Ndarus hari kedua di bulan Ramadhan ini, saya bertemu dengan Q.S. Al-Baqarah (2) ayat 256 yang saya kira sudah sangat sering kita dengar. Ayat ini umumnya seringkali dikaitkan dengan metode dakwah Islam. Poin ayat yang paling sering ditonjolkan adalah لا إِكْرَاهَ فِى ٱلدّينِ. Namun, selain kata tersebut ada juga kata yang cukup masyhur dalam pergerakan teorisme, yaitu ٱلطَّـٰغُوتِ. Kata ini seringkali dimanfaatkan sebagai narasi untuk melegitimasi gerakan kekerasan untuk melawan, misalnya, terhadap sebuah sistem pemerintahan yang sah.
Al-Alusi dalam tafsirnya “Ruhul Ma’ani” dan banyak juga kitab tafsir yang lain menyebutkan makna thaghut dalam ayat ini dengan menukil para mufassir lainnya. Umar bin Khattab, Mujahid, dan Qatadah menafsirkannya sebagai syaitan. Sedangkan Said bin Jabir dan Ikrimah memaknainya dukun; Abul Aliyah memahaminya tukang sihir; Ada lagi yang menafsirkannya sebagai berhala sesembahan; dan Malik bin Anas yang memahaminya sebagai segala sesembahan selain Allah.
Tapi saya lebih tertarik dengan kalimat sebelumnya dengan kembali mengorek-ngorek kitab Mafatihul Ghaib karya Ar-Razi. Seakan sudah tradisi Ar-Razi yang tak lupa dangan menyampaikan masalah-masalah dan pandangan-pandangan. Tapi di sinilah menariknya. Belum apa-apa Ar-Razi sudah mempermasalahkan agama yang dimaksud dalam ayat ini.
“Bukankah ayat tersebut tidak secara gamblang menyebutkan agama apa?” Begitulah kira-kira Ar-Razi mengawali penjelasannya. Maka penjelasan Ar-Razi pun diawali dengan mengurai masalah ال dalam kata ٱلدّينِ. Masalahnya apakah ال menunjukkan لام العهد (agama kang den kinaweruhi/agama yang sama-sama kita ketahui) atau badal dari idhafah (maksudnya adalah دين الله). Sampai sini jelaslah sudah agama yang dimaksud.
Ayat ini dengan gamblang menginformasikan bahwa tidak ada paksaan untuk memeluk Islam. Mengapa? Karena memang perbedaan antara jalan yang benar dan jalan yang sesat sudah terang benderang. Jadi untuk apa memaksa? Itulah jalan kebenaran Islam.
Perintah untuk beriman tidak dibangun di atas pondasi memaksa dan menekan, demikian papar Ar-Razi. Tapi ia berdiri di atas kebebasan untuk memilih. Senada dengan ini adalah Q.S. Al-Kahfi (18) ayat 29 (فَمَن شَاء فَلْيُؤْمِن وَمَن شَاء فَلْيَكْفُرْ). “Yang mau beriman silahkan, yang mau kafir juga silahkan.”
Atau sindiran Allah bagi yang suka memaksa dalam Q.S. Yunus (10) ayat 99
وَلَوْ شَاء رَبُّكَ لآمَنَ مَن فِى ٱلأَرْضِ كُلُّهُمْ جَمِيعًا أَفَأَنتَ تُكْرِهُ ٱلنَّاسَ حَتَّىٰ يَكُونُواْ مُؤْمِنِينَ
“Jika Tuhan menghendaki, tentulah beriman semua orang di bumi. Tetapi apakah kamu akan memaksa manusia agar mereka menjadi orang-orang yang beriman?”
Dalam bahasa gaulnya kira-kira begini, Tuhan bisa saja menjadikan semua manusia itu beriman, tapi kan nggak gitu juga. Anehnya, pemaksaan ini justru seringkali dilakukan oleh manusia, yang pada dasarnya hanyalah makhlukNya.
Jadi, sependek pengetahuan saya, tugas manusia dalam hal ini hanyalah menyampaikan. Tentang hidayah, saya kira itu soal lain; itu urusan Allah. Demikian kira-kira. (AA)