Pesantren Ngalah, Pasuruan, pada Minggu (2/8/2020) merayakan hari lahirnya (milad) yang ke-35. Acara Harlah tersebut mengusung tema “Ngalah untuk Indonesia”. Sebagai seseorang yang pernah menjadi santri kalong disana, sebuah sebutan dari Clifford Geertz, yang merujuk kepada santri yang hanya mengaji namun tidak bermukim di pondok, saya ingin merefleksikan dua hal yang meneguhkan tema tersebut kaitannya dalam komitmen keislaman dan keindonesiaan.
Pertama, dua komitmen di atas setidaknya tercermin dari figur KH. Moh. Sholeh Bahruddin, pendiri sekaligus pengasuh Pesantren Ngalah, khususnya dalam upaya melawan propaganda kebencian antara Sunni dan Syiah di Indonesia–sebuah isu yang kerap kali menjadi pemicu konflik di masyarakat.
Ia memberikan wacana alternatif sebagaimana yang pernah ia sampaikan dalam acara Kuliah Tamu di Universitas Yudharta Pasuruan (3/3/2017) bahwa “Syiah adalah pengikut Sayyidina Ali. Syech Abdul Qadir Jailani, Syiah. Keturunan kanjeng Nabi, Syiah. Semua orang Thariqah, itu Syiah. Kami juga Syiah.”
Menurut saya, pernyataan tersebut, selain senada, bisa dikatakan lebih berani dari gagasan M. Quraish Shihab dalam bukunya yang berjudul Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah? Kajian atas Konsep dan Pemikiran.
Lebih lanjut, pada tahun yang sama, ketika terlibat dalam acara ukhuwwah antara Ulama Syiah dan Sunni, saya menyaksikan sebuah pertemuan yang hangat serta penuh canda antara dua pemimpin ulama yang memiliki pemahaman yang berbeda tersebut (Sunni-Syiah), yakni Habib Abdillah bin Hamid Baabud dengan KH. Moh. Sholeh Bahruddin.
Hemat penulis, wacana alternatif dan teladan tersebut, diharapkan akan dapat meminimalisir bahkan diharapkan bisa menyelesaikan satu dari tiga pola besar yang memicu terjadinya konflik keagamaan di Indonesia, yakni konflik intern-umat agama yang memiliki perbedaan pandangan keagamaan.
Sedangkan, kaitannya dengan aktivitas lintas agama, selain telah disebut oleh Gus Dur sebagai pesantren yang telah membantu dan mewujudkan gagasan dan perjuangannya tentang kerukunan antar umat beragama, pondok pesantren Ngalah disebut juga sebagai Pesantren Pluralis.
Kedua. tema ini sekaligus juga sebagai ikhtiar untuk melawan politik kekuasaan yang cenderung memecah belah masyarakat, dengan mengajarkan dan meneladankan politik kebangsaan. Singkatnya, Politik kebangsaan KH. Moh. Sholeh Bahruddin terletak pada komitmennya dalam menerima dan mempraktikkan Pancasila dalam kehidupan beragama, berbangsa, dan bernegara.
Kaitannya dengan penjelasan politik kebangsaan KH. Moh. Sholeh Bahruddin bahwa Politik kebangsaan KH. Moh. Sholeh Bahruddin, dapat dilihat dari tiga hal.
Pertama. Bersikap netral dalam urusan politik praktis dan membebaskan santri dan alumni pondok dalam memilih dan terlibat dalam partai politik tertentu, dengan batasan bahwa politik tersebut tetap memiliki komitmen terhadap Pancasila.
Kedua. Dalam memilih pemimpin negara, mulai dari tingkat Desa hingga Presiden, tidak memperdulikan apa agama, kepercayaannya, suku, dan lain sebagainya. Sekali lagi, hanya memberikan syarat bahwa pemimpin Negara Kesatuan Republik Indonesia haruslah berjiwa Pancasilais.
Ketiga. Bahwa sebagai kiai tarekat, ia menyatakan bahwa mengamalkan ajaran Pancasila senada dengan mengamalkan kewajiban tarekatnya. Kewajiban tarekat itu terdiri dari enam hal, yakni: Zikir kepada Allah dengan sungguh-sungguh, mencegah hawa nafsu, meninggalkan harta dunia yang palsu, mematuhi ajaran agama, perintah dan larangan harus diterima, berbuat baik kepada semua teman dan berbuat baik kepada semua makhluknya Tuhan. [AA]