Martinus Joko Lelono Pastor Katolik dan Pengajar Kajian Agama dan Dialog di Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma

Persatuan: Sisi Lain di Balık Terjadinya Musibah

2 min read

source: wartaprima.com

Tahun-tahun ini, kita sedang mengalami berbagai macam kesulitan dan tantangan. Pandemi Covid 19 yang kita jalani sejak setahun yang lalu yang sampai hari ini belum jelas kapan usainya, peristiwa teror di Katedral Makasar dan Mabes Polri, peristiwa banjir dan bencana di Nusa Tenggara Timur dan gempa di Malang yang bulan-bulan ini terjadi serta yang terakhir peristiwa tenggelamnya kapal selam KRI Nanggala 402 beserta gugurnya ke-53 awaknya.

Peristiwa-peristiwa ini bisa saja berlalu begitu saja tanpa kita mencoba menggali makna daripadanya. Socrates, seorang filsuf besar, mengatakan bahwa hidup yang tidak direfleksikan tak layak untuk dihidupi. Sudah ada yang coba merefleksikan dari berbagai sudut pandang mulai dari masalah kebencanaannya, kesehatannya, perkara ketahanan nasionalnya. Namun, saya lebih tertarik untuk merefleksikannya dari sudut pandang rasa persatuan.

Imagined Communities dan Pentingnya Arti sebuah Persatuan

Salah satu pemaknaan atas rasa persatuan kita adalah apa yang disebut sebagai nasionalisme. Dalam kajiannya tentang Imagined Communities, Benedict Anderson, seorang sejarawan Indonesianis, mengatakan bahwa bangsa adalah sesuatu yang terbayang karena para anggota terkecil sekali pun tidak akan bertemu dan tidak akan mengenal sebagian besar anggota yang lain, tidak akan bertatap muka dengan mereka bahkan mungkin tidak pula pernah mendengar tentang mereka.

Namun, toh, di benak mereka setiap orang yang ada di dalam bangsa itu hidup dalam sebuah bayangan tentang kebersamaan mereka (1983, 6). Di dalam rasa kebersaaman itulah terbentuk berbagai macam bentuk kebanggan bersama, suka duka bersama, perjuangan bersama dan kesatuan nasional.

Dalam sudut pandang yang sama kita bisa melihat berbagai upaya tindakan yang tidak nasionalis yang menentang kesatuan bangsa: berbagai bentuk diskriminasi kepada sebagian warga bangsa; tindak korupsi yang dengan jelas-jelas merugikan kepentingan bersama; upaya-upaya kelompok tertentu untuk mengemplang pajak; berbagai bentuk penyebaran Narkotika yang merusak masa depan bangsa; serta berbagai terror untuk mendiskreditkan sesama warga bangsa. Ini semua menjadi musuh bersama dari negeri kita tercinta.

Baca Juga  Mengenal Molenbeek, Brussel, sebagai sarang teroris (1)

Sisi Lain di Balik Bencana

Di tengah berita-berita buruk tentang orang-orang yang mengkhianati persatuan kita sebagai bangsa, kita melihat bahwa bangsa ini adalah bangsa yang dibangun dengan rasa persatuan yang kuat. Kita masih memiliki begitu banyak perekat-perekat persatuan yang menjadikan bangsa kita mampu bertahan di tengah berbagai goncangan yang melandanya.

Peristiwa pandemi Covid 19 yang di beberapa tempat melahirkan berbagai bentuk penjarahan, sikap acuh tak acuh dan egoisme, di tempat kita menjadi ajang amal tatkala ada upaya untuk saling berbagi. Tak lagi perlu diragukan berbagai upaya berbagi sayuran dan bahan makanan gantung di pojok-pojok perumahan, gerakan bersama warga kampung untuk memperhatikan mereka yang menjalani isolasi mandiri dan semboyan “Corona bukan Kutuk” yang menghiasi berbagi tempat guna melawan ketakutan berlebih dan diskriminasi menjadi bukti kokohnya persatuan kita melawan pandemi yang terjadi.

Dalam peristiwa terorisme, berbagai bentuk simpati dan upaya untuk terlibat menjaga gereja sungguh terasakan. Saya adalah seorang Pastor Katolik. Dari berbagai cerita teman-teman Pastor dan Pendeta, perayaan paskah tahun ini dijaga dengan luar biasa sehingga berbagai perayaan Paskah berjalan dengan lancar. Upaya itu tak sekedar dilakukan oleh para aparat, tetapi juga dari berbagai organisasi masyarakat yang tak ingin negerinya dihancurkan.

Peristiwa bencara di NTT dan Malang disikapi dengan berbagai bentuk upaya doa dan bantuan. Doa untuk negeri bergema di mana-mana, baik di dunia nyata maupun di dunia maya. Berbagai bentuk bantuan datang melalui berbagai lembaga. Beberapa Mahasiswa di tempat saya tinggal dalam keterbatasannya mengadakan penggalangan dana guna membantu mereka yang terkena bencana. Lagi-lagi, ini adalah sebuah pilar persatuan negeri kita.

Baca Juga  Sel-Sel NII (Bagian VII): Modernis Radikal, Tradisional Radikal

Terakhir peristiwa tenggelamnya Kapal Selam KRI Nanggala 402 menjadi perhatian negeri. Sejak dinyatakan hilang kontak sampai dinyatakan tenggelam bersama gugurnya ke-53 awaknya, orang berharap akan mukjizat. Doa dipanjatkan dari berbagai tempat ibadah, dukungan dinyatakan dalam berbagai platform di media social setelah pernyataan dari Panglima TNI tentang gugurnya ke-53 awak Kapal Selam KRI Nanggala 402, yang disertai dengan tangis haru, berbagai bentuk penghormatan muncul di media sosial kita.

Segera viral slogan “Tabah Sampai Akhir” milik para awak kapal disertai foto-foto dan video tentang mereka. Secara khusus kita sampaikah hormat kepada para Ksatria Hiu Kencana yang gugur dalam tugas menjaga kedaulatan bangsa. Sekali lagi, duka negeri mengingatkan kita akan kesatuan sebagai bangsa.

Mimpi-mimpi Baru dan Kebanggaan sebuah Negeri

Sembari melihat bagaimana kekuatan negeri ini di tengah berbagai hempasan permasalahan yang dihadapi, terselip kerinduan agar negeri ini pun bersatu oleh berbagai prestasi dan kebanggaan. Kita rindu saat kita bisa bersatu tanpa harus disertai tangis. Mungkin saat-saat itu terngiang ingatan saat Susi Susanti memenangkan Olimpiade 4 Agustus 2002, atau akan saat di mana Habibie menerbangkan pesawat N250 Gatutkaca untuk pertama kalinya pada 10 Agustus 1995.

Ingatan akan berbagai prestasi di dunia Bulutangkis, Sepakbola dan berbagai bentuk kebanggaan bangsa lain perlu dikembangkan sehingga warga negeri ini bangga akan bangsanya.

Kita bangga akan negeri ini. Ada begitu banyak kebaikan di dalamnya. Namun, sebagai peziarah di dunia, selalu terselip harapan agar negeri ini mencapai mimpi-mimpi baru yang menyuburkan kebanggaan atas tanah air dan bangsa. Jayalah selalu negeriku. [AA]

Martinus Joko Lelono Pastor Katolik dan Pengajar Kajian Agama dan Dialog di Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma