Beberapa saat lalu, viral video ceramah singkat dari Prof. Noorhaidi Hasan, Ph.D (Direktur PPs UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta) mengenai fenomena hijrah di kalangan kaum muda Muslim perkotaan. Video ini sontak mendapat respons beragam dari masyarakat Muslim. Banyak yang mengapresiasi dan memuji, namun juga banyak yang mencela, membully, bahkan menghina. Karena menimbulkan polemik, akhirnya video tersebut di-take down oleh pemilik akun.
Apa yang disampaikan Prof. Noorhaidi sejatinya sudah sering disampaikan di beberapa forum dan ditulis dalam beberapa karyanya serta sudah dikaji peneliti lainnya. Kegelisahan utamanya adalah disebabkan karena orientasi keberagamaan kaum muda perkotaan seringkali merujuk pada otoritas yang kurang tepat. Akibatnya, doktrin keagamaan yang diterima cenderung tidak ramah terhadap realitas sosial-kebudayaan dan kebangsaan.
Dalam doktrin agama, hijrah sejatinya dipahami sebagai perpindahan atau transformasi individu dari yang semula penuh dengan hal yang negatif menuju pada hal-hal yang bersifat positif. Dalam istilah lain, hijrah merupakan proses spritual-transendental seorang hamba untuk mendekat kepada Tuhan.
Namun persoalanya, aktualisasi hijrah seringkali dipolitisasi dalam penafsiran dan model tertentu. Misalnya, penggunaan pakaian seperti cadar, celana yang dianggap syar’i, bahkan sampai pada meninggalkan jenis pekerjaan tertentu yang dianggap kurang sesuai dengan syariah seperti pegawai bank karena dianggap melestarikan riba. Inilah barangkali yang dimaksudkan Prof. Noorhaidi hijrah dimaknai secara politis. Kecenderungan untuk menyalahkan pandangan dan pendapat orang lain berdasarkan pemahaman tunggalnya terhadap agama.
Tren hijrah semakin menguat manakala dipopulerkan oleh tokoh publik seperti selebritis, selebgram maupun Muslim perkotaan. Pemaknaan hijrah hanya dimaknai secara simbolik dan terbatas pada hal-hal yang bersifat pragmatis seperti model berpakaian dan cara berkomunikasi terlebih dengan menggunakan diksi-diksi Arab, seperti anā (saya), antum (anda), ikhwān (laki-laki), akhwāt (perempuan) dan lain sebagainya.
Pada titik ini, nampaknya sebagian kaum Muslim belum mampu membedakan antara budaya dan agama. Bahasa juga merupakan bagian dari budaya. Budaya dan agama seringkali tercampur dalam satu konteks yang sebenarnya letaknya adalah berbeda. Sesuatu yang sebenarnya adalah bagian dari budaya namun dikultuskan seolah-olah merupakan sebuah doktrin agama. Parahnya, kesalehan seseorang kemudian juga diukur dengan parameter-parameter tersebut.
Otoritas yang berubah
Derasnya arus globalisasi dan teknologi membawa arus perubahan pada eskalasi keberagamaan. Penyebaran informasi melalui media sosial sangat efektif bagi sejumlah kalangan dalam mendesiminasi sebuah gagasan dan wacana. Media baru ibarat sebuah koin yang memiliki dua sisi sekaligus. Satu sisi dapat membawa hal positif, namun tidak dipungkiri juga dapat berdampak negatif.
Bagi kalangan moderat, media menjadi wadah dalam mendeseminasikan wacana dan gagasan yang mencerahkan dan ramah terhadap keberagaman. Namun bagi kalangan Islamisms (Bassam Tibi, 2012), media menjadi alat politis dalam merebut wacana keagamaan mainstream dan berusaha menampilkan wajah Islam yang ekstrem bahkan radikalis.
Pada posisi di atas, media pada akhirnya menjadi ruang publik atau arena yang diperebutkan untuk mengartikulasikan suatu wacana (Bourdieu, 1995). Maka, tidak heran masing-masing kelompok berusaha mendominasi dan mengisi ruang-ruang publik.
Dalam hal ini pula, penulis (2019) pernah melakukan penelitian mengenai fenomena keagamaan Muslim perkotaan bahwa media sangat mempengaruhi masyarakat Muslim dalam beragama. Media baru selain sebagai sarana menyebarluaskan wacana, ia sekaligus juga sebagai alat beragama. Kelompok Muslim perkotaan menjadikan media seperti Youtube, Instagram, Facebook dan lain sebagainya sebagai rujukan beragama.
Bahkan ada sebuah persepsi yang menunjukan bahwa jumlah pengikut (followers) di media sosial menjadi tolak ukur dari otoritas keagamaan. Semakin banyak jumlah pengikut maka berbanding lurus dengan kualitas dan otoritas keagamaan. Siapa yang memiliki “followers” banyak di media sosialnya maka ada asumsi bahwa ustaz atau penceramah tersebut berkompeten berbicara persoalan agama.
Persoalan otoritas dalam beragama merupakan persoalan penting dan serius di kalangan umat Muslim. Beragama harus berdasar pada referensi dan penafsiran oleh orang yang memiliki tradisi keilmuan yang baik. Karena itu, dalam hal otoritas keagamaan, kompetensi menjadi bagian yang harus diperhatikan. Selain merujuk pada sumber keagamaan yang otentik, juga harus disandarkan pada penafsiran seseorang yang memiliki kompetensi keilmuan bukan ketenaran.
Alih-alih ingin beragama dengan baik, justru terjebak pada doktrin keagamaan yang kurang tepat. Kenderungan mengukur tingkat kesalehan seseorang, klaim kebenaran sepihak sampai menyalahkan pihak lain yang berbeda pandangan dengan stigma kafir, sesat dan lain sebagainya. Pemikiran atau pandangan klaim kebenaran sepihak dalam beragama seperti itu, tak ubahnya seperti pola pikir kanak-kanak yang impulsif. Menurutkan apa yang dikehendaki dan mengutuki bahkan mengamuki sesuatu yang menurut kebenaran subjektifnya salah.
Agama sejatinya memberikan prinsip dan nilai bagi para pemeluknya dalam menjalankan ajaran agama. Hijrah hendaknya dijadikan sebagai basis nilai untuk memproses diri menjadi lebih baik dalam relasi hamba-Tuhan. Sejatinya setiap saat seorang Muslim harus terus berproses menjadi lebih baik tanpa mesti merasa telah menjadi yang terbaik.
Sebagai umat, pekerjaan rumah kita bersama adalah mendidik jiwa, nalar, dan perilaku dalam beragama agar hijrah dari ‘kekanak-kanakan’ paradigma menuju kedewasaan (maturity) dapat terwujud. Sehingga tidak akan ada lagi arogansi atas nama agama. [MZ]