifatkan muda atau tua sebagai atribut?.
Muda atau tua, buat saya, yang paling penting itu bagaimana kita bisa terus bermanfaat untuk sesama, sesuai pesan Nabi Muhammad terkasih.
.
Tabik,
.
Nadir yang masih “lugu dan menggemaskan” [HM]