Pada sebuah sore di UIN Sunan Ampel Surabaya, terdapat sekelompok mahasiswa dengan penampilan cukup berbeda yang berjalan di sudut Fakultas Ushuluddin dan Filsafat. Sekelompok mahasiswa itu di antaranya terdiri dari perempuan berpenampilan rapi dengan rambut tergerai, tidak hanya berjumlah dua atau tiga, tetapi mungkin puluhan bahkan belasan.
Awalnya saya menganggap biasa, karena mungkin ada agenda tertentu dari salah satu program studi di fakultas tersebut. Namun, pada beberapa sore berikutnya di mana saya biasa bersantai seraya mengerjakan tugas di gazebo setempat, sekelompok mahasiswa tersebut senantiasa ada dengan orang yang terkadang berbeda tiap momennya. Oleh sebab itu, saya tertarik untuk mencari tahu lebih dalam tentang itu.
Seiring dengan rasa penasaran yang terus bertumbuh, pada sebuah momen yang bertepatan, saya bertemu salah satu kawan saya yang ternyata tergabung bersama anggota kelompok tersebut. Seorang mahasiswa bernama Vita Dzurratul Afia merupakan kawan saya yang dipertemukan pada program pertukaran mahasiswa di Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM). Untuk satu dan lain hal, saya dan Vita saling menanyakan perkuliahan masing-masing. Seketika itu juga saya menanyakan kepadanya tentang apa yang dilakukannya.
Mengambil posisi duduk dan dengan gaya penyampaian yang khas, Vita menceritakan bahwa mereka merupakan bagian dari Kelompok Studi Agama Lintas Agama yang menjadi agenda dari himpunan mahasiswa program studinya di UINSA.
Vita juga menjelaskan bahwa adanya sekelompok orang itu bukan hanya sekadar sebagai kegiatan rutin himpunan mahasiswa, tetapi juga merupakan wadah untuk memahami dan merayakan keberagaman agama di lingkungan kampus.
Saya mencoba menggali lebih dalam atas pernyataannya. Saya melontarkan beberapa pertanyaan dan kemudian Vita mengungkapkan, “Kita percaya bahwa keberagaman adalah kekayaan, dan melalui kelompok ini, kita berusaha menjembatani perbedaan-perbedaan tersebut untuk menciptakan lingkungan kampus yang harmonis dan inklusif.”
Setiap pertemuan kelompok ini, kata Vita, diisi dengan diskusi terbuka tentang aspek-aspek keagamaan dari lintas keyakinan. Mahasiswa dari lintas agama dan program studi berkumpul untuk saling berbagi pengalaman dan pandangan.
“Ini adalah momen di mana kita dapat melihat keagamaan dari perspektif yang berbeda, dan itu membantu kita untuk lebih menghargai dan memahami satu sama lain,” demikian tambahnya.
Dengan itu, saya semakin tertarik dengan kedalaman diskusi dan semangat kelompok ini dalam menjalankan aktivitas mereka. Vita melanjutkan dengan menceritakan dinamika diskusi atau belajar bersama di antara mereka.
Setiap pertemuan diisi dengan interaksi antar-mahasiswa dari latar belakang keagamaan yang berbeda. Mereka tidak hanya duduk dalam satu kelompok, tetapi membentuk lingkaran yang mencerminkan kesetaraan dan kebersamaan. Diskusi tidak hanya terfokus pada teori-teori keagamaan semata, tetapi juga pada nilai-nilai moderasi yang aplikatif untuk menunjang kehidupan bermasyarakat.
Selain itu, Vita juga menguraikan bahwa kelompok ini tidak hanya berfokus pada diskusi internal. Mereka juga mengadakan kunjungan ke tempat-tempat ibadah berbagai agama, mencoba memahami lebih dalam praktik ibadah dan nilai-nilai keagamaan yang dijunjung tinggi oleh teman-teman mereka.
“Kunjungan ke tempat ibadah merupakan bagian penting dari upaya kita untuk merasakan secara langsung pengalaman keagamaan sesama mahasiswa. Kita ingin menciptakan toleransi yang bukan hanya sebatas kata-kata, tetapi menjadi pengalaman nyata yang kami anut dalam kehidupan sehari-hari,” jelas Vita.
Tak hanya itu, kelompok ini juga sesekali berkolaborasi dan terlibat aktif dalam menyelenggarakan agenda-agenda tertentu seperti seminar dan webinar tentang moderasi beragama. Mereka mengundang narasumber dari berbagai latar belakang agama untuk berbagi pandangan dan pemahaman mereka. Siswa-siswa yang hadir diberi kesempatan untuk bertanya, berdiskusi, dan memahami perspektif yang berbeda.
Vita mengungkapkan, “Ini adalah cara kita memberikan kontribusi pada keberagaman di kampus. Kita ingin mendorong pikiran kritis dan sikap toleransi di antara mahasiswa, walau mungkin belum semuanya.
“Melalui pemahaman yang lebih baik tentang keberagaman agama, kita yakin dapat menciptakan generasi yang lebih terbuka dan toleran. Salah satu penyebab adanya eksklusivitas dan intoleransi di antara kita tiada lain adalah adanya kekurangpahaman dari kita tentang keberagaman satu sama lain di antara kita.”
Saat mendengarkan Vita menceritakan pengalaman kelompok diskusi tersebut, ia memberikan kesan tersendiri bagi saya atas semangat dan komitmen mereka terhadap moderasi beragama. Sebagaimana mungkin diketahui bersama, harmoni, toleransi, dan penghormatan kepada tradisi merupakan kata kunci dalam manifesto moderasi beragama yang sedang diimplementasikan. Mereka tidak hanya sekadar berbicara atau merencanakan kegiatan, tetapi benar-benar menjalankan nilai-nilai tersebut dalam tindakan pada realitas kehidupan nyata.
Kemudian Vita juga membagikan cerita bahwa kelompok ini tidak terbatas pada lingkungan kampus. Pada momen-momen tertentu mereka terlibat dalam kegiatan sosial di masyarakat, membuktikan bahwa semangat moderasi beragama dapat diimplementasikan di luar dinding kampus.
“Kita percaya bahwa perubahan yang nyata dimulai dari diri sendiri, dan melalui tindakan kecil yang kita lakukan, kita berharap dapat memberikan dampak positif pada masyarakat sekitar,” ujar Vita menutup perbincangan dan berpamit untuk pulang.
Walau hanya menjadi percakapan yang cukup singkat, tetapi setidaknya itu menjadi pembelajaran menarik yang perlu kita refleksikan bersama. Kelompok Studi Agama Lintas Agama di UINSA bukan hanya menjadi wadah untuk memahami keberagaman agama, tetapi juga sebuah komunitas yang mewujudkan moderasi beragama dalam aksi nyata.
Dengan setiap langkah yang mereka ambil, kelompok ini membawa harapan akan masa depan yang lebih harmonis, inklusif, dan toleran, bukan hanya di UINSA tetapi juga di masyarakat yang lebih luas. [AR]