Khairun Niam Mahasiswa sekaligus santri Pondok Pesantren Nurul Ihsan Yogyakarta

Melihat Relasi Ulama dan Umara dalam Proses Islamisasi Nusantara

2 min read

Membahas tentang peradaban Islam di Nusantara tentunya tidak dapat terlepas dari proses islamisasi. Secara strategi para ulama tidak hanya berperan sendiri dalam proses islamisasi ini, tetapi para umara juga ikut andil dalam proses penyebaran tersebut. Secara definis menurut KBBI umara artinya pemimpin pemerintahan, sedangkan ulama adalah orang yang ahli dalam hal atau dalam pengetahuan agama Islam.

Jika dilihat dari perannya ulama dan umara tentu mempunyai peran berbeda dalam memberikan treatment kepada masyarakat. Namun, jika dilihat dalam konteks islamisasi di Nusantara ulama dan umara sebenarnya memiliki relasi yang membuat mereka saling bertukar peran. Hal ini dapat dilihat pada masa pembentukan sosial keagamaan pada masa Kesultanan Aceh. Secara historis Aceh merupakan pusat kerjaan Islam pertama di Nusantara dengan ditandai berdirinya kerajaan Islam pertama yaitu Samudera Pasai dan dilanjutkan dengan Kesultanan Aceh.

Pada masa kesultanan Aceh. Kerajaan yang didirikan oleh Sultan Ali Mughayat Syah ulama menempati posisi yang sangat penting pada masa itu, terutama ketika pada masa kepemimpinan Iskandar Muda, istana mempunyai perhatian yang sangat besar terhadap pertumbuhan Islam di Pedalaman. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya didirikan masjid-masjid besar salah satunya adalah masjid Baiturrahman.

Umara (raja) memang mempunyai posisi utama dalam pemerintahan. Namun, pada dasarnya ia bukan orang yang mampu untuk menyelesaikan setiap permasalahan sendirian. Oleh sebab itu ia membutuhkan seorang penasehat yang arif dan bijaksana dalam memutuskan suatu perkara, dalam hal ini adalah ulama. Dalam kesultanan Aceh setiap sultan didampingi oleh ulama yang dianggap pakar dalam bidang hukum Islam. Hal ini disebabkan ulama memiliki kapasitas yang baik dalam berbagai hal, dari peribadatan, hingga masalah sosial. Sehingga pada masa Sultan Iskandar Muda dibuatlah mahkamah Agung yang dijabat oleh ulama dengan gelar Kadi Malikul Adil.

Baca Juga  Pentingkah Belajar Hermeneutika untuk Membaca Teks?

Hampir sama dengan Kesultanan Aceh yang terletak di Sumatra.  Dalam proses islamisasi di pulau Jawa relasi antara ulama dan umara terlihat pada masa Kerajaan Demak. Sebagai kerajaan Islam pertama di Jawa kerajaan Demak menempatkan Ulama dan Umara berada di posisi yang sangat penting. Keduanya memiliki peran yang cukup signifikan dalam membentuk struktur sosial, budaya dan kegamaan di tengah-tengah masyarakat pada waktu itu.

Struktur Politik Ulama dan Umara di Kerajaan Demak

Peran politik para ulama sejalan beriringan dengan roses islamisasi di pulau jawa. Ketika kerajaan Islam telah berdiri para ulama mendapatkan posisi yang penting dalam berbagai bidang seperti, keagamaan, sosial politik dan budaya. Pada masa pemerintahan Raden Fattah para ulama ditempatkan di lembaga penghulu seperti Sunan Bonang, Sunan Kudus, dan Sunan Kalijaga.

Selain fokus pada bidang administrasi kegamaan, para ulama juga hadir sebagai penasihat spiritual raja. Jabatan yang diberikan dapat dijadikan sebagai sarana dalam membangun kekuasaaan terlebih lagi dalam menyebarkan agama islam pada waktu itu. Hal ini karena Demak sebagai Kerajaan Islam pertama yang aman waktu itu penduduknya masih banyak terpengaruh oleh kepercayaan dan praktek keagamaan pra Islam.

Mengutip dari Naili Anafah dalam artikelnya menjelaskan bahwa Para wali juga menempati jawabatan sebagai pujangga, ngiras kinarya pepunden, jaksa yang mengku perdata atau sebagai karyawan terhormat, termasuk jaksa penjaga perdata atau undang-undang. Sunan Giri misalkan, beliau mendapat gelar Panatagama sekaligus merangkap jabatan sebagai penghulu yang bertugas menyusun peraturan-peratuan ketataprajaan dan pedoman tatacara di keraton. Dalam hal ini Sunan giri tidak melakukannya sendiri, tetapi bersama Sunan Kudus yang ahli dalam perundang-undangan peradilan, pengadilan dan mahkamah termasuk hukum-hukum acara formal.

Baca Juga  Memulihkan Ekonomi Nasional melalui Pengawasan Kemitraan UMKM

Relasi ulama dan umara yang mana di sini termasuk Sunan Kalijaga, Sunan Giri menyebar di daerah Jawa, sedangkan di daerah Sumatera terdapat Nuruddin ar Raniriy, Abdurrauf As Sangkili yang telah mengalami hubungan yang integratif. Para ulama tidak hanya berperan sebagai penyampai norma-norma keislaman tetapi juga berperan sebagai pemangku kebijakan yang berposisi sebagai qadhi atau kepala pemerintahan.

Urgensitas Ulama dan Umara Hari ini

Relasi ulama dan umara yang terjadi pada masa islamisasi memperlihatkan bahwa keduanya mempunyai peran yang saling melengkapi berdasarkan fungsinya masing-masing. Oleh sebab itu tidak heran jika hari ini kita banyak melihat sebagian para ulama yang terlibat langsung sebagai pejabat struktural pemerintahan. Namun jika dilihat secara fungsi para ulama yang berperan ganda (ulama dan umara) tentu memiliki tugas yang cukup berat.

Ulama yang tidak bergabung secara struktural dengan pemerintahan terkadang lebih fokus pada pembinaan masyarakat terkait keislaman dengan mengadakan kajian keilmuan di masjid-masjid dan lain-lain. Hal ini tentunya akan berbeda dengan ulama-umara. Sebagai orang yang mempunyai ilmu keislaman yang baik mereka dituntut untuk mengamalkan serta memutuskan sesuatu berdasarkan keilmuan islam yang mereka miliki.

Namun, baik ulama strutural ataupun tidak keduanya tetap memiliki peranan yang penting pada masyarakat serta bertanggung jawab dalam mengayomi, mengajarkan norma-norma keislaman dan sosial. Wallahua’lam

Khairun Niam Mahasiswa sekaligus santri Pondok Pesantren Nurul Ihsan Yogyakarta