Khairun Niam Mahasiswa sekaligus santri Pondok Pesantren Nurul Ihsan Yogyakarta

Pemahaman Tekstual, Cikal Bakal Munculnya Aksi Radikal

2 min read

Al-Qur’an shalih li kulli zaman wa makan, salah satu adagium yang sering penulis dengar ketika masa kuliah dulu. Makna umum dari kalimat tersebut adalah Al-Qur’an bersifat universal sehingga memiliki makna yang dinamis sesuai pengetahuan dan perkembangan zaman.

Hal ini dibuktikan dengan munculnya berbagai tafsir Al-Qur’an yang berbeda-beda karena tafsir tersebut dibuat berdasarkan latar belakang sosial keagamaan mufassir itu sendiri.

Oleh sebab itu, dalam memahami teks-teks keagamaan diperkenalkan dua pendekatan, yaitu tekstual dan kontekstual. Dalam hal ini, baik memahami hadis maupun Al-Qur’an, pemahaman tekstual cenderung lebih berorientasi pada teks saja, tanpa melihat bagaimana konteks teks keagamaan tersebut hadir.

Sebaliknya, konteks justru lebih terbuka dalam melihat teks keagamaan. Singkatnya, makna Al-Qur’an memiliki relevansi masa lalu, sekarang, dan yang akan datang.

Dari Tekstual ke Radikal

Beberapa tahun terakhir sering kali kita mendengar berita-berita terkait radikalisme di televisi dan media sosial yang meresahkan masyarakat. Kadangkala aksi radikal yang dilakukan sering kali mengatasnamakan agama, tentu saja dengan landasan Al-Qur’an dan hadis.

Aksinya pun beragam. Ada yang mengafirkan, menyerang tempat hiburan, bahkan yang lebih parah adalah membunuh mereka yang tidak sepemahaman dengan cara melakukan pengeboman.

Mengutip dari Salsabila dalam artikelnya, dikatakan bahwa fenomena radikalisme yang terjadi disebabkan karena adanya penyimpangan atau kesalahpahaman terhadap ajaran agama. Teks-teks keagamaan hanya dipahami dengan terjemahan semata dan ditelan mentah-mentah tanpa melihat aspek tujuan dan latar belakang teks tersebut diturunkan.

Dalam ilmu hadis dikenal dengan yang namanya asbabul wurud, yaitu latar belakang dan penyebab hadirnya sebuat hadis, sedangkan dalam ‘ulumul Qur’an terdapat yang namanya asbabun nuzul yaitu latar belakang dan penyebab turunnya teks Al-Qur’an.

Baca Juga  HTI dan Cinta Palsunya kepada Pancasila

Para kaum tekstualis dalam memahami teks keagamaan mengesampingkan dua hal tersebut, sehingga yang mereka pahami bukanlah makna, nilai, dan tujuan teks tersebut hadir, melainkan memahami hanya terjemahannya saja.

Di antara kekeliruan yang fatal dalam memahami teks-teks keagamaan dalam hal ini Al-Qur’an dan hadis, yaitu terkait ayat-ayat jihad dan perang, misalnya. Dalam memahami dua term tersebut perlu dilihat konteks ayat tersebut turun. Oleh sebab itu, sangat bahaya sekali jika kedua term tersebut hanya dipahami secara tekstual karena mengakibatkan munculnya sikap radikal.

Sebagai contoh, beberapa waktu lalu viral video demonstrasi terkait kecurangan dalam pemilihan presiden yang diunggak oleh akun @portalnews007. Salah satu aksi demo menyebutkan surah al-Taubah ayat 14 yang artinya:

“Perangilah mereka, niscaya Allah akan menyiksa mereka dengan (perantara) tanganmu dan Dia akan menghina mareka dan menolongmu (dengan kemanangan) atas mereka, serta melegakan hati orang-orang yang beriman.

Ayat ini dipahami dan digunakan untuk memerangi orang-orang yang mereka anggap curang dalam pilpres kemarin. Padahal, jika kita lebih teliti, maka ayat tersebut tidak ada kaitannya dengan apa yang terjadi dengan pilpres kemarin.

Lebih jauh lagi, selama ini aksi radikal bisa sampai kepada perbuatan terorisme yang dilakukan dengan cara bom bunuh diri dengan dalih jihad fi sabilillah. Lagi-lagi, legitimasi yang digunakan untuk membenarkan aksi mereka adalah Al-Qur’an dan hadis. Dari sini kita bisa melihat bahwa bahayanya memahami teks-teks keagamaan secara tekstual karena dapat berakibat pada perbuatan radikal.

Mengancam NKRI

Sebagai sebuah negara yang majemuk, tentu saja perbuatan tersebut sangat meresahkan masyarakat, khususnya kaum minoritas. Sebagai sebuah negara yang berideologikan Pancasila, Indonesia merupakan wadah sekaligus rumah yang di dalamnya terdapat beragam perbedaan dari suku, agama, dan budaya, sehingga untuk menjaga persatuan dan kesatuan dibutuhkan kesadaran toleransi yang sangat tinggi.

Baca Juga  Jangan Selalu Merasa Berdosa

Di sisi lain, secara historis para ulama juga terlibat dalam proses pendirian negara Indonesia. Hal ini bisa kita lihat dari beberpa aspek dalam Pancasila. Sehingga, jika terdapat orang-orang yang mengatakan bahwa sistem negara ini merupakan thagut dan lain sebagainya, penulis kira perlu untuk membaca sejarah Indonesia lebih banyak lagi.

Kaitannya dengan pemahaman tekstual, sering kali para tekstualis ini menyalah-nyalahkan apa yang telah berlaku sekian abad di Indonesia, seperti budaya dan adat istiadat setempat misalnya.

Praktik budaya ini dianggap bid’ah dan syirik. Padahal, budaya merupakan ciri khas yang menampakan identitas Indonesia. Karena dianggap tidak sesuai dengan ajaran Islam maka dengan berani langsung menyerang kegiatan keagamaan tersebut seperti apa yang terjadi di Kab. Bantul pada tahun 2018 lalu.

Pemahaman tekstual, selain berakibat pada munculnya perbuatan radikal, juga berakibat pada stabilitas NKRI. Mengapa demikian? Karena para kaum tekstualis ini biasanya hanya membenarkan satu agama saja, yakni Islam dan menganggap selain Islam adalah kafir dan sudah dipastikan masuk neraka. Oleh sebab itu, mereka wajib untuk diperangi bahkan dibunuh.

Padahal, hakikatnya Islam merupakan agama yang rahmatan lil ‘alamin, agama yang memberikan rahmat kepada seluruh umatnya termasuk perdamaian. Oleh sebab itu, sangat keliru sekali jika terdapat aksi radikal yang mengatasnamakan Islam terlebih lagi membawa ayat-ayat Al-Qur’an untuk melegalkan perbuatannya. Wallahua’lam. [AR]

Khairun Niam Mahasiswa sekaligus santri Pondok Pesantren Nurul Ihsan Yogyakarta