Muhammad Nurul Mubin Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga

Barokah dalam Dinamika Pesantren di Era Disrupsi: Bertahan atau Berubah?

2 min read

Pesantren telah melahirkan tokoh-tokoh besar dalam berbagai bidang, bukan sebagai kebetulan, melainkan hasil dari sistem pendidikan yang khas. Lembaga pendidikan ini, yang sering dianggap konvensional, justru berhasil mencetak ulama besar seperti KH. Hasyim Asy’ari, KH. Wahab Hasbullah, dan KH. Arwani Amin. Bahkan, tokoh nasional seperti KH. Abdurrahman Wahid pernah menimba ilmu di pesantren sebelum menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia ke-4.

Fakta ini membuktikan bahwa pesantren bukanlah lembaga kuno atau kolot, melainkan institusi yang memiliki peran penting dalam membentuk karakter dan intelektualitas bangsa. Pesantren juga berperan besar dalam penyebaran dan dakwah Islam di Indonesia, didukung oleh metode pembelajaran dan pendekatan yang khas.

Dalam lingkungan pesantren, kyai menjadi sosok utama yang menjadi panutan santri. Keberadaan kyai diibaratkan seperti jantung bagi kehidupan manusia. Peran (wadzifah) kyai sangat luas, mencakup fungsi sebagai perintis, pendiri, pengelola, pengasuh, pemimpin, dan sering kali pemilik tunggal pesantren. Tidak jarang, ketika seorang kyai wafat tanpa penerus yang kuat, pesantren mengalami kemunduran atau bahkan tutup.

Sebagai figur sentral, kyai menanamkan nilai-nilai pesantren yang disebut “panca jiwa”, yakni keikhlasan, kesederhanaan, kemandirian, persaudaraan, dan kebebasan dalam menentukan jalan perjuangan . Keikhlasan tercermin dalam pengabdian kyai yang mendidik tanpa mengharapkan imbalan material. Kesederhanaan menjadi prinsip hidup sehari-hari santri, sementara kemandirian melatih mereka agar mampu menghadapi tantangan hidup. Persaudaraan mempererat hubungan sesama santri, dan kebebasan dalam menentukan jalan perjuangan memberikan ruang bagi santri untuk berkembang sesuai bakat dan potensinya.

Salah satu konsep esensial dalam pendidikan pesantren yang tidak ditemukan dalam sistem pendidikan formal lainnya adalah barokah. Santri meyakini bahwa barokah diperoleh melalui penghormatan dan pengabdian kepada kyai, sebagaimana disebut dalam hadis “al-ulama’ warasatul anbiya’” (ulama adalah pewaris para nabi). Dalam Mu’jam Mufradat Alfadz al-Qur’an, Ar-Raghib Al-Asfahani menjelaskan bahwa barokah adalah kebaikan Ilahi yang tetap pada sesuatu (Asfahani, cet. Dar al-Fikr).

Baca Juga  Reid Library, Perpustakaan dengan Pelayanan dan Fasilitas Mengagumkan di Australia

Jamaluddin Kafi (1992) mendefinisikan barokah sebagai nilai tambah yang diberikan Allah kepada siapa pun yang dikehendaki-Nya, baik secara langsung maupun melalui perantara, sebagai bentuk anugerah (fadhal) dan rahmat-Nya. Quraisy Shihab (2002) juga menegaskan bahwa barokah bermakna keberkahan yang melimpah dan mantap, sebagaimana analogi kolam air (birka), yang menampung air secara stabil dan tidak tercecer.

Dalam praktiknya, santri yang mencari barokah melalui pengabdian kepada kyai juga mengalami pendidikan karakter secara tidak langsung. Dengan mengikuti ajaran dan nasihat kyai, mereka belajar norma-norma kesopanan, ketawadhuan, serta penghormatan terhadap guru. Hal ini terlihat dari banyaknya alumni pesantren yang sukses di berbagai bidang, baik sebagai ulama, akademisi, maupun pemimpin masyarakat.

Seiring perkembangan zaman, pesantren menghadapi tantangan besar akibat perubahan teknologi dan budaya. Era disrupsi membawa pergeseran sistem pendidikan pesantren, terutama dalam hubungan antara santri dan kyai. Sistem pendidikan pesantren kini semakin terbuka terhadap pengajar dari luar, serta mengalami perubahan dalam manajemen dan kepemimpinan yang tidak lagi sepenuhnya berada di tangan kyai.

Akibatnya, tujuan pendidikan pesantren pun mengalami perubahan. Jika sebelumnya pesantren berfokus pada pembentukan moral, spiritualitas, dan kebersihan hati, kini banyak pesantren mulai menitikberatkan pendidikan pada persiapan santri untuk memasuki dunia kerja melalui penguasaan ilmu umum. Beberapa pesantren modern bahkan menjadikan hal ini sebagai prioritas utama, mengurangi fokus pada pembentukan karakter berbasis spiritualitas dan religiusitas.

Untuk menghadapi tantangan ini, beberapa pesantren mulai menerapkan inovasi pendidikan, seperti integrasi kurikulum berbasis teknologi, pengembangan program kewirausahaan santri, serta kerja sama dengan institusi pendidikan tinggi. Langkah-langkah ini bertujuan agar santri tetap memiliki pijakan kuat dalam nilai-nilai pesantren sambil tetap relevan dengan perkembangan zaman.

Baca Juga  Tindakan Erdogan untuk Hagia Sophia Cukup Memalukan

Pendidikan karakter di pesantren merupakan hasil dari berbagai nilai yang diajarkan dalam kehidupan sehari-hari. Figur kyai menjadi pusat perhatian dan teladan bagi santri, yang dituntut untuk selalu patuh dan mengambil hikmah dari berbagai pengalaman di lingkungan pesantren.

Sebagai lembaga pendidikan Islam yang telah lama eksis di Indonesia, pesantren secara konsisten menanamkan nilai-nilai keikhlasan, kesederhanaan, kemandirian, persaudaraan, dan gotong royong. Nilai-nilai inilah yang membentuk karakter santri dan menjadikan mereka individu yang tidak hanya memiliki pengetahuan agama yang kuat, tetapi juga siap menghadapi tantangan zaman. Oleh karena itu, dalam menghadapi era disrupsi, pesantren perlu menyesuaikan diri tanpa kehilangan esensi pendidikannya, yaitu pembentukan karakter berbasis spiritualitas dan religiusitas, yang telah terbukti melahirkan tokoh-tokoh besar di Indonesia.

 

Refrensi

Asyfahani, A.-R. Al. (n.d.). Mu’jamu Mufradat al-Fadil Quran. Darul Fikr.

Jamaludin Kafi. (1992). Barokah Apa, Dimana dan Bagaiama? Prenduan Madura. Cahaya Gusti.

Makmun, H. A. R. (2016). Pembentukan Karakter Berbasis Pendidikan Pesantren: Studi di Pondok Pesantren Tradisional dan Modern di Kabupaten Ponorogo. Cendekia: Jurnal Kependidikan Dan Kemasyarakatan, 12(2), 211–238.

Shihab, M. Q. (2002). Tafsir Al-Misbah (Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an). Jakarta: Lentera Hati.

Muhammad Nurul Mubin Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga