M. Afifudin Dimyathi Pengasuh PP Darul Ulum Rejoso Jombang; Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya; Alumnus Universitas al-Azhar Mesir dan Universitas Neelain Sudan

Penafsiran Alquran dengan Syair Arab

2 min read

Para ulama salaf sangat memperhatikan syair-syair Arab sebagai perangkat untuk memahami Alquran. Hal ini karena syair dianggap merekam makna-makna kata Arab yang murni, sedangkan Alquran diturunkan dengan bahasa Arab.

Meskipun beberapa ulama menganggap menafsirkan Alquran berbekal syair adalah makruh, hanya saja fakta yang terpampang di puluhan kitab tafsir menunjukkan bahwa para mufassir banyak yang merujuk ke syair Arab untuk menjelaskan makna Alquran atau menguatkan wajah nahwu Alquran.

Ibu Jarīr al-Thabarī misalnya, beliau menyebut lebih dari 2260 syair dalam tafsirnya. Dari sekira 310 penyair, baik dari kalangan penyair Jahiliyah, Mukhadromin, Islamiyyin ataupun penyair tak dikenal.

Ibnu Athiyyah mengutip tidak kurang dari 1900-an syair Arab dalam tafsirnya. Imam al-Qurthubī menyebutkan sekira 4807 bait syair dalam tafsirnya. Ini belum menghitung kitab-kitab Ma‘āni al-Qur’ān yang juga terbiasa menyebutkan syair sebagai penguat penjelasan.

Dasar utama para ulama dalam berargumen dengan syair Arab untuk menjelaskan makna dan wajah nahwu Alquran adalah cerita yang masyhur tentang dialog Khalifah Umar bin Khattab saat bertanya pada orang Badui makna al-takhawwuf dalam ayat:

اَوْ يَأْخُذَهُمْ عَلٰى تَخَوُّفٍۗ فَاِنَّ رَبَّكُمْ لَرَءُوْفٌ رَّحِيْمٌ

Atau Allah mengazab mereka dengan berangsur-angsur (sampai binasa). Maka sungguh, Tuhanmu Mahapengasih, Mahapenyayang (Q.S. al-Nahl [16]: 47).

Lalu, seorang dari suku Hudzail berkata: al-takhawwuf dalam diksi bahasa kami adalah al-tanaqqush (berkurang sedikit demi sedikit). Lalu Umar berkata: “Apakah Arab mengenal makna ini dalam syair-syair mereka?”.

Mereka menjawab: “Iya, penyair kami kalau menyifati untanya, berkata:

تَخَوّفَ الرَّحْلُ منها تامكًا قَرِدًا # كما تخَوَّف عُودُ النّبْعَة السَّفِنُ

Lalu Umar berkata: “Pegangilah Dīwān kalian, agar kalian tidak tersesat”,

“Apa itu Dīwān kami?”

Umar menjawab:

Baca Juga  Gus Dur Tertawa Ngakak Setelah Salat Malam

“شِعر الجاهلية، فإنّ فيه تفْسير كتابكم ومعاني كلامِكُمْ”

Pula, riwayat-riwayat penafsiran Sayyidina Ibnu Abbas yang sering merujuk kepada syair-syair Arab, khususnya ketika ditanya oleh Nafi’ bin Azraq.

Para mufassir yang merujuk kepada syair-syair bersepakat bolehnya ber-istisyhād (menggunakan sebagai syahid) dengan bait-bait syair karya penyair Jahiliyyah (seperti al-A’sya Maimun bin Qais, an Nabighah al-Dzibyānī, Imru’ al-Qays, dan lain-lain) dan Mukhadhromin (seperti Labid bin Rabī‘ah, Hassan bin Tsabit, al-Nabighah al-Ju’dy, dan lain-lain), khusus bait-bait syair karya Islamiyyin (seperti al-Ajjaj, Jarir bin Athiyyah, Zuhair bin Abi Sulma, dan lain-lain).

Mereka berbeda pendapat, namun umumnya mereka menerima. Adapun syair-syair kaum Muwalladin, maka mereka bersepakat untuk tidak menggunakannya sebagai syahid.

Bidang penggunaan syair-syair ini sebagai syahid tafsir bermacam-macam, dan metode penyampaiannya adalah berbagai kitab tafsir juga berbeda-beda. Hanya saja jika dikerucutkan, penggunaan syair sebagai syahid dalam penafsiran bisa dibagi menjadi empat macam:

1- Menggunakan syair untuk menjelaskan makna bahasa.

Contoh: Penafsiran Ibnu Jarīr al-Thabarī kata زنيم dalam firman Allah:

عُتُلٍّۢ بَعْدَ ذٰلِكَ زَنِيْمٍۙ

“Yang kaku kasar, selain dari itu, yang terkenal kejahatannya”. [Q.S. al-Qalam [68]: 13]. Beliau mengatakan زنيم adalah yang disambungkan kepada suatu kaum, padahal ia tidak termasuk darinya.

Lalu beliau mengutib syair Hassan bin Tsabit:

وأنْت زنيْمٌ نيْطَ في آل هاشم # كما نيْطَ خلْفَ الراكِب القَدَح الفرْدُ

dan syair berikut:

زَنيْمٌ ليسَ يُعرَف من أبوه # بغِيّ الأم ذو حسَبٍ لئيمٍ

2- Menggunakan syair Arab untuk menjelaskan uslūb Alquran.

Contoh: Penafsiran Abū Ubaydah dalam kitabnya Majāz al-Qu’rān, ketika beliau menjelaskan ayat:

ۖتَوَلَّوْا وَّاَعْيُنُهُمْ تَفِيْضُ مِنَ الدَّمْعِ

“Lalu mereka kembali, sedang mata mereka bercucuran.” [Q.S. al-Taubah [9]: 92]

Baca Juga  Asy-Syifabinti Abdullah: Dokter dan Terapis Wanita Pada Masa Nabi SAW

Beliau berkata: “Orang Arab ketika memulai dengan isim sebelum fiil, maka fiilnya disesuaikan dengan bilangannya. Inilah yang dipakai, tapi bisa saja disesuaikan dengan lafal tunggalnya seakan di sana ada pendahuluan dan pengakhiran, sebagaimana ucapan: وتفيض أعينُهُم… lalu beliau menggunakan syair A’sya sebagai penguat:

فإنْ تَعْهَدينِي وليْ لِمَّةٌ # فإنّ الحوادثَ أوْدَى بِها

Yang semestinya diucapkan أوْدَيْنَ بِها, tapi tetap diucapkan dengan أودى بها seakan mendahulukannya, dari kalimat: أودَى الحوادث بها

3- Menggunakan syair untuk menghukumi kearaban lafal.

Contoh: Penafsiran Imam al-Qurthubi ketika menjelaskan ayat:

وَنُفِخَ فِى الصُّوْرِ فَاِذَا هُمْ مِّنَ الْاَجْدَاثِ اِلٰى رَبِّهِمْ يَنْسِلُوْنَ

“Lalu ditiuplah sangkakala, maka seketika itu mereka keluar dari kuburnya (dalam keadaan hidup), menuju kepada Tuhannya.” [Q.S. Yāsin [36]: 51]

Beliau berkata: الأجداث adalah kubur. Bahasa (Arab) yang fasih menggunakan الجدث dengan huruf tsā’, jamaknya adalah kata أجْدُثٌ dan أجْداثٌ. Lalu beliau mengutip syair al-Hudzaliy:

عَرَفْتُ بأَجْدُثٍ فنِعَافِ عِرْقٍ # علاماتٍ كَتَحْبِيْر النِّمَاطِ

4- Menggunakan syair sebagai penguat wajah qiraah.

Contoh: Penafsiran Imam Ibnu Athiyyah ketika menjelaskan qiraah dalam ayat:

وَكَاَيِّنْ مِّنْ قَرْيَةٍ عَتَتْ عَنْ اَمْرِ رَبِّهَا وَرُسُلِهٖ

Dan betapa banyak (penduduk) negeri yang mendurhakai perintah Tuhan mereka dan rasul-rasul-Nya [Q.S Thalaq [65]: 8]

Beliau menyebutkan bahwa qiraah Ibnu Katsir dan Ubaid dari Abu Amar adalah dengan membacanya “وَكَائِنْ” secara mamdūd dan mahmūz. Lalu beliau menguatkannya dengan bait syair milik Jarir, yang berbunyi:

وَكَائِنْ بالأبَاطِحِ مِنْ صديفٍ # ….

Dengan maksud ingin membenarkan wajah qiraah yang demikian.

Inilah beberapa peranan syair-syair Arab yang diperhatikan oleh para mufassir, sehingga mereka tidak segan memasukkan syair-syair tersebut dalam karya-karya mereka. [MZ]

M. Afifudin Dimyathi Pengasuh PP Darul Ulum Rejoso Jombang; Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya; Alumnus Universitas al-Azhar Mesir dan Universitas Neelain Sudan