Momen lebaran seminggu yang lalu berjalan seperti tahun kemarin, mudik yang merupakan hajatan dengan mobilitas masyarakat terbesar di negeri ini kembali dilarang. Kita semua tahu (secara logika) bahwa semua itu adalah suatu hal beralasan. Meski demikian, banyak orang yang masih mencoba mencari cara agar bisa sampai kampung halaman, entah dengan mencuri start mudik, atau yang mencari berbagai jalan tikus asal tetap sampai di kampung halaman.
Kabarnya ada beberapa yang naik truk muatan bahan bangunan, menaiki Ambulan sampai yang berkali-kali mencari jalan-jalan alternatif meski banyak yang gagal. Sebelum cepat-cepat menghakimi mereka yang dengan berbagai cara tetap mencoba untuk mudik, rasanya baik kalau kita melihat sebentar makna di balik peristiwa mudik ini. Di balik semua proses ini, Indonesia mencatat sebuah pembelajaran yaitu ketika negeri ini tak sekedar membuat keputusan populis (asal menyenangkan banyak orang), melainkan keputusan berdasakan pertimbangan yang matang.
Bagi masyarakat kita, mudik merupakan sebuah fenomena masyarakat yang ingin untuk kembali kepada akar. Peristiwa pulang kampung, terutama di hari lebaran, menjadi peristiwa yang penting untuk dilakukan. Terbukti orang rela untuk menyingkirkan pertimbangan ekonomi demi memiliki sedikit waktu guna berjumpa dengan orang-orang tercinta. Mudik lebaran, bagi keluarga Indonesia yang plural, tidak hanya milik saudara-saudari Muslim.
Saya seorang Katolik, tetapi saya selalu mengikuti tradisi mudik lebaran. Banyak dari anggota keluarga saya Muslim dan nyatanya meski kami berbeda agama, tetapi lebaran bagi saya meskipun seorang yang beragama katolik, dan mungkin banyak juga orang lain di luar sana, adalah tradisi keluarga; sebuah kesempatan untuk saling berkumpul, melepaskan rindu dan mengungkapkan maaf.
Di daerah saya, pada momen lebaran ada acara khusus yang dikenal dengan Ujung lebaran, mengunjungi anggota keluarga yang lebih tua. Momen ini acara yang special yang tidak terjadi pada momen lain yang hanya sekedar berkunjung saja, yaitu ketika masing-masing saling berbincang berbisik, mengucapkan maaf dan memberikan pengampunan.
Selain itu, pada saat tertentu pasti ada anggota keluarga lain yang jarang berjumpa berkunjung di salah satu rumah anggota keluarga yang lebih tua di waktu yang sama. Hal ini tentu menjadi momen yang sangat menggembirakan. Sehingga, kami pun rela menghabiskan waktu untuk ada dalam kebersamaan itu. Dalam bahasa Jawa ada sebuah istilah Ngumpulke Balung Pisah (mengumpulkan tulang yang terpisah), mengumpulkan kembali keluarga yang terpisah karena pekerjaan dan tempat tinggal.
Maka bisa dipahami jika bagi kaum perantau, masyarakat urban, momen mudik lebaran bukan sekedar peristiwa biasa saja, tetapi menjadi peristiwa yang mengingatkan bahwa kita masih memiliki akar. Pada titik ini pula, kita diingatkan bahwa kita tidak hidup sendirian, tetapi hidup di dalam kebersamaan dan memiliki keluarga tempat kita saling terhubung satu dengan yang lain.
Bagi perantau generasi kedua, ketiga dan selanjutnya, momen ini bukannya semakin tidak penting, tetapi menjadi begitu penting. Ikatan-ikatan ini menjadi penting karena mengingatkan tentang adanya saudara-saudari sedarah yang sama-sama hidup di dunia ini. Peristiwa Lebaran mengingatkan kita untuk tidak mengembangkan kultur individualis, tetapi tetap mengingat ikatan-ikatan persaudaraan yang kita miliki.
Dari sudut pandang sosiologi, Emile Durkheim mengatakan bahwa masyarakat urban ini sebenarnya amat rentan. Mereka memiliki kecenderungan untuk hidup berdasarkan aturan-aturan, dan bukan ikatan-ikatan ‘kudus’ yang memungkinkan orang untuk terhubung satu dengan yang lain.
Aturan-aturan itu misalnya soal aturan pajak, aturan membayar untuk semua bentuk layanan termasuk toilet dan sebagainya. Semua itu di dalam masyarakat tradisional dengan sangat mudah dibagikan dengan gratis, atau atas dasar penghormatan kepada yang lebih tua, kerelaan berbagi dengan tetangga, dan kepedulian kepada mereka yang berkekurangan maupun atas dasar demi kebersamaan seperti halnya peristiwa kenduri di negeri kita.
Kultur desa dengan berbagai kesederhanaannya, meskipun ditinggal karena keinginan untuk mendapatkan penghidupan, tetap dirindukan karena memberi suasana damai. Meskipun sejenak saja, mudik menjadi kesempatan untuk mendapatkan ruang damai di tengah iklim persaingan yang ada di kota.
Jika berangkat dari sudut pandang yang demikian, maka bagi orang-orang yang tidak bisa mudik, kita tahu memang ada sesuatu yang memang sedang kita korbankan. Pendeknya, momen mudik lebaran adalah oase di tengah getirnya kehidupan. Oase seperti itu ironinya justru makin dibutuhkan di tengah situasi pandemi yang tak terelakkan ini.
Rela Berkorban
Setelah bersama-sama mengingat dan memaknai lebaran, tiba saatnya bagi kita untuk mencoba realistis dengan keadaan ini. Bagaimana caranya? Tiap-tiap dari kita sebenarnya tahu apa yang saat ini sedang dipertaruhkan. Kita, terutama pemimpin negeri ini, sedang mengalami pilihan yang sulit antara memberikan ijin mudik lebaran dengan konsekuensi mengacaukan pencapaian ‘tingkat kestabilan’ penanganan Covid 19, atau tidak memberikan ijin mudik lebaran dengan konsekuensi akan mengecewakan sekian juta orang yang merindu berjumpa dengan saudara di masa lebaran.
Saya pikir dalam hal ini para pemimpin negeri kita tidak dengan senang hati membuat keputusan. Begitu banyak konsekuensi yang harus dibayar, termasuk aparat keamanan yang berjaga 24 jam untuk membuat penyekatan mobilitas orang, dan kemungkinan dibenci oleh warga karena tidak membuat keputusan yang tidak populer.
Dalam hal ini, ada sebuah prinsip moral yang disebut sebagai prinsip Minus Mallum yang berarti mengambil pilihan terbaik di antara pilihan yang buruk atau lebih tepatnya mengambil pilihan yang mempunyai tingkat keburukan yang lebih kecil. Peristiwa mudik lebaran dengan potensi kerumunan di berbagai tempat transportasi umum, dan juga kemungkinan membawa penyakit ke daerah asal, menjadikan pilihan melarang mudik menjadi pilihan yang paling realistis. Pengalaman tsunami Covid 19 di India imbas perayaan Hari Raya Kumbh Mela di Sungai Gangga tentu menjadi peringatan yang penting untuk negeri ini.
Dalam kesadaran bahwa ini adalah pilihan yang sulit untuk semua, rasanya sah bagi kita untuk menyadari bahwa yang menangis, menggerutu, bersedih karena tidak adanya mudik tahun ini bukan hanya diri kita. Seperti kita semua tahu, memang, di dunia ini kita tidak hanya dihadapkan kepada pilihan-pilihan yang mudah.
Kita sedang sama-sama ada dalam pilihan yang sulit. Amat bolehlah kita menangisi situasi ini, tetapi kemudian dengan gagah menghadapinya, karena bukan salah kita, ataupun pemerintah kalau kita tak bisa mudik tahun ini. Setelah perhelatan Lebaran tahun ini usai, sembari tetap menyimpan rindu untuk berlebaran di tahun depan, kita tahu Negara ini bertumbuh dewasa dalam membangun keputusan. [AA]