Mubaidi Sulaiman Alumni Ponpes Salafiyah Bandar Kidul Kota Kediri, Peneliti Studi Islam IAIN Kediri-UIN Sunan Ampel Surabaya

Sebuah Perspektif: Integralisme Islam dan Sains

2 min read

Agama dan sains akhir-akhir ini memang sering diperdebatkan oleh beberapa tokoh  nasional,  terutama di media sosial –memang musim pandemi sehingga mengharuskan mereka saling berdialog terbatas di melalui media sosial- yang berlangsung seru dan melahirkan tesa dan sintesa yang terus berlanjut. Saling satire dengan argumennya masing-masing tak terelakan, tetapi justru disitulah letak keseruannya. Kita mendapatkan banyak sekali perspektif dari masing-masing tokoh tersebut yang dapat memperkaya pemahaman kita tentang posisi sains dan agama –tak jarang juga memperkeruh suasana karena terlalu rumitnya pembahasan tersebut-.

Jauh sebelum datangnya perdebatan tersebut, Nuqib Al-Attas dan  Ismail Faruqi –seorang tokoh Islam Modern- berusaha menjawab perdebatan diantara para agamawan dan saintis yang telah terjadi sekian lama. Al-Attas menggagas tentang Islamisasi Sains pada pertemuan di Mekkah sekitar tahun 1977. Ungkapan Islamisasi ilmu pengetahuan pada awalnya dicetuskan oleh Syed Muhammad Naquib Al-Atas pada tahun 1397 H/1977 M yang menurutnya diistilahkan dengan “desekularisasi ilmu“. Tujuan Al-Attas menggagas hal ini adalah  mengembalikan hakikat “ilmu pengetahuan” yang dipahami oleh ulama Islam apada zaman dahulu tidak pernah membedakan antara ilmu umum (sekuler) dan ilmu agama, sebelum Imam Al-Ghazali memberikan batasan antara keduanya.

Gagasan islamisasi ilmu pengetahuan tersebut pada hakikatnya muncul sebagai respon atas dikotomi antara ilmu agama dan sains yang dimasukkan Barat sekuler dan budaya masyarakat modern ke dunia Islam. Kemajuan yang dicapai sains modern telah membawa pengaruh yang menakjubkan, namun di sisi lain juga membawa dampak yang negatif, karena sains modern (Barat) kering nilai atau terpisah dari nilai agama.

Al-Attas mendefnisikan ilmu sebagai satu kesatuan antara orang yang mengetahui dengan makna, dan bukan antara yang mengetahui (subjek ilmu) dengan yang diketahui (objek ilmu). Unsur-unsur makna ini dikonstruksikan oleh jiwa dari objek-objek yang ditangkap oleh indera ketika jiwa menerima iluminasi dari Allah swt, dan berarti unsur-unsur tersebut tidak terdapat dalam objek-objek yang ada. Sehingga Al-Attas memegang teguh unsur penting yang menjadi dimensi dari ilmu pengetahuan yaitu jiwa, makna, serta sifat-sifat dan kegunaan ilmu pengetahuan. Dalam unsur tersebut jiwa merupakan dimensi penting sehingga defnisi ilmu pengetahuan harus memposisikan jiwa manusia sebagai entitas spiritual yang aktif untuk mempersiapkan diri dalam menerima makna yang merupakan bentuk keintelektualan.

Baca Juga  Ketika Budiman Sudjatmiko dan Kelompoknya Kena Prank Gus Dur

Dengan dengan tujuan yang sedemikian rupa, pada haikatnya Al-Attas ingin menempatkan posisi ilmu pengetahuan barat- yang cenderung sekuler- untuk di bongkar segala metodologinya, dipisahkan dari unsur-unsur yang bisa merusak “akidah” umat Islam, dan dibangun kembali semua unsur-unsur ilmu pengetahuan tersebut dengan dilandasi oleh  “tauhid”. Bukan hanya itu, ilmu pengetahuan yang digagas oleh Barat, miskin dengan nilai-nilai keislaman sehingga menjauhkan umat manusia dari hakikat kemanusiaannya.

Gagasan ini dikembangkan oleh Ismail Raji Faruqi dalam bukunya. Menurut AI-Faruqi sendiri Islamisasi ilmu pengetahuan berarti mengislamkan ilmu pengetahuan modern dengan cara menyusun dan membangun ulang sains sosial dan sains ilmu alam dengan memberikan dasar dan tujuan-tujuan yang konsisten dengan Islam. Setiap disiplin ilmu tersebut  harus direkonstruksi ulang dengan menggunakan prinsip-prinsip Islam sehingga melahirkan  metodologi yang islami, baik dalam strateginya, data-data yang diperoleh, dan problem-problem yang dihadapinya. Seluruh disiplin harus dituangkan kembali sehingga mengungkapkan relevensi Islam sepanjang ketiga sumbu Tauhid yaitu, kesatuan pengetahuan, hidup dan kesatuan sejarah.

Al-Faruqi memiliki prasyarat dalam menetapkan ide-idenya tersebut, yaitu: 1. Menguasai disiplin-disiplin moderen.  2. Menguasai khazanah Islam 3. Menentukan relevensi Islam yang spesifik pada setiap bidang ilmu pengetahuan moderen 4. Mencari cara-cara untuk melakukan sintesa kreatif antara khazanah Islam dengan khazanah Ilmu pengetahuan moderen. 5. Mengarahkan pemikiran Islam kelintasan-lintasan yang mengarah pada pemenuhan pola rancangan Tuhan.

Untuk merealisasikan ide-idenya tersebut Al-Faruqi mengemukakan beberapa tugas dan langkah-langkah yang perlu dilakukan, yaitu mengintegrasikan sistem pendidikan Islam (tradisional) dengan sistem sekuler (Barat). Pemaduan ini harus sedemikian rupa sehingga sistem baru yang terintegrasi tersebut dapat memperoleh kedua macam keuntungan dari sistem pendidikan  terdahulu. Perpaduan kedua sistem ini haruslah merupakan kesempatan yang tepat untuk menghilangkan kelemahan dari masing-masing sistem, sehingga akan terciptanya sistem pendidikan Islam yang ideal perpaduan dari “kekayaan sumber-sumber ilmu pengetahuan dari agama Islam dan kekayaan metodologi ilmu pengetahuan dari sains Barat.

Baca Juga  [Resensi Buku] Hamka Pun Belajar kepada Rasulullah

Gagasan brilian inilah yang pada akhirnya mengilhami integralisme pendidikan Islam dan sains Barat yang diimplementasikan oleh Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI) di seluruh Indonesia seperti (Web Spider) Jaring laba-laba”  Ilmu Pengetahuan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, “Pohon Ilmu dan agama” UIN Maulana Malik Ibrahim, “Twin Tower” UIN Sunan Ampel Surabaya, dan masih ada  filosofi integralisme Islam dan sains di PTKI lainnya.

Akan tetapi, menurut Chabib Musthofa – Wadek 3 Fakultas Dakwah UIN Sunan Ampel Surabaya menyampaikan gagasanya dalam forum diskusi Kobar (Komunitas Baca Rakyat) Surabaya- yang  harus dipahami tentang integralisme Islam bukan perihal hanya mengganti “label” keilmuannya dengan mengkooptasi “kata Islam” pada ilmu pengetahuan tersebut –seperti Psikologi Islam, Ekonomi Islam, Komunikasi Islam dan lain sebagainya -, bukan pula mendaku seolah-oleh mengislamkan ilmu pengetahuan tersebut hanya karena memasukan unsur-unsur ajaran agama Islam di dalam pembelajaran Ilmu pengetahuan tersebut,tetapi yang lebih penting dari integralisme islam dan sains adalah mengislamkan “nalar” saintis yang mempelajari ilmu pengetahuan. Karena “goal” yang ingin dicapai oleh agama Islam adalah “tamamima makarimal akhlaq”.[AH].

Mubaidi Sulaiman Alumni Ponpes Salafiyah Bandar Kidul Kota Kediri, Peneliti Studi Islam IAIN Kediri-UIN Sunan Ampel Surabaya