Muhammad Bakhru Thohir Penggerak Komuitas Gusdurian Jogja

Nasihat Al-Ghazali pada Orang Yang Suka Bertanya “Kapan Nikah?”

3 min read

Masa-masa lebaran adalah masa di mana sering kita berjumpa dengan orang yang “menyebalkan.” Mereka adalah orang yang tidak memiliki kapasitas dalam basa-basi tapi memaksakan bicara. Salah satu andalan dari lidah mereka adalah pertanyaan menyebalkan “kapan nikah”?

Di sini saya secara penuh mengutip petuah dari Al-Ghazali untuk disampaikan pada orang-orang yang gemar bertanya kapan nikah, pada khususnya, dan untuk kita semua, pada umumnya. Apa yang saya tulis di sini adalah hasil pengambilan sari-sari dari kitab tersohor gubahan Al-Ghazali yakni Ihya Ulumiddin.

Pada kuadran ke-3 Kitab Ihya Ulumiddin, ada salah satu bagian yang secara khusus membicarakan tentang bahayanya kebanyakan bicara. Bab menjaga mulut dari banyak bicara dijabarkan Al-Ghazali karena menahan bicara adalah salah satu dari jalan menjadi manusia rohani, selain jalan-jalan yang sudah jamak kita kenal seperti menahan nafsu seksual atau nafsu perut.

Dalam bagian yang membahas keburukan dari kebanyakan bicara, di sana dijelaskan tentang sebuah etika berbicara yang bisa kita jadikan pegangan. Etika itu adalah apabila sebuah ucapan diucapkan, tidak akan memberikan efek. Dan apabila tidak diucapkan, tidak akan muncul masalah.

Ucapan-ucapan yang berhukum mubah seperti ini, menurut Al-Ghazali lebih baik ditinggalkan. Hal ini karena dalam kacamata orang yang sedang menempuh jalan rohani, hal-hal yang mubah pun perlu untuk dihindari.

Lebih lanjut dalam bab itu, Al-Ghazali memekarkan tidak hanya sebatas etika berbicara, tetapi juga sampai etika bertanya. Al-Ghazali menjelaskan bahwa kita tidak perlu bertanya untuk hal-hal yang sebenarnya tidak ada manfaatnya.

Misalnya, perilaku kita yang suka kepo pada banyak hal yang hakikatnya tidak menambah pengetahuan apapun dalam diri. Karena, kadang-kadang, perilaku kepo itu bukan hanya tidak menambah pengetahuan tapi juga membuat kita jadi muram.

Baca Juga  Perjuangan 70 Tahun untuk Perubahan Nama Penanggalan Yesus Kristus

Kita jadi penuh prasangka, serba tidak nyaman, dan tercekik perghibahan duniawi. Ironisnya, memang kebanyakan dari kita malah sering melakukan hal-hal yang tidak bermanfaat seperti itu.

Al-Ghazali memberikan contoh tentang sebuah pertanyaan yang tidak perlu kita tanyakan adalah seperti bertanya tentang ibadah seseorang. Semisal “apakah kamu puasa hari ini?” Pertanyaa seperti ini tidak perlu dikeluarkan, kenapa?

Pertama, ketika yang kita tanya menjawab “Ya”. Hal ini akan meningkatkan probabilitas munculnya riya’. Dan, ibadah yang di dalamnya terselip riya’ dapat menjadikan ibadah itu tidak lagi bernilai. Tentu, hal ini akan sangat merugikan sohib kita.

Andai pun tidak muncul riya’, kualitas ibadah teman kita bisa jadi tidak akan jatuh. Karena sebaik-baiknya ibadah adalah yang samar dan hanya diketahui Allah. Ketika kita jadi tahu kalau sohib kita itu berpuasa, kita telah menurunkan kualitas ibadahnya yang semula samar menjadi terang dan penuh unsur keduniawian. Jadi, kalau pertanyaan macam itu dijawab dengan “Ya”, hal ini tentu merugikan.

Kedua, ketika yang kita tanya menjawab “Tidak”. Hal ini juga akan membuat orang yang kita tanya terbelenggu pada pusaran bohong. Dan, tentu kita juga sudah tahu bahwa bohong adalah jenis dosa yang lain. Sekali lagi, pertanyaan macam ini akan merugikan sohib kita yang ditanya.

Ketiga, saat orang yang kita tanya enggan menjawab, alias diam saja. Hal ini akan membuat kualitas sosial dari sohib kita turun, karena akan muncul asumsi-asumsi sombong dan angkuh akibat tidak menjawab dan akan terkesan meremehkan orang yang bertanya; “Ditanya begitu saja gak dijawab!” kita-kira begitu. Sehingga kembali lagi, yang dirugikan dari pertanyaan seperti ini adalah sohib kita yang beribadah.

Baca Juga  Covid-19, Kesadaran Ekologis, dan Gerbang Kehidupan Baru

Dan keempat, ini yang terakhir, resiko dari pertanyaan seperti itu adalah membuat sohib kita jadi mikir bagaimana caranya menjawab yang baik, dan itu merepotkan. Ia harus memutar otak dan berpikir keras agar tidak masuk dalam jebakan-jebakan yang ada dikemuingkinan satu sampai tiga.

Artinya, semua kemungkinan jawaban yang muncul dari pertanyaan “apakah kamu puasa hari ini?” adalah lebih banyak buruknya. Oleh karena itu lebih baik tidak diamalkan.

Dari perihal di atas, kita bisa tarik beberapa benang merah yang sekiranya bisa kita kontekstualisasikan dalam kehidupan kita saat ini. Saat kita tilik beberapa kemungkinan buruk yang akan muncul, membuat repot orang yang ditanya adalah kesimpulan yang memiliki probabilitasnya paling banyak.

Contoh pertanyaan di atas, menurut saya tak ubahnya dengan pertanyaan “kapan nikah?” karena mempunyai efek yang sama, membuat orang menjadi repot dan serba salah dalam menjawab.

Selain itu, hal ini menjadi penting untuk diperhatikan karena kita tidak benar-benar tahu bagaimana kondisi seseorang. Mari kita tilik, pertama, kita mulai dari yang baik-baik dulu. Andaikan sohib kita itu adalah orang yang punya calon dan merencanakan nikah, namun hal itu belum ingin disampaikan ke halayak ramai. Kemungkinan yang terjadi, ia akan masuk dalam kubangan kebohongan dan membuatnya repot untuk memilih jawaban yang pas. Itu melelahkan dan tentu merepotkan.

Kedua, misal sohib kita ini tidak pernah memikirkan urusan menikah karena ia sedang belajar, misalnya. Ia akan kaget karena pertanyaan itu membingunggkan. Isi kepala orang-orang belajar adalah tentang apa yang ia pelajari.

Terlebih lagi bagi seorang pembelajar memang makruh untuk menikah terlebih dahulu, karena dikawatirkan mengganggu prosesnya mencari ilmu, kecuali dalam keadaan yang tidak bisa menahan hasrat seksualnya. Tentu, ia juga akan lelah dalam memilih jawaban kalau ia memutuskan ingin menjawab. Kalau tidak dijawab, bisa-bisa dikatain angkuh, salah maneh, hmm!

Dan ketiga, jika kebetulan sohib kita yang sedang terluka karena cinta, pertanyaan “kapan nikah?” bukan hanya menyebalkan, tetapi tarafnya sudah membuat pusing dan semakin menjerumuskan dalam kubangan keterpurukan serta mengawetkan kegalauan.

Baca Juga  Menjadi Muslim yang Disenangi Tuhan dan Banyak Orang, Why Not?

Sehingga, kita benar-benar perlu menahan untuk tidak berbicara pada hal-hal yang tidak penting. Ya karena itu tadi, resikonya amat besar dan secara tidak sengaja kita bisa melukai orang lain. Muslim yang baik tentu tidak berperilaku seperti itu.

Sebagai penutup, tentu yang saya maksud di sini tidak hanya pertanyaan kapan nikah, pertanyaan-pertanyaan lain yang menjengkelkan juga perlu untuk kita hindari. Seperti kapan lulus, kapan punya anak, kok masih nganggur, kok gemukan, kok kurusan dan sejenisnya.

Akhirnya, memang lebih baik kita menahan, jangan jadikan idul fitri yang hakikatnya menyucikan dosa di antara kita malah berubah jadi ajang menanam benih-benih kejengkelan baru. “Lak eman, ya to?” Wallahu A’lam (AA)

Muhammad Bakhru Thohir Penggerak Komuitas Gusdurian Jogja

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *