Muhammad Asrori Direktur Pondok Pesantren Mahasiswa UNISLA Lamongan.

Kajian Hadis (3): Pandemi dan Cinta Negara Ala Rasulullah

3 min read

Pandemi Covid-19, berhasil mengoyak tatanan dunia. Manusia dibuat begitu ringkih di hadapannya. Wabah ini juga egaliter, mulai pesohor, hingga si miskin papa tak pandang bulu disasar merata. Keramaian kini berharga mahal, keceriaan tak lagi maujud dalam keseharian. Dalam keadaan begini, manusia seakan menemukan titik balik dari keperkasaannya.

Selain itu perhatian manusia banyak teralihkan, isu-isu mengerucut membahas wabah ganas ini. Isu-isu politik dari tingkat lokal hingga global, termasuk isu perang dagang antara Amerika Serikat versus China banyak terkesampingkan. Semuanya berganti berita kepedihan yang ditimbulkan oleh virus ini. Dari berita kematian mengerikan di seantero negeri, dari Ekuador, Italia, Jerman hingga negeri adikuasa Amerika. Termasuk isu-isu penemuan ini-itu yang bisa menangkal atau pun anti-virus Covid-19, kesemuanya memunculkan harapan dan kecemasan.

Di saat seperti ini, ritual-ritual keagamaan pun sebagian dibatasi demi menjaga agar sebaran virus ini tak semakin massif. Namun tak semua setuju, bahkan sebagian menentang keras dan menganggap larangan itu sebagai serangan atas hak beragama dan beribadah. Sebagian lagi anggap larangan itu adalah bentuk ketidakpercayaan pada kekuasaan Allah SWT semata.

Karena itu larangan demi larangan dan langkah demi langkah yang dilakukan pemerintah guna mencegah sebaran virus ini kerap mendapatkan kritik bahkan tentangan. Oknum dan warga bangsa yang sedemikian pada dasarnya dapat dikatakan hanya mengedepankan ego dan kepentingan pribadinya semata. Kurang mempunyai empati dan rasa cinta terhadap negeri.

Padahal, menurut saya, andai mereka mencintai agama dan mampu meneladani Rasulullah dalam menghadapi pandemi dan mencintai negeri ini, sikap yang demikian tak akan terjadi. Dalam kitab Shahih-nya, Imam Imam Bukhari menjelaskan sesuatu yang menarik, yakni terkait untuk menghilangkan wabah dan penyakit.

Baca Juga  Alif dan Mim (5): Tangis Bahagia, Tangis Duka Datang Bersama

Imam Al-Bukhori meriwayatkan sebuah hadits dari Ummul Mu’minin ‘Aisyah yang menjelaskan bahwa Rasulullah saw bersabda, “Ya Allah jadikanlah kami mencintai Madinah sebagaimana kami mencintai Mekah atau lebih dari itu. Dan alihkanlah demam (penyakit)-nya ke Juhfah. Ya Allah berkahilah pada Mud dan Sha’-nya.” Hadis ini dicantumkan pada pembahasan Al-Da’awat, tentang do’a-do’a Rasulullah, dalam bab do’a.

Ada beberapa hal yang perlu kita pelajari dari hadits ini. Pertama, bahwa hadits ini juga disebutkan dalam bab lain oleh Imam Bukhari, yakni dalam bab keutamaan Madinah. Serta oleh muhadis lain semisal Imam Muslim dan Imam Malik dalam Al-Muwatha’-nya. Disebutkan bahwa ketika Rasulullah sampai di Madinah, kota itu penuh dengan wabah. Bahkan, Abu Bakar dan Bilal terkena demam tinggi hingga mengigau.

Ketika Aisyah mengabarkan dan mengadu tentang keadaan yang merisaukan itu, maka Rasulullah malah berdoa agar beliau diberikan kecintaan pada Madinah. Kecintaan pada negeri akan berimbas pada upaya untuk memperbaiki keadaan. Alih-alih egois demi kepentingan pribadi dan kelompok semata. Apalagi demi kepentingan politik semata, tentu hal tersebut sangat hina adanya.

Kedua, beliau juga menyebut tempat bernama Juhfah dalam hadits ini. Dalam konteks membincang kecintaan pada negeri, Juhfah punya arti tak kurang penting. Juhfah adalah tempat turun ayat ke-85 dari surat Al-Qashash. “Sesungguhnya dzat yang mewajibkan engkau (Muhammad) untuk melaksanakan (hukum-hukum) Al-Qur’an, benar-benar akan mengembalikanmu ke tempat kembali. Katakakanlah (Muhammad), ‘Tuhanku lebih mengetahui orang yang datang dengan petunjuk dan siapa yang yang berada dalam kesesatan.’”

Menurut Ibnu Abbas seperti dikutip Imam Qurtubi dalam tafsirnya, ayat ini bukan makkiyah bukan pula madaniyah, karena turun di Juhfah. Sebuah tempat perbatasan Mekah dan Madinah. Ketika itu, Rasulullah sedang berada di gua untuk menghindari musuh, kala hendak hijrah ke Madinah. Saat beliau hendak memulai kembali perjalanan dan sampai di Juhfah, beliau melihat arah jalan ke Mekah. Saat itulah timbul rasa rindu, Jibril kemudian datang dengan membawa ayat ini.

Baca Juga  WNI, Ramadan dan Penanggulangan Covid-19 di Riyadh

Ceritera lebih luas disampaikan oleh Imam Nawawi Al-Bantani dalam kitab tafsir Marah Labid. Bahwa ketika itu Rasulullah merasa rindu pada Mekah sebagai tempat kelahiran beliau dan ayahandanya, maka Jibril turun dan bertanya, “Ya Rasulullah, apakah engkau rindu pada negaramu dan tempat kelahiranmu serta ayahmu?” “Benar,” jawab Rasulullah. Jibril lalu menimpali dengan sebuah penghiburan, “Ya Rasulullah, sesungguhnya Allah berfirman kepadamu.” Jibril pun membaca ayat dari surat Al-Qashash itu. Cerita serupa ini dapat kita telusuri pada karya tafsir Imam Ala’udin Ali bin Muhammad bin Ibrahim atau karib disebut sebagai Imam Al-Khazin.

Menurut seorang mufassir kontemporer, Al-Allamah Al-Syaikh Mutawalli Sya’rawi, ayat ini menjelaskan bahwa ketika Rasulullah meninggalkan Mekah, negeri yang sangat dicintainya menuju Madinah. Beliau berdo’a, “Ya Allah sesungguhnya Kau memerintahkan aku keluar dari negeri yang amat aku cintai, maka tempatkanlah aku di negeri yang lebih engkau cintai.”

Imam Sya’rawi juga menyamakan kalimat, “…benar-benar akan mengembalikanmu ke tempat kembali,” sebagaimana janji Allah kepada ibu Musa. Allah menjanjikan akan mengembalikan sang anak (Musa) kepada ibunya. Lagi-lagi kita diberikan pelajaran agung, bahwa mencintai ibu dan ibu pertiwi selalu berkelindan.

Maka dapat disimpulkan bahwa mencintai negeri, tak hanya pada negeri di mana kita dilahirkan semata, tapi juga di negeri di mana Allah menempatkan kita, sebagai sebuah bentuk syukur. Selain itu, dalam kondisi pandemi sedemikian ini, sebagaimana Rasulullah tetap mencintai Madinah dan berbuat banyak demi kecintaan beliau pada Madinah. Maka, mencintai negeri dengan usaha nyata mencegah berkembangnya virus adalah sebuah sunah Rasulullah yang sangat patut diteladani.

Ketiga, dalam do’a beliau juga menyinggung tentang keberkahan makanan. Dalam situasi pandemi seperti saat ini, dalam usaha untuk mengontrol dan menghentikan persebarannya seperti penerapan social distancing, tentu ini mempunyai dampak yang sangat luas dalam kehidupan masyarakat. Misalnya, peluang terjadinya kekurangan bahan makanan yang sangat mungin terjadi.

Baca Juga  DI WADAS

Maka, permohonan atas keberkahan makanan dalam do’anya, saya kira, merupakan sebuah isyarat luar biasa. Untuk mendapat keberkahan, kita perlu menjaga solidaritas dan empati. Keberkahan bukanlah tentang jumlah semata, tetapi perasaan cukup dan niatan berbagi pada sesama. Artinya, saat kerapuhan menghantam sendi ekonomi rakyat, saat itu pula kita harus berbagi, menebar derma, dan sedekah. Demikian itu agar apa yang kita nikmati mengandung berkah.

Muhammad Asrori Direktur Pondok Pesantren Mahasiswa UNISLA Lamongan.

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *