Lukman Santoso Az Pengajar Hukum IAIN Ponorogo; Bergiat di ISNU Ponorogo

Menakar Kebijakan Pendidikan Tinggi Pascapandemi

3 min read

Pasca-mewabahnya Covid-19, adaptasi kebiasaan atau tatanan baru (new normal) sudah mulai berjalan di seluruh dunia. Meskipun dibeberapa negara, termasuk Indonesia, kasus Covid-19 masih terus terjadi. Bagi pendidikan tinggi, situasi pandemi memunculkan ekses yang kompleks, dan telah mendisrupsi sendi-sendi kehidupan.

Dalam menyongsong tatanan baru, pendidikan tinggi memang harus berbenah. Tentu menjadi urgen menakar bagaimana kebijakan pendidikan tinggi ditengah kondisi pandemi, sekaligus dapat dijadikan rumusan yang sustainable pascapandemi.

Berdasarkan data yang dirilis UNESCO, secara global sejak Maret 2020, terdapat 112 negara di dunia yang telah menerapkan kebijakan belajar dari rumah. Kebijakan ini bertujuan agar peserta didik, termasuk mahasiswa tetap dapat menerima kebutuhan belajar yang akomodatif sesuai bakat dan minatnya (Arifa, 2020).

Untuk mewujudkan hal tersebut, idealnya membutuhkan kesiapan semua stakeholders dalam menjalankan model belajar dari rumah, termasuk kesiapan peserta didik, kurikulum yang compatible, ketersediaan sumber belajar, serta dukungan platform dan jaringan internet yang stabil, sehingga komunikasi dalam sistem belajar dapat efektif.

Sejauh ini, pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Kementerian Agama (Kemenag), dan bersama kementerian terkait lainnya telah mengeluarkan keputusan bersama terkait pedoman penyelenggaraan pembelajaran pada tahun akademik baru 2020/2021.

Dengan mengedepankan prinsip kesehatan dan keselamatan, kebijakan tersebut memuat arahan dilaksanakan pembelajaran secara daring dengan tetap memberikan pengalaman belajar mahasiswa yang bermakna dengan mempertimbangkan kesenjangan akses/fasilitas belajar daring.

Namun demikian, dalam memasuki tatanan baru tampaknya memunculkan cultural shock, sehingga berimbas pada lahirnya berbagai problem yang kompleks di perguruan tinggi negeri maupun swasta. Di antaranya, ketidakmampuan menguasai teknologi (gaptek), tidak efektifnya transfer of knowledge antara dosen dengan mahasiswa dalam perkuliahan daring, akses jaringan internet yang tidak stabil, mahal dan tidak merata, maupun faktor internal di masing-masing mahasiswa maupun lembaga pendidikan.

Baca Juga  Perkawinan Beda Agama dalam Perspektif HAM

Artinya, kebijakan ini belum mampu memetakan kondisi mahasiswa maupun pendidikan tinggi secara komprehensif. Sehingga proses belajar cenderung menegasikan pendidikan yang bermakna yang hanya fokus pada capaian aspek akademik atau kognitif semata.

Selain itu, meski pemerintah telah memberi bantuan melalui APBN-APBD dan mengatur mekanisme penyesuaian UKT maupun SPP, tampaknya tidak terlalu memberikan pengaruh bagi mahasiswa yang terdampak Covid-19.

Karena bagaimanapun Covid-19 tidak hanya menimbulkan krisis kesehatan masyarakat, tetapi juga berdampak pada krisis ekonomi dengan hilang atau berkurangnya penghasilan orangtua mereka. Di sisi lain biaya internet untuk pembelajaran daring dan mengerjakan tugas-tugas perkuliahan meningkat tajam.

Padahal idealnya sebuah kebijakan dapat memberi implikasi berbagai manfaat untuk mahasiswa, semisal keberlanjutan kuliah agar tidak terganggu selama pandemi, hemat biaya saat tidak menikmati fasilitas dan layanan kampus, serta fleksibilitas dalam mengakses keringanan biaya pendidikan.

Kebijakan, dalam pandangan Thomas R. Dye (2012), merupakan whatever government to do and not to do. Interpretasi dari definisi Dye tersebut dalam konteks kebijakan pendidikan tinggi dapat dimaknai bahwa kebijakan tersebut mengandung pilihan dilakukan atau tidak dilakukan oleh pemerintah.

Dalam hal ini, George C. Edward III (1980), menyebut, terdapat 4 komponen yang mempengaruhi implementasi kebijakan pendidikan tinggi sebagai kebijakan publik, pertama, commnunication (komunikasi), resources (sumber daya), disposition (disposisi), bureucraic structure (struktur birokrasi).

Keberhasilan impementasi kebijakan bergantung pada efektivitas empat komponen tersebut secara simultan.

Sebut saja misalnya aspek disposition, dalam kebijakan pendidikan tinggi pasca-pandemi. Jika para pelaksana mempunyai kecenderungan atau sikap positif, atau adanya dukungan terhadap implementasi kebijakan, maka terdapat kemungkinan besar implementasi kebijakan akan terlaksana sesuai dengan keputusan awal.

Namun, jika tidak terntu terjadi sebaliknya. Salah satunya dengan otonomi yang dimiliknya, perguruan tinggi dapat memberikan fleksibilitas dalam menjaga kualitas pembelajaran, penelitian dan pengabdian dengan berbagai keterbatasan masing-masing perguruan tinggi dan tidak membebani mahasiswa di luar kemampuan finansialnya.

Baca Juga  Filsafat Kebahagiaan: Eudaemonisme dan Ajaran Islam

Artinya, pendidikan tinggi sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta pencetak generasi muda unggul harus dapat berbenah melalui berbagai kebijakan-kebijakan yang responsif, adaptif dan sustainable.

Untuk mewujudkan itu, terdapat beberapa tawaran penguatan pada beberapa komponen yang dapat disinergikan dengan kebijakan yang ada, yaitu:

Pertama, pendidikan tinggi harus mulai meningkatkan sarana dan prasarana pendukung pembelajaran berbasis daring, mulai dari infrastruktur, sistem manajemen pembelajaran, e-resources (e-book,e-journal) yang memadai, serta aspek penunjang lainnya. Sehingga dapat melahirkan tridharma perguruan tinggi yang berkelanjutan.

Kedua, peningkatan kapasitas dosen dan mahasiswa yang integral. Utamanya fokus pada kompetensi lulusan yang multi-talent dalam mengintegrasikan objek fisik, digital dan manusia. Mahasiswa dan dosen harus terampil mendekati masalah dari banyak perspektif. Model kurikulum integratif menjadi peluang terbaik dalam mengkombinasikan semua disiplin ilmu untuk berfikir lintas batas dan generasi.

Ketiga, perluasan dukungan platform digital yang berkesinambungan dalam mendukung pembelajaran daring. Selain sebagai bentuk kesiapsiagaan pada kondisi darurat juga merupakan bentuk peningkatan kualitas pendidikan tinggi di tengah pesatnya perkembangan teknologi era 4.0 menuju Cyber University. Sehingga diharapkan menjadi solusi bagi mahasiswa dipelosok daerah untuk menjangkau pendidikan tinggi berkualitas.

Keempat, kolaborasi/partnership menjadi kunci. Kolaborasi antar PT, dosen dan mahasiswa menjadi penting untuk dikembangkan, baik di dalam maupun luar negeri. Selain itu, kolaborasi antara pendidikan tinggi dengan penyedia jasa telekomunikasi dan perangkat kerasnya. Hal ini agar akses pembelajaran daring dapat terjangkau oleh semua kalangan dan wilayah di seluruh Indonesia. Langkah cepat kolaboratif juga mencakup kebijakan, akses, program dan jangkauan layanan pendidikan.

Kelima, transformasi menuju pendidikan tinggi yang responsif, inklusif dan berkelanjutan. Sehingga cepat dalam beradaptasi dalam berbagai kondisi dan situasi. Termasuk responsif dalam mencari solusi keberlanjutan jutaan mahasiswa terdampak Covid-19 di tanah air karena masalah biaya. Misalnya saja dengan menginisiasi sebuah gerakan filantropi, sebagai wujud gotong royong dan bahu membahu menyelamatkan nasib generasi bangsa. Termasuk juga responsif dan inklusif dalam menghasilkan lulusan dengan berbagai latar belakang dan keterampilan untuk menciptakan dunia kerja yang lebih kohesif, dan produktif. Termasuk kesiapan dalam menyongsong Society 5.0.

Baca Juga  Etos Meritokrasi Islam: Kepemimpinan Berdasarkan Kompetensi dan Kualifikasi

Akhirnya, sudah waktunya arah kebijakan pendidikan tinggi fokus pada capain mutu yang membingkai keragaman dan tidak sebatas capaian kuantitatif. Pendidikan tinggi harus menempatkan proses akademik sebagai kerangka yang humanis dan inklusif sehingga berkelanjutan dan saling terhubung dan bekerja melalui kolaborasi global. Ini terkait perihal pilihan-pilihan kebijakan pemerintah untuk melindungi rakyatnya sekaligus hak rakyat mendapatkan pendidikan sebaik-baiknya. [MZ]

Lukman Santoso Az Pengajar Hukum IAIN Ponorogo; Bergiat di ISNU Ponorogo