M Mujibuddin Alumnus Pascasarjana Filsafat Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta; Editor Arrahim.id

Yang Kurang Dipahami Masyarakat tentang Kenaikan BBM

2 min read

Tanggal 31 Agustus lalu, masyarakat diprank oleh pemerintah. Pasalnya pemerintah akan menaikkan harga BBM di tanggal 1 September. Imbasnya, pom-pom dibanjiri oleh pengendara baik yang beroda empat maupun beroda dua. Antrian panjang banjir ke jalan raya. Eh dilalah kok besoknya harga tidak naik.

Seketika itu perasaan warga tenang. Alhamdulillah harganya tidak jadi naik. Namun rasa syukur tersebut tidak berselang lama. Dua hari setelah warga di prank, Sabtu 03-09-2022, pemerintah secara sah menaikkan harga untuk pertalite, solar, dan pertamax. Warga kaget dan tidak siap untuk mengantri karena pemerintah di hari itu juga langsung menaikkan harga.

Kenaikan ini berawal dari evaluasi Kemenkeu yang menganggap kalau beban subsidi untuk BBM terlalu besar. Akibatnya tidak banyak sektor lain yang dapat dibantu dari APBN. Pemerintah berdalih bahwa penggunaan BBM semakin banyak sehingga pemerintah harus menambah subsidi.

Sebenarnya dalih pemerintah tidak salah. Memang saat ini banyak orang punya mobil pribadi, satu keluarga orang kaya dengan empat anggota keluarga bisa memiliki satu-satu. Belum lagi motor yang dimiliki oleh setiap individu karena kendaraan telah menjadi kebutuhan primer masyarakat. Orang bekerja di sawah, pakeknya ya motor. Orang kerja di pabrik atau kantor pakeknya ya motor. Ya meski masih ada satu dua orang yang menggunakan transportasi umum tapi jumlahnya tidak sebanding.

Menurut saya ini disebabkan karena budaya konsumerisme sebagai bagian dari budaya industri berdampak pada peningkatan jumlah konsumsi BBM. Apa yang saya maksud dengan budaya konsumerisme adalah adanya pergeseran paradigma atau cara pandang tentang kendaraan dari kebutuhan sekunder ke kebutuhan primer. Akhirnya orang lebih baik membeli kendaraan pribadi dari hasil kerjanya. Padahal kemampuan daya belinya justru menambah beban negara karena konsumsi yang bertambah terhadap BBM.

Baca Juga  Dari Samurai Musashi, Kita Belajar Mengenal Diri

Ini yang kurang disadari oleh warga kelas menengah. Mereka ada duit sedikit langsung beli kendaraan. Mau bepergian ke kantor yang jaraknya bisa ditempuh dengan jalan kaki menggunakan motor. Kebiasaan-kebiasaan seperti ini yang menghabiskan BBM.

Di tambah lagi, orang-orang yang memiliki gaji dua digit tidak mau membeli BBM non-subsidi. Melihat harga BBM pertalite murah akhirnya beli yang murah. Istilahnya, sugih duwik, miskin mental. Orang-orang seperti ini banyak ditemukan di pom-pom. Lihat saja di antara mereka yang mobil mewah atau ‘beruang’ dengan gaji dua digit rela mengantri untuk mendapatkan BBM subsidi.

Sudah jelas-jelas di sini pemerintah telah memberikan batasan bahwa pertalite hanya untuk orang miskin. Pertalite tidak diperuntukkan bagi mereka yang punya gaji dua digit atau di atas lima juta lah. Kasihan orang-orang yang gajinya masih dibawah lima juta hanya pas untuk biaya hidup, anak sekolah, dan keperluan lainnya.

Bahkan sekelas PNS yang sudah disuruh oleh pemerintah untuk menggunakan jenis BBM non-Subsidi pun masih banyak yang mengambil jatah orang miskin. Tidak jarang dari mereka justru membeli pertalite karena harganya murah. Petugas pom sendiri juga tidak bisa memantau pembeli apakah ia adalah petugas negara atau bukan, orang kaya atau bukan, orang miskin atau bukan.

Dengan alasan demikian bisa diterima dalih pemerintah yang menyatakan bahwa konsumsi BBM bersubsidi melebihi perhitungannya. Toh pada akhirnya meski dinaikin masyarakat tetap akan membeli karena membutuhkan.

Imbas dari kebiasaan konsumsi yang berlebihan atas BBM adalah naiknya BBM lainnya (Bahan-Bahan Makanan). Suplai sayur maupun bahan dapur lainnya dari petani ke kota atau pasar membutuhkan kendaraan. Jika BBM naik maka harga BBM (makanan) juga akan naik. Dibilang susah ya susah tapi mereka semua sudah ketertangantungan dengan itu.

Baca Juga  Qutbi’isme, Psikologi Kelompok, dan Politik Perpecahan

Sopir angkot dan bus trayekan pasti teriak-teriak. Di masa pandemi mereka telah terpukul karena jumlah penumpang yang minim. Sekarang harga BBM naik dan harga karcisnya pun juga naik sehingga penumpang berpikir dua kali jika mau naik angkot atau bus karena harganya yang mahal.

Kendaraan yang sebenarnya kebutuhan sekunder dan/atau tersier telah menjadi kebutuhan primer. Mindset orang-orang industri saat ini telah menggeser paradigma kendaraan tersebut. Akibatnya, jumlah penggunaan BBM semakin meningkat dan pada akhirnya harganya pun semakin meningkat. Perlu diingat bahwa BBM akan habis. Kendaraan tidak lama juga akan hilang. Tinggal nunggu waktu yang tepat untuk mengatakan bahwa mobil dan motor adalah kendaraan yang telah menjadi sejarah.

 

M Mujibuddin Alumnus Pascasarjana Filsafat Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta; Editor Arrahim.id