Korupsi menjadi ganjalan dalam sistem demokrasi Indonesia. Kejahatan luar biasa ini hampir terjadi di semua lini birokrasi. Salah satu penyebab korupsi masih membudaya adalah hukum yang yang kuran memberi efek jera (deterrence effect). Kebanyakan koruptor yang terbukti di pengadilan tidak dijatuhi hukuman maksimal. Bahkan, di dalam penjara beberapa mendapat perlakuan istimewa.
Korupsi selalu hadir dalam babakan sejarah, zaman dan generasi. Seorang koruptor bisa lahir dari suku, agama dan ras berbeda. Di Islam, korupsi sudah dikenal sejak zaman nabi. Diistilahkan dengan rashwah (suap). Tak heran kemudian fikih mengharamkan perilaku ini. Tidak hanya fakih, beberapa filsuf juga memberi perhatian terhadap korupsi. Salah satunya Ibnu Khaldun.
Dalam Muqadimah, filsuf Muslim abad 14 ini menerangkan bahwa korupsi merupakan persoalan degradasi moral yang ditandai dengan hasrat hidup bermewah-mewah dan berfoya-foya.
Tesis di atas berasal dari pengamatan empiris Ibn Khaldun terhadap masyarakat Arab dan Barbar. Bermula dari masyarakat pedesaan (umran al-badawi) berubah menjadi masyarakat perkotaan (umran al-hadari), kebutuhan ekonomi masyarakat mengalami perubahan dari semula terbatas menjadi tidak terbatas.
Dari kehidupan pedesaan menuju perkotaan, perlahan masyarakat mulai mengejar kemewahan dan keroyalan. Masyarakat semakin terbiasa dengan pemuasan hasrat duniawi. Ibn Khaldun menyebut fase ini sebagai fase transisi dari akhir peradaban dan permulaan keruntuhannya.
Masih menurut Ibn Khaldun, sejarah kekuasaan yang membentang dari Afrika ke Arab sampai pada eranya, mempunyai kecenderungan dibangun dengan pondasi utama yang bertumpuh pada kesukuan dan finansial.
Awalnya, kekuasaan dengan dukungan solidaritas kesukuan dan finansial yang kuat akan sukses. Namun, pada akhirnya solidaritas itu semakin melemah. Salah satu penyebab adalah kehidupan mewah dan foya para penguasa pada generasi berikutnya.
Kehidupan mewah para penguasa kemudian memaksa mereka membebani masyarakat dengan berbagai macam kewajiban seperti pajak yang mencekik. Bahkan tak jarang juga merampas harta rakyat. Ketika para penguasa terlihat tidak adil, hukum pun semakin melemah, sehingga korupsi membudaya.
Ada filsuf muslim lain memberi perhatian terhadap isu korupsi. Namanya, Mustafa Ibnu Abdillah atau yang lebih dikenal dengan Chelebi. Ia menuli kitab Mizan al-Haqq Fi I’tiyar al-Haqq pada tahun 1656 M di saat praktik suap marak terjadi di Kekaisaran Usmaniyyah.
Menurut Chelebi perilaku suap terklasifikasi menjadi empat macam berdasarkan tendensi perbuatannya, yaitu: suap untuk mendapatkan jabatan strategis; suap kepada hakim untuk memenangkan putusan; suap kepada penguasa untuk menghindari malapetaka; dan suap untuk menghindari diri dan milik pribadi dari malapetaka.
Dari keempat klasifikasi suap di atas, Chelebi memberikan pandangan bahwa ada bentuk suap yang dilarang baik bagi pemberi maupun penerimanya dan ada juga suap yang dilarang bagi penerima, namun diperbolehkan bagi pemberi.
Suap untuk mendapatkan jabatan atau memenangkan putusan sidang dikategorikan ke dalam suap yang dilarang baik bagi pemberi dan menerima. Sedangkan suap kepada penguasa untuk menghindari malapetaka umum ataupun malapetaka bagi diri sendiri dan hak milk pribadi diperbolehkan bagi pemberi suap dan dan dilarang bagi penerima.
Ada juga filsuf muslim yang juga memiliki perhatian terhadap korupsi dalam bentuk penyuapan dan pemerasan, bernama lengkap Abu Ali Hasan Al-Tusi atau dikenal dengan nama Nizam Mulk yang menulis kitab berjudul Siyasat Namah.
Nizam Mulk merupakan perdana menteri di era Abbasiyah yang sekaligus merupakan penasehat Sultan Alp Arslan dan Malik Shah. Karya tulisnya lebih banyak berbicara tentang pencegahan korupsi dengan cara memberikan penekanan pada prinsip akuntabilitas.
Sedangkan di era kontemporer muncul filsuf Muslim yang mengikuti para pendahulunya yang memilik perhatian lebih terhadap isu korupsi. Sebut saja Syed Hussein Alatas.
Dalam bukunya Sosiologi Korupsi (1986), Alatas membagi korupsi menjadi tiga tipe, yaitu: penyuapan, pemerasan dan nepotisme. Dari ketiga tipe korupsi tersebut Alatas menarik benang merah yang merangkum makna korupsi sebagai penempatan kepentingan-kepentingan publik di bawah tujuan-tujuan privat dengan melanggar norma-norma tugas yang seringkali disertai dengan keserbarahasiaan dan pengabaian dari setiap konsekuensi yang diderita oleh publik.
Lebih lanjut, Alatas mengidentifikasi penyebab perilaku korup diantaranya adalah ketiadaan atau kelemahan kepemimpinan yang dapat mempengaruhi perilaku setiap orang untuk menghindari praktek korupsi; pendidikan yang kurang mengajarkan doktrin agama yang peka terhadap korupsi; dan belum ada hukuman yang keras untuk perilaku korupsi.
Setelah mengidentifikasi penyebab korupsi, Alatas menawarkan solusi degan memperkuat tendensi individual daripada struktural. Ia berpendapat hanya moral masing-masing individulah yang sangat efektif dalam mencegah praktik korupsi. Perubahan-perubahan struktural dan legal dalam kebijakan-kebijakan pemerintah akan berhasil secara maksimal, hanya jika kelompok elite menunjukkan profil anti-korupsi.
Bagi Alatas, jika ingin menekan praktik korupsi maka ciptakan pribadi-pribadi bermental dan bermoral baik dalam jumlah yang banyak dan menempatkanya pada posisi-posisi elite. Alatas juga menunjukkan profil seorang hakim yang mengajukan tiga syarat sebelum dilantik, yaitu: tidak mau didekati untuk keperluan pribadi; tidak mau dipaksa untuk meluluskan perintah yang illegal; dan tidak mau menerima gaji. Bagi hakim tersebut menjadi hakim adalah tugas suci untuk mengabdi kepada masyarakat dan Tuhan sekaligus. [FM, MZ]