Nyata
Kapan,
bisa jadi pertanyaan mudah
Ataupun menyulitkan sekaligus
Karenanya aku tidak jadi mengadu
Atau sekedar mengaduhkan
Keluh kesahku
Resam yang mangkir dari dada
Bubar dari upacara kesadaran
Menyebar menuju rumah-rumah khayalan
Mereka menempel pada dinding-dinding
Keterasingan
Aku asing diantara gedung-gedung
Menjulangkan setiap ketinggian
Bahwa mereka rendah dari setiap alam
Yang tersadarkan
Kalaupun diriku nyata
Mampang dalam tubuh kasat mata
Muaranya pusara ghaib semata
Raib sang tubuh sirna
Maka keluh kesahku tak perlu
Maka kapan tak sulit mempermudahnya
Meski aku masih asing
Pada dinding-dinging yang mungkin menghimpitku
Kepada Tubuh
Wahai tubuh,
Sudah seperempat abad kugunakan engkau,
Engkau masih saja baru
Setiap renik, manik-manik dan pernak-pernik
Kupasang di hulu dan hilirmu
Kuperindah engkau sekalilagi
Dari karya Sang Maha Karya,
Kulihat lagi dan lagi
Supaya engkau menarik mata yang lainnya
Wahai tubuh,
Mata yang menatap buas kearahmu
Membuat aku tersipu gembira
“Aku berhasil memperindahmu” pikirku
Hati yang berdesir mendambakanmu
Membuat aku berbesar bangga
“Karenamu aku begitu didamba” gumamku
Wahai tubuh,
Sudah cukupkah kuhiasi engkau?
Silakan hadiri reuni akbar di ruang sempit itu
Dimana engkau tergeletak
Dan aku sudah tidak memerlukanmu
Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un
Wahai Fana Yang Kupinta
Diantara nadir yang bernyanyi
Mengabarkan kegembiraan
Aku menari pada altar penyucian
Yang kau gelar dalam malam
Aku tersimpuh pada doa malam sepertiga
Layaknya embun yang menitis ijabah
Pada daun-daun yang menengadah
Menakar remah harapan pada diri
Telah kuasah munajat
Paling tajam
Untuk kuhunus menodong tuhan
Selekas itu hamba pada mengabulanMu
Berburu
Airmata paling deras telah pula kugali
Dari sumbernya,
Tirta Nirmaya
Untuk merajuk-Nya juga mingubuli lainnya
Begitupun hasratku tetap kepada yang fana
Yang menggodaku pun ganjarannya
Penghambaanku tetap bergaya pedagang
Kalau tak untung tak datang