Muhamad Rouf Didi Sutriadi Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Melihat Akar Kekerasan di Dunia Islam

3 min read

Kalangan masyarakat yang update mengikuti kejadian-kejadian yang terjadi di dunia tentu sudah tidak asing lagi dengan isu teroris dan konflik militer yang melibatkan para muslim. Tercatat dari 204 pengeboman yang terjadi dari tahun 1994 sampai 2008, yang memakan banyak korban di seluruh dunia, pelaku dari tiga per lima kejadian tersebut adalah kelompok-kelompok islamis.

Tidak hanya itu, pada tahun 2009, terdapat tiga puluh konflik kecil dan enam perang di dunia, yang mana dua per tiga dari pihak yang berperang (8 dari 12) dan dua per lima dari pihak yang berkonflik ringan (24 dari 60) pelakunya adalah mayoritas negara muslim dan kelompok-kelompok muslim.

Tentunya, keterlibatan muslim ini tidak proporsional, karena mengingat jumlah kaum muslim yang hanya seperempat dari warga dunia. Begitu juga dengan negara mayoritas muslim yang hanya seperempat pula dari seluruh negara yang ada di dunia.

Rasio keterlibatan muslim yang tinggi dalam peperangan, konflik ringan, dan terorisme sangat berkontradiksi dengan apa yang dilakukan oleh kaum muslim pada Perang Dunia I dan II, di mana muslim tidak berperan dalam perang tersebut.

Bahkan sampai tahun 1980-an, muslim umumnya mengalami lebih sedikit kekerasan dalam negeri dibandingkan dengan beberapa rezim komunis dan fasis seperti di Asia Tenggara, Amerika Latin, Tiongkok, dan Uni Soviet.

Sebagai tambahan juga bahwa dari tahun 1940-1980 mayoritas teroris berpaham sosialis dan bukan islamis. Dari sini dapat disimpulkan bahwa lonjakan keterlibatan muslim dalam kekerasan (peperangan, konflik ringan dan terorisme) baru terjadi akhir-akhir ini (1980-sampai saat ini).

Maka, patut untuk ditanyakan, apa yang menjadi penyebab dari semua ini? Ahmet T. Kuru dalam bukunya Islam, Otoritarianisme, dan Ketertinggalan, menyebutkan setidaknya terdapat empat hal yang harus dipahami dalam melihat fenomena kekerasan di dunia muslim yang sekarang terjadi, yaitu penjajahan dan pendudukan Barat, peran Islam, ulama, dan negara otoriter.

Baca Juga  Memperkuat Social Closeness di tengah Social Distancing

Penjajahan dan Pendudukan Barat

Para intelektual berasumsi bahwa yang menjadi penyebab tingginya kekerasan dalam dunia Islam adalah kolonialisme Barat. T. Kuru mengutip pendapat Farntz Fanon yang menjelaskan bahwa kolonialisme yang dilakukan oleh Prancis di Aljazair, memicu kaum muslim saat itu untuk terpaksa melakukan kekerasan untuk mempertahankan kemerdekaan dan juga martabat mereka.

Akibatnya para ulama yang pasif kala itu tersingkir di mata banyak pemuda muslim. Mereka lebih suka dengan para islamis radikal karena memandang bahwa para islamis ini lebih menarik, gagah, dan berani dalam melawan kolonialisme dan pendudukan barat.

Intervensi Barat terhadap negara Timur yang berdampak pada tingginya kekerasan di dunia muslim tidak hanya berhenti pada penjajahan dan pendudukan, melainkan banyak bentuknya. Salah satunya adalah dukungan seperti dukungan Amerika Serikat untuk mujahidin Afghanistan.

Setelah kemerdekaan Aljazair dalam melawan kolonialisme Prancis, kekerasan dipandang sebagai sesuatu yang efektif dalam melawan penajajahan. Maka, ketika Soviet melakukan invasi ke Afghanistan pada 1979, umat Islam dengan dukungan Amerika Serikat yang sangat antusias membangkitkan kekerasan islamis, yaitu kelompok mujahidin Afghanistan yang pada waktunya akan secara bertahap menggantikan ideologi sosialisme menjadi islamisme, yaitu kelompok-kelompok anti-Barat garis keras.

Namun, perlu diingat bahwa penjajahan atau pendudukan Barat bukan satu-satunya syarat yang cukup untuk menjelaskan terjadinya kekerasan di dunia Islam.

Peran Islam

Para esensialis berpandangan bahwa yang menjadi sumber kekerasan dalam Islam adalah Islam itu sendiri. Yang paling lantang dalam hal ini adalah Adonis yang menjelaskan bahwa Al-Qur’an adalah teks yang mengandung kekerasan.

Dalam pandangan T. Kuru, memilih Islam sebagai sumber dari kekerasan adalah sebuah kesalahan, karena kekerasan adalah masalah umum manusia. Fakta sejarah menjelaskan bahwa kelompok etno-religius telah membunuh jutaan orang. Artinya, agama bukan penyebab seperti apa yang dituduhkan oleh esensialis.

Baca Juga  AICIS 2023: Wujud Moderasi Beragama

Alfred Stepan menjelaskan bahwa semua agama itu multivocal, artinya bisa ditafsirkan untuk mendukung perdamaian atau peperangan. Maka, secara tidak langsung keterkaitan antara teks agama dengan kekerasan itu sangat lemah. Justru kita harus menganalisis faktor utama, yaitu ulama dalam menafsirkan teks agama perihal kekerasan.

Ulama

Mayoritas teroris memakai jihadis-salafisme sebagai ideologi mereka yang dasar tafsir Islam radikalnya bertumpu pada ayat pedang (QS. 9: 5) di mana ayat ini memerintahkan untuk memerangi orang-orang musyrik.

Ulama yang berpangaruh dalam gagasan ini adalah Sayyid Quthb di mana ia menjelaskan bahwa Islam dengan kekerasan mengalami beberapa tahap. Awalnya Al-Qur’an memerintahkan muslim untuk menyebarkan Islam dengan damai, kemudian membolehkan untuk berperang dengan tujuan (defensive war) dan pada akhirnya menyuruh muslim untuk menyerang dengan tujuan menghapuskan organisasi dan otoritas jahiliah.

Bagi Quthb, muslim saat ini harus membaca Al-Qur’an dengan sudut pandang yang terakhir. Di satu sisi, para pakar Islam menjelaskan hal yang sebaliknya bahwa perdamaian adalah tujuan Islam. Ayat-ayat yang menjunjung perang harus dipahami dalam konteks Jazirah Arab saat Al-Qur’an turun, dan ayat pedang (QS. 9: 5) dibatasi konteks sejarahnya.

Dari dua pandangan di atas, tampaknya hipotesis Alfred Stepan tentang agama itu multivocal sangat benar. Oleh sebab itu, T. Kuru memandang bahwa para ulama bisa dianggap memiliki tanggung jawab dan juga berpengaruh dalam menjamurnya kekerasan di dunia Islam.

Negara Otoriter

Dalam teori perdamaian demokratis dijelaskan bahwa negara-negara yang berpaham demokratis tidak akan saling berperang, karena norma dari lembaga demokratis secara langsung memperkuat sikap saling menghargai dan mengerti di antara sesama masyarakatnya.

Selain itu, juga terdapat lembaga demokratis dan diskusi publik yang membatasi para pembuat keputusan. Sebaliknya, negara yang norma dan institusinya otoriter dapat mendorong saling tidak percaya.

Baca Juga  Bolehkah Berpoligami jika Alasannya Ingin Menolong Nyawa Perempuan?

Penguasa otoriter tidak diawasi dewan perwakilan atau dimintai pertanggungjawaban atas keputusannya. Jadi, negara otoriter lebih cenderung berperang karena keputusan penguasa yang tidak bertanggung jawab.

Agar lebih konkret teori di atas, T. Kuru membandingkan dua kawasan, yaitu Timur Tengah dan Asia Timur. Secara historis, dua kawasan ini memilki pengalaman kolonial, intervensi dari Barat, dan mayoritas negaranya otoriter sampai akhir 1980-an.

Namun, setelah tiga dasawarsa, setengah dari kawasan Asia Timur menjadi negara demokrasi. Terbukti, dari 1965-2007, perang antara negara dan konflik militer hampir lima kali lebih tinggi di Timur Tengah dibandingkan Asia Timur, dan juga di kawasan Asia Timur kerja sama antara wilayah Asia Timur terus meningkat.

Sebagai penutup, T. Kuru menjelaskan bahwa negara yang otoriter menyebabkan lahirnya terorisme dan konflik sipil karena menghalangi transisi kekuasaan secara damai dan meradikalkan kelompok yang oposisi.

Karena, di banyak negara Islam, rezim yang otoriter bertahan dengan menindas oposisi sehingga menyebabkan menggunakan kekerasan untuk mengambil kekuasaan karena tidak adanya percakapan. Kelompok-kelompok yang cinta damai akan sedikit mendapat kesempatan untuk bisa bertahan daripada di negara yang demokratis.

Muhamad Rouf Didi Sutriadi Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta