Seluruh negara termasuk Indonesia saat ini leluasa membatasi aktivitas warganya. Hampir seluruh bidang kehidupan saat ini “di-lockdown”. Alasan inti pembatasan adalah untuk melindungi keselamatan penduduk dari ancaman Covid-19. Konsekuensinya, kita menghadapi perubahan pola hidup yang tidak terbayangkan sebelumnya. Tidak ada yang keramat bagi virus Corona ini. Bahkan hampir semua rumah ibadah agama apapun ditutup dari aktivitas kolektif umatnya. Demikian juga pusat ekonomi dan ilmu pengetahuan harus menyesuaikan karakter virus. Bekerja, beribadah, dan belajar dipaksakan dari rumah. Manusia yang terbiasa mengandangkan spesies lain, saat ini justru “dikarantina” oleh makhluk mikro yang bahkan tidak bisa berkomunikasi dan bergerak sendiri. Situasi darurat ini kemudian melegitimasi negara khususnya pemerintah untuk berperan tidak seperti biasanya.
Kedaulatan individu makin menyempit guna memberikan ruang yang lebih leluasa pada negara untuk mengurus keselamatan warganya. Yang menjadi persoalan, dampak apa yang mungkin muncul setelah pandemi usai? Apakah kita dapat kembali seperti sebelumnya dalam menikmati kebebasan-kebebasan sebagai individu dan masyarakat? Ataukan negara akan terlanjur menikmati dan akhirnya meneruskan pola-pola pembatasan? Bagaimana nasib demokrasi dan hak asasi manusia ke depan?
Pembatasan warga negara merupakan hal yang paling disukai oleh penguasa. Program publik maupun agenda politik lebih mudah dijalankan karena lebih sedikit resistensinya, dan murah. Apalagi, demokrasi dan hak asasi manusia sebagai fondasi kebebasan sangat mahal biayanya. Oleh karena itu, karakter kekuasaan ini akan selalu mencari tunggangannya termasuk pada kebijakan terkait wabah Covid-19. Skenario terburuk dari kebijakan pandemi yang repfresif tersebut adalah: ketika gagal maka kadar kontrol perlu ditambah dengan alasan peningkatan efektivitas; atau ketika berhasil, dianggap sebagai best practice dan menjadi instrumen baru yang dianggap sah untuk dilanjutkan meksipun situasi sudah normal.
Deskripsi penguatan otoritarianisme pasca-darurat pendemi menjadi tantangan situasi krisis saat ini. Untuk menghadapinya, setidaknya secara teori ada dua formula klasik yang bisa menjadi penawarnya, yaitu tegaknya prinsip negara hukum yang demokratis serta pelindungan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Mengapa? Secara sederhana, negara hukum yang demokratis memungkinkan pelembagaan dan praktik kontrol terjadi dua arah: negara pada rakyatnya dan rakyat pada negaranya. Pada sisi yang lain, pelindungan dan penghormatan HAM menjadi pemandu dan pengingat aspek kemanusiaan dari setiap percaturan hukum dan politik yang selalu diliputi permusuhan dan egoisme kepentingan individu atau kelompok.
Apakah kekhawatiran akan penguatan otoritarinisme di atas terlalu dilebih-lebihkan? Dalam konteks Indonesia, situasi pandemi saat ini menunjukkan beberapa persoalan yang perlu dicermati. Pertama, pemenuhan dan pelindungan hak atas kesehatan yang paling mendasar dalam situasi pandemi terbukti masih sangat rapuh. Kelangkaan masker, hand sanitizer, vitamin, dan hand soap terutama pada awal pandemi menunjukkan kegagalan prinsip ketersediaan (availability) dan keterjangkauan (accessibility). Dalam beberapa kasus mutakhir bahkan kelangkaan APD (Alat Pelindung Diri) bagi tenaga kesehatan telah menjadi penyebab hilangnya nyawa mereka. Momentum krisis ini menunjukkan bahwa mekanisme pasar masih menjadi penentu bahkan untuk hak atas kesehatan yang sangat vital dan mendasar bagi kehidupan. Prinsip demokrasi lalu menampakkan wajahnya seolah-olah menjadi “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk pasar”.
Kedua, lembaga yang seharusnya menjadi focal point penanganan pandemi, yaitu kementerian Kesehatan, telah kehilangan momentum penting untuk menekan penyebaran pandemi karena sejak awal bersikap denial dan cenderung anti-science. Bahkan Menteri Kesehatan sebagai “Panglima” tidak hadir secara signifikan di ruang publik guna meyakinkan masyarakat bahwa negara hadir, kompeten, dan meyakinkan dalam menangani wabah. Situasi ini seakan mengkoreksi prinsip HAM bahwa negara merupakan pemegang kewajiban untuk memenuhi hak-hak warga negaranya. Justru hal ini terjadi ketika masyarakat mengalami situasi kritis.
Ketiga, birokrasi dan tata kelola krisis saat ini tidak dapat melepaskan diri dari sistem yang pre-exist melibatkan terlalu jauh komponen-komponen yang berlatar belakang sektor keamanan. Di sisi lain, individu atau lembaga yang mempunyai keahlian di bidang pandemi berperan di area pinggirian atau teknis belaka. Oleh karena itu, standar ideal penanganan wabah berupa pengujian jangkitan virus (testing), isolasi bagi yang terjangkit (isolation), penelusuran kontak (tracing), perawatan (treating), dan transparansi (transparency) masih jauh panggang dari api. Dan buah dari penguatan komponen keamanan ini adalah kebijakan yang cenderung mengejar ketenangan publik meskipun bersifat semu. Di awal krisis bahkan banyak pejabat negara di pusat dan daerah yang kehilangan sense of crisis. Sebagai dampaknya, banyak masyarakat menjadi abai, bebal, dan menyepelekan terhadap bahaya dan ancaman Covid-19.
Keempat, keamanan dan ketenangan publik sebagai prioritas akhirnya berdampak pada represi terhadap suara-suara kritis baik secara hukum maupun melalui jasa buzzer di dunia maya. Arah penanganan pandemi seolah-oleh hanya menjadi domain negara. Sedangkan pandangan alternatif hanya boleh bergema dengan frekuensi dan di ruang tertentu saja sejauh tidak mengganggu kebijakan negara. Kritik meskipun dari para ahli ditempatkan sebagai ancaman daripada dianggap sebagai pengayaan pilihan. Akhirnya, ketidakpercayaan dan kecurigaan masyarakat menguat terhadap kebijakan negara. Apalagi belakangan muncul skandal anak-anak muda yang seolah menjadi bukti bahwa kebijakan negara cenderung lebih memfasilitasi lingkar kekuasaan saja dan meninggalkan suara publik.
Kelima, kompetensi dan reputasi pemerintah yang buruk dalam penanganan pandemi mengakibatkan pelemahan legitimasi politiknya. Hal ini tentu menjadi tekanan bagi para politisi. Sebagai kompensasinya, negara dapat melakukan kebijakan yang populis untuk menarik simpati rakyat. Atau sebaliknya, negara dapat mengambil kebijakan politics of fear. Dalam dilema, mengutip pendapat Niccolò Machiavelli dalam The Prince, maka penguasa akan cenderung lebih memilih pendekatan politics of fear daripada kebijakan populis yang lebih memakan biaya. Namun demikian, bisa saja negara menempuh keduanya. Di satu sisi bersikap pemberi hadiah seperti Santa Claus, di lain peran negara mengirim warganya dalam jeruji penjara.
Lima persoalan di atas merupakan situasi yang perlu terus dicermati. Salah satu cara efektif adalah dengan penyeimbangan terhadap kekuasaan negara melalui solidaritas antar-warga negara dan kelompok masyarakat sipil (civil societies) baik di dalam maupun luar negeri. Hal ini juga terkait bagaimana kemajuan teknologi saat ini telah memungkinkan negara untuk selalu mengawasi, membatasi maupun memanipusi warga negaranya. Jika hal tersebut terjadi, maka kebijakan penanganan pandemi akan mematikan solidaritas dan sangat berbahaya. Negara akan kehilangan supporting system dan menghilangkan pilihan-pilihan. Akibatnya, negara menjadi terisolasi dan melemah menghadapi pandemi global. Dengan demikian, di tengah keterbatasan sumber daya nasional dan ketergantungan terhadap negara lain maka tidak ada pilihan lain bagi Indonesia kecuali memperkuat kolaborasi dengan aktor nonnegara (non-State actors). Selain itu, negara juga memberi peluang bahkan dorongan agar solidaritas dan kerjasama antar-kelompok warga terbentuk dan terbangun bahkan ketika menyentuh area global.
Penanganan pandemi bukanlah perang yang memerlukan tentara dan polisi untuk represi, melainkan ahli pandemi. Virus Corona juga bukan makhluk mitos yang penuh dengan misteri sehingga tidak dapat dikenali dan ditangani. Kemajuan teknologi dan science juga telah memungkinkan untuk mempersingkat masa pandemi ini guna menekan banyak ketidakpastian. Karena itu, krisis Covid-19 ini jangan sampai mengarah pada kebangkitan otoritarianisme, kebencian atas dasar identitas tertentu, dan nasionalisme yang isolatif. Justru, pandemi global ini seharusnya memperkuat kesadaran akan pentingnya solidaritas dan kerjasama antar-manusia, baik sebagai warga negara maupun warga dunia. [AZH, MZ]