Akhir-akhir ini, kerap terdengar di telinga kita istilah-istilah seperti baby boomer, generasi milenial, generasi z, dan yang semacamnya. Istilah-istilah tersebut merujuk pada sebutan bagi generasi-generasi manusia yang hidup dalam kehidupan sekarang. Karakteristik masing-masing generasi berbeda satu dengan yang lain. Berbedanya karakteristik meliputi apa dan bagaimana upaya dan orientasi dalam berkehidupan, tanpa mengecualikan hal mendekatkan diri kepada Tuhan bagi orang beriman.
Tasawuf adalah cara atau jalan untuk seseorang dapat sedekat mungkin dengan Tuhan. Cara atau jalan tersebut berupa ajaran-ajaran atau konsep-konsep yang dipahami kemudian dipraktikkan. Orang-orang yang mendalami serta menjalani ajaran-ajaran atau konsep-konsep tersebut ialah apa yang disebut sufi.
Hidup dalam hiruk-pikuk arus globalisasi mungkin menjadi tantangan tersendiri. Sekarang ini, mau apa saja sudah tinggal klik. Mau ke mana saja cukup hanya hitungan menit. Mau bicara dengan yang jauh di sana bisa hanya selang sepersekian detik. Dengan baby boomer, generasi milenial, dan generasi z yang sehari-hari hidup dengan semua itu, bisakah menjadi sufi?
Banyak orang salah sangka dan salah kira atas siapa yang disebut sufi. Ketika ada orang berpenampilan sederhana, jauh dari modernitas, lebih banyak menghabiskan waktu di masjid daripada berbaur dengan masyarakat, kita sebut sufi; padahal, apa iya dia sufi? Apa jangan-jangan karena memang dia miskin saja makanya kok seperti itu?
Kesufi-tidakannya seseorang bukan diukur dari apa yang tampak darinya atau bagaimana kelihatan hidupnya. Biarpun seseorang itu kaya, berkedudukan, dan rupawan, boleh jadi dia seorang sufi. Kesufian seseorang diukur dari bagaimana kondisi hati dan caranya menyikapi segala sesuatu. Entah itu yang menyenangkan atau menggalaukan, kondisi hati seorang sufi dan sikapnya tetap sama, yakni stabil dan harmonis.
Latar belakang, nasib, tantangan zaman, atau apapun itu bukan alasan bagi seseorang bisa menjadi sufi atau tidak. Tinggallah diri seorang sendiri yang mau atau tidak. Umpamanya kita saat ini selaku baby boomer, generasi milenial, atau generasi z yang hidup dalam zaman serba praktis, serba cepat, segala sesuatu serba warna-warni; kemudian kita tidak terikat dengan serba-serbi itu, dalam arti misal kita mendapati yang tidak praktis, tidak cepat, dan begitu-begitu saja kita tetap tenang, tidak mempermasalahkan, biasa saja, dan mengembalikan semuanya pada Tuhan; sedikit banyak kita sudah sebagaimana sufi yang hidup pada masa-masa dahulu. Wujudnya memanglah beda, tapi esensinya adalah sama.
Baik baby boomer, generasi milenial, atau generasi z, bisalah benar-benar menjadi sufi, dan bertasawuf adalah jalannya. Bertasawuf artinya melakukan olah jiwa dalam menempuh jalan penyucian dan penempaan rohani menuju Tuhan yang penuh rahmat dan kasih sayang. Mengenai seperti apa bentuk olah jiwa dan apa saja yang menjadi landasan untuk dapat melakukan itu, bisalah kita menengok ajaran-ajaran atau konsep-konsep yang telah dibawa oleh tokoh-tokoh kharismatik terdahulu.
Ada yang murni mengambil dari pemahaman Al-Qur’an dan Sunnah atau biasa disebut tasawuf sunni. Ada pula yang merumuskan dari perenungan akal budi dan intuisi atau biasa disebut tasawuf falsafi. Imam Hasan Al-Bashri, Imam Abu Hamid Al-Ghazali, Imam Junaid Al-Baghdadi, adalah beberapa contoh tokoh dari tasawuf sunni. Sementara yang tasawuf falsafi, misalnya Abu Mansur Al-Hallaj, Abu Yazid Al-Busthami, dan Syaikh al-Akbar Ibnu ‘Arabi.
Ajaran atau konsep ketasawufan di antara tokoh-tokoh tadi tentu sedikit banyak terdapat perbedaan. Betapapun berbeda, inti daripada ajarannya adalah sama, yakni bagaimana caranya memahami Allah dan mengupayakan diri untuk bisa sedekat mungkin dengan Allah. Mengupayakan dekat bisa dengan artian khauf dan raja’ kepada Allah, mahabbah kepada Allah, atau ‘bersatu’ dengan Allah. Apapun artiannya, pertama-tama yang harus dilakukan kita untuk menjadi sufi ialah taubat.
Taubat yakni membersihkan hati dari dosa. Perbuatan dosa dapat melahirkan kesialan dan mengakibatkan kemalangan bagi pelakunya. Selain itu, perbuatan dosa juga bisa menghambat upaya kita untuk mematuhi dan mengabdi kepada Allah Swt, karena tumpukan dosa yang terus menerus dilakukan, akan dapat menjadikan hati menjadi hitam, sehingga yang didapat hanyalah kegelapan, kekerasan, tiada keikhlasan, kelezatan dan kesucian.
Untuk menjadi sufi, afirmasi atas kesalahan dan kekeliruan diri kita menjadi hal yang pokok, karena dengan begitu kita jadi tahu perihal apa yang harus benahi dan hindari. Betapapun tetap beribadah dan beramal sholeh namun tetap bermaksiat jauh lebih baik dibanding yang tidak sama sekali, tapi untuk menjadi sufi kita tidak bisa seperti itu terus-terusan. Istilah kata tidaklah bisa kita STMJ (sholat terus maksiat jalan) lantas kemudian jadi sufi.
Betapapun kita sibuk bekerja, mengerjakan tugas, dan lain sebagainya sebagai konsekuensi status kita hidup sebagai manusia modern, utamanya jangan sampai kita meninggalkan kewajiban syariat apapun semisal sholat. Lantas kemudian dengan pembiasaan berhari-hari hingga benar-benar sudah terjaga kewajiban kita, jangan sampai kalau kita sedang lelah, gabut, atau sejenisnya apa yang menjadi hiburan kita adalah konten-konten yang tidak seharusnya yang pasti masing-masing kita sendiri tahu.
Ya, konten-konten yang muncul begitu saja di beranda dan tampak menggoda tidak sengaja tertampilkan. Namun, perlu diingat, cara kerja sosial media atau platform digital semacam itu adalah algoritma. Mungkin di awal-awal kita masih suka menemukan sebagaimana demikian. Namun, bila kita konsisten menghindar dari konten-konten yang demikian apalagi sampai like, semua itu akan tersisihkan dan tergantikan di kemudian hari. Dengan demikian, terciptalah satu pribadi dengan kebiasaan yang terhindar dari kemaksiatan.
Dalam melakukan pertaubatan tentu kita harus senantiasa bersabar. Sabar dalam menjaga keistiqomahan untuk senantiasa terhindar dari kemaksiatan, sabar ketika didapati dorongan untuk kembali melakukan hal yang tidak seharusnya, dan sabar untuk kemudian mengisi hari-hari kita dengan yang bermanfaat dan membawa maslahat.
Perlulah bagi kita memanfaatkan segala apa yang kita punya, bukan malah menyia-nyiakannya. Misalkan terlanjur punya follower banyak, andai mengadakan live, maka isi momen live itu dengan pembicaraan-pembicaraan yang berfaidah, memotivasi dan menginspirasi untuk sama-sama berkembang. Jadikanlah media tersebut sebagai media untuk menyebarkan kebaikan dan kebermanfaatan, untuk medan refleksi bersama, dan sebagai ajang memaksimalkan potensi diri untuk menjadi lebih baik.
Dengan kita mengerahkan segenap daya dan upaya untuk kemaslahatan diri kita sendiri dan juga orang banyak, jangan lupa sempatkan waktu untuk bermuhasabah. Mengevaluasi segenap apa yang telah kita lakukan begitu penting, sebagai control apakah kita masih on the right track atau sudah melebihi batas yang mana mungkin tidak seharusnya. Oleh karena, untuk menjadi baik tidak sekadar didasarkan dengan niat yang baik, tapi juga dengan cara yang baik.
Bermuhasabah menjaga diri kita senantiasa dalam kebaikan. Tidak ada kebaikan yang lebih tinggi selain dari menjadi pribadi yang lebih baik dari masa ke masa. Jikalau kita sudah bisa menjalankan hidup dengan berkomitmen atas ini, maka sudah waktunya kita menapaki jalan menuju kesufian yakni dengan berzuhud.
Tentang zuhud, terdapat berbagai macam definisi. Namun pada intinya, zuhud ialah kecenderungan hati untuk tidak terikat dengan dunia. Zuhud bukan berarti meninggalkan dunia, tapi tetap bersamanya namun tidak cinta kepadanya. Zuhud tidak meninggalkan dunia, tapi juga tidak tamak mengejarnya, apalagi sampai menghalalkan segala cara untuk mendapatkannya.
“Aku punya follower banyak. Tapi, baik aku punya maupun ndak punya, rasanya sama saja, biasa saja. Punya ya syukur, ndak punya ya sudah. Toh semua itu pun sejatiya titipan dari Allah.”
Berzuhud berarti kita tetap hidup bersama dunia, tapi kita tidak terikat dengan dunia itu. Kita menerima dan bersyukur atas apa yang ditetapkan dan dikaruniakan, kita tidak mengeluh dan tidak menyesal jika kita kehilangan atau gagal mendapatkan. Kenapa? Karena dunia ada di genggaman kita, bukan di hati kita.
Dengan demikian, kita berarti telah menjalani laku zuhud. Dengan kata lain, kita sudah sedang bertasawuf. Mengingat orang yang bertasawuf ialah yang disebut sufi, jika yang bertasawuf adalah seorang milenial, sah-sah saja untuk kemudian kita menyebutnya sebagai “sufi milenial”. Begitupun boomers, maupun gen z.