Secara umum Kāffah diartikan sebagai pemahaman seorang Muslim terhadap Islam secara holistik, menyeluruh, dan tidak sepotong-potong ataupun parsial. Untuk mencapai Kāffah manusia harus mempelajari Islam secara keseluruhan, baik dari segi akidah, hukum, nilai-nilai yang terkandung di dalamnya dan sebagainya.
Islam Kāffah dalam sebuah masyarakat juga tidak semena-mena membuat manusia menghilangkan sebuah norma yang sudah dianutnya sejak lama. Islam Kāffah dalam ranah normatif memiliki sebuah peran sebagai kesempurnaan peribadatan umat Islam dalam menyembah Allah. Hal ini menjadikan tantangan sendiri bagi umat Islam dalam beragama. Saat seorang Muslim melihat Islam Kāffah, maka dengan sendirinya akan mengarah ke dalam pedomannya yaitu Alquran dan Hadis sebagai landasan pokoknya.
Hal inilah yang perlu dibuat pembelajaran bahwa seorang Mukmin pun meski dihadapkan oleh nilai-nilai dan norma-norma yang berbeda dengan keyakinan agamanya, maka harus tetap menjunjung nilai kemanusiaan. Hal ini juga diajarkan Rasulullah SAW saat ia menghadapi tradisi dan budaya orang Arab pada masa itu yang kental akan norma-norma yang jauh dari Islam, tetapi Rasulullah SAW tetap menghargai mereka dan tidak memaksa bahwa mereka harus menjalankan ajaran seperti ajarannya.
Islam Kāffah dalam kerangka normatif hanya sekadar kepercayaan individu dengan Allah, sedangkan saat di dalam masyarakat setiap individu harus mengikuti tatanan norma dan nilai yang sudah ada sebelumnya, guna tidak membuat masyarakat menjadi terpecah belah.
Penerapan Islam dalam masyarakat juga tidak selalu sama dengan cara-cara orang Arab atau cara-cara Nabi Muhammad SAW, karena dalam lingkup ini Islam sudah menjadi keloyalan terhadap situasi yang ada. Hal ini juga terdapat perkembangan Islam yang sangat ketat di samping Alquran dan Hadis terdapat juga Ijma’, Qiyas, dan Ijtihad para ulama yang bisa diterapkan sebagai pedoman aktivitas manusia dalam masyarakat maupun antara hubungan mereka dengan Allah SWT.
Menurut Abdul Adhim Alwi (Ketua PCNU Kabupaten Mojokerto), Islam Kāffah tanpa Islamisme pun sudah bisa terlaksana. Artinya, dalam Nahdlatul Ulama orang yang beragama itu tidak bisa dipaksakan. Setiap orang Nahdlatul Ulama tidak bisa diukur mereka sudah Kāffah atau belum. Karena Nahdlatul Ulama mengukur Kāffah apabila mereka damai, memiliki akhlak yang baik dan hidup rukun sesama manusia serta menjalankan syariat Islam. Itulah yang dinamakan Islam Kāffah.
Adapun Muhammad Thohir Rohman (anggota departemen kaderisasi PCNU Kabupaten Mojokerto) mengatakan bahwa Islam Kāffah itu bentuk abstrak yang penilaiannya adalah urusan Allah, meski dalam Alquran sudah dinyatakan dengan sebuah tuntutan-tuntutan untuk umat Islam dalam beragama. Tetapi hal itu juga tidak bisa semena-mena menjadi ukuran nilai.
Ibnu Taimiyah juga menguatkan hal ini, baik agama dan politik merupakan lembaga masyarakat yang menghasilkan nilai-nilai tertentu dalam praktiknya. Nilai agama diyakini dari Tuhan yang dijadikan sebuah acuan dalam realitas di dunia maupun di akhirat. Sedangkan nilai politik tidak bisa dipisahkan dari ideologi negara yang menjadi nilai dan dan cita-cita yang diaktualisasikan dalam lembaga-lembaga Partai dan Ormas.
Sedangkan Bahrul Nidhom (anggota departemen dakwah PCNU Kabupaten Mojokerto) mengatakan bahwa sebuah Islam Kāffah lahir dari sebuah norma yang terbentuk dari kehidupan masyarakat dan setiap individu dalam perjalanan agamanya. Hal demikian juga tidak heran bahwa terdapat sebuah perbedaan yang signifikan dalam menyikapi Islam Kāffah tersebut karena dalam kerangka normativitas; Islam hanya berbentuk sebagai Iman.
Dalam konteks negara Indonesia, belakangan ini isu negatif terhadap Islam Kāffah yang masuk ke dunia politik terlihat sangat mencolok. Hal ini terlihat di dalam media-media sangat ramai membicarakan isu-isu radikal dan teroris yang kerap mengincar negara yang membawa-bawa nama Islam.
Abdul Adhim Alwi menegaskan hal demikian seharusnya bisa ditelaah kembali dengan sebuah akal sehat memang untuk merubah keyakinan tidak semudah yang dikira. Butuh semua lapisan masyarakat untuk bergerak bersama menciptakan sebuah tindakan-tindakan positif guna untuk menjunjung hak-hak individu tiap manusia.
Abdul Adhim Alwi juga menegaskan bahwa dalam mencapai perdamaian sikap toleran sangat dijunjung tinggi. Demikian ini juga terdapat sebuah solusi dalam perwujudan dan penerapan Islam Kāffah yang beorientasi terhadap masyarakat yang tidak lepas dari sumber ajaran Islam, pertama, membentuk kepemimpinan formal yang benar-benar bersih, jujur dan amanah. Kedua, menyusun konsep reformasi yang jelas agar masyarakat bisa mengalami perkembangan dan kemajuan secara spesifik.
Di lain sisi, penerapan praktik-praktik Islam Kāffah juga memiliki ciri khas tersendiri dalam merespons adanya Islamisme (Islam Politik/Agamaisasi Islam). Abdul Adhim Alwi mengatakan bahwa untuk menerapkan Islam Kāffah umat Muslim harus berpegang teguh terhadap tiga pilar keimanan seorang Muslim.
Pertama, iman merupakan hal utama yang harus ada di dalam diri umat Muslim karena dengan Iman peribadatan yang dilakukan akan senantiasa terhubung dengan Allah SWT.
Kedua, Islam merupakan Agama atau bisa diartikan sebagai praktik keagamaan yang langsung diturunkan oleh Allah melalui Wahyu yang disampaikan Nabi Muhammad SAW. Umat Muslim diharapkan bisa belajar agama dengan luas dan memperkuat keyakinannya terhadap Tuhan.
Ketiga, Ihsan merupakan sikap kebaikan yang tumbuh di dalam setiap diri seorang Muslim.
Bahrul Nidhom pun menambahkan bahwa sikap Ihsan tidak sepenuhnya diartikan sebagai ciri khas seorang Muslim. Meskipun non-muslim juga memiliki sikap Ihsan dan itulah yang kemudian membangun citra dari setiap diri seorang Muslim.
Abdul Adhim Alwi mengatakan bahwa penerapan Islam Kāffah sejatinya perwujudan dari pengalaman manusia dalam bidang religius dan akhlak kebaikan yang telah dilakukan.
Oleh karena itu ciri yang menonjol dari Nahdlatul Ulama dalam merespons ideologi Islamisme dan Islam Kāffah adalah bersikap terbuka dan damai. Apapun praktiknya jika hal tersebut tidak membawa dampak kebaikan terhadap yang lain, maka di situlah penerapan Islam Kāffah mengalami kegagalan dan ujung-ujungnya mengarah ke dalam perilaku yang rasis dan juga radikal.
Sikap Ihsan merupakan patokan utama dalam menegakkan perdamaian. Jika hal ini dipegang dengan baik sesuai Alquran dan Hadis dan dikorelasikan dengan sebuah budaya sekitar, maka akan terbentuk sebuah Islam yang merahmati seluruh alam semesta; Islam yang menjunjung tinggi nilai-nilai leluhur. [MZ]