Kita sudah dengar berkali-kali teriakan di sosmed yang mengatakan kenapa pasar tetap buka tapi masjid ditutup. Biasanya mereka yang teriak akan melanjutkan dengan membandingkan apakah lebih penting urusan dunia dari pada menyembah yang punya Hidup. Padahal yang memberikan rezeki adalah yang punya Hidup ini.
Narasi-narasi lain dari kelompok ini adalah kalau sakit ramaikan masjid, kelak Allah akan menyembuhkan, bukan malah menutup tempat ibadah, dan yang paling mutakhir adalah takut itu sama Allah bukan sama virus.
Anda boleh tidak setuju dengan orang-orang yang protes dan meminta agar kegiatan apapun di masjid tidak dibatasi seperti saat ini. Tetapi buat saya, protes mereka masuk akal.
Yang terjadi di lapangan memang akan membuat orang-orang yang ingin beribadah di masjid gerah. Bagaimana tidak, ketika kasus covid sedang tinggi-tingginya, masjid total ditutup. Saat situasi cukup terkendali, masjid boleh dibuka tetapi jamaah harus dibatasi. Itu semua sudah dilakukan oleh masjid tapi tidak dengan pasar.
Awal mula covid, jamaah masjid ini juga mesti beradaptasi, mulai dari memberi jarak antara satu orang dengan yang lain padahal aturannya harus rapat, meniadakan bersalaman selepas salat, dan sampai memangkas waktu salat dan ceramah. Intinya, hampir semua yang diinstruksikan pemerintah untuk masjid semua sudah melakukan.
Syahdan, kalau anda lihat pasar, ini adalah tempat yang saya kira paling tidak taat prokes. Mungkin untuk awal-awal lockdown (entah nyebutnya dengan PSBB, PPKM atau istilah-istilah mutakhir lain) pasar terlihat “agak” tertib, tetapi lihat di hari-hari selanjutnya, pasar kembali berjubel, memakai masker di leher dan tidak mencuci tangan saat masuk dan keluar pasar. Tempat cuci tangan yang disediakan juga kondisinya sekarang hanya sebagai hiasan saja, air mengering dan kran penuh sarang laba-laba. Mungkin sekali-kali diperlukan untuk difoto sebagai bukti lokasi siap protokol covid.
Saya melihat sendiri ke berbagai pasar, sekedar melintas untuk melihat apa yang terjadi di parkiran pasar dan bagaimana animo pengunjung. Nyaris rata-rata yang saya lihat ramai dan riuh. Seolah-olah tidak ada virus yang siap melompat dari satu orang ke yang lain. Semua terjadi seolah-olah semuanya normal bahkan senormal sebelum 2020. Perlu saya sampaikan, pasar yang saya lihat ada di daerah Lamongan dan Bojonegoro. Saya tetap berharap ini tidak terjadi di kota lain.
Masa Depan Pandemi
Tulisan ini dari awal tidak bermaksud ingin menyuarakan “kalau pasar bejubel, masjid harusnya boleh juga dong”. Tidak, tidak seperti itu. Di muka kenapa saya katakan protes tadi wajar dan ilmiah, ya karena pasarnya sangat ramai. Solusi yang adil bukanlah lantas membuka masjid biar seriuh pasar, tetapi memikirkan bagaimana cara menjaga masyarakat dari virus entah saat beribadah atau saat berkunjung ke pasar. Artinya masjid dan pasar harus dibuat seaman mungkin.
Bisa jadi, kesebalan masjid pada pasar selama ini karena memang mereka merasa diperlakukan diskriminatif. Sehingga pemerintah harus tegas dalam menertibkan pasar dan juga lokasi-lokasi yang tak taat prokes.
Selama ini pemerintah menulis bahwa pasar hanya boleh dikunjungi beberapa persen dari batas maksimal. Tetapi bagaimana cara untuk merealisasikan itu? Apakah ini selesai dipikirkan.
Siapa yang harus bertanggung jawab atas aturan batas pengunjung di pasar?
Kalau masjid, pemerintah bisa dengan sangat mudah menegur takmir apabila Ia nekat membuka masjid lebar-lebar atau membuat pengajian geden, tetapi pasar tidak sesimpel itu.
Dalam membatasi pengunjung, masjid juga lebih mudah karena umumnya masjid hanya memiliki beberapa pintu masuk, mungkin 2 saja. Jadi cukup berjaga di pintu masuk dan pengunjung bisa dikendalikan. Berbeda muka untuk kejadian di pasar, jalan masuk pasar sangat banyak dan membatasi orang berada di pasar memang bukan pekerjaan mudah.
Hal-hal teknis yang menyangkut pasar ini saya kira harus benar-benar diperhatikan, difikirkan dan direalisasikan betul-betul. Bukan hanya karena biar sama seperti masjid yang bisa membatasi pengunjung, yang lebih penting dari itu adalah agar kita semua segera terbebas dari pandemi.
Pandemi adalah penyakit kelompok, dalam melawannya kita juga harus kompak sebagai kelompok manusia. Tidak bisa kita bercerai berai melawan virus yang bersatu.
Memang tidak mudah, memang akan melelahkan dalam menciptakan ruang publik seperti pasar menjadi lokasi yang benar-benar aman. Pemerintah perlu bekerja ekstra keras, karena sebenarnya ada contoh pusat perbelanjaan yang cukup aman dari penularan corona.
Saya melihat ada sebuah pusat perbelanjaan yang memiliki prokes bagus. Pusat perbelanjaan ini membuat kartu pengunjung, taruhlah batas maksimal pusat perbelanjaan itu adalah 1000 orang, saat PPKM seperti ini jumlahnya dipangkas, misal, menjadi 250 orang. Si pengelola pusat perbelanjaan membuat kartu sebanyak 250 buah dan yang bisa masuk adalah orang yang bisa mendapat kartu itu. Kalau jumlah orang di dalam pusat perbelanjaan mencapai 250, orang ke 251 harus menunggu sampai ada pengunjung lain yang keluar.
Contoh pusat perbelanjaan ini memang bagus, tetapi sekali lagi, apakah bisa diterapkan di pasar?
Mungkin si bisa-bisa saja, tetapi memang butuh tenaga yang sangat ekstra. Karena yang sudah dilakukan selama lockdown ini kan hanya formalitas saja. Mulai dari penutupan jalan, razia malam hari pada warung yang masih buka dan operasi masker di jalan-jalan. Apakah ini berefek? Ya mungkin ada tapi sepertinya tidak signifikan.
Harus ada peran lebih konkret, misal penertiban pasar dengan menurunkan aparat ke pasar agar menegur mereka yang terlihat berjubel dan tidak memakai masker. Menjaga pintu masuk yang sebanyak itu dan memastikan bahwa pengunjung yang datang tidak melebihi kapasitas pasar, sampai melakukan swab dadakan pada pengunjung yang tidak menerapkan prokes dengan ketat, wong harga tas swab murah saja.
Kalau memang kita punya komitmen menghentikan pandemi, semua memang harus kooperatif, masjid sudah ditutup, pasar kapan ikut tertib?
Selengkapnya lihat di sini