Prof. Dr. H. Mujiburrahman, MA Rektor UIN Antasari Banjarmasin

[Resensi] Kitab Kimia Kebahagiaan Abu Hamid al-Ghazali [Bag 2 Habis]

4 min read

Source: http://www.albiladpress.com/

Kimia kebahagiaan yang berasal dari Allah dan disampaikan melalui para Nabi itu adalah pengetahuan mengenai empat hal, yaitu (1) pengetahuan tentang diri; (2) pengetahuan tentang Allah; (3) pengetahuan tentang dunia sebagaimana adanya; (4) pengetahuan tentang akhirat sebagaimana adanya. Semua pengetahuan ini adalah unsur-unsur kimiawi kebahagiaan manusia. Tentu saja, pengetahuan ini tidak akan berarti apa-apa jika tidak benar-benar menjadi pandangan hidup yang mempengaruhi perilaku seseorang. Di dalam Ihyā’, al-Ghazali seringkali menekankan bahwa pengetahuan yang efektif harus mencakup tiga hal, yakni ‘ilm (kognitif), hāl (afektif) dan ‘amal (psikomotorik).

Selain memaparkan empat pengetahuan di atas, yang berjalin berkelindan satu sama lain, al-Ghazali di dalam Kīmiyā juga membahas beberapa hal penting, yaitu (1) spiritualitas musik dan tarian; (2) muhasabah dan zikir (3) perkawinan (4) cinta kepada Allah. Dapat dikatakan bahwa nomor 1 sampai 3 adalah hal-hal sehari-hari yang bersifat praktis.

Musik, misalnya, adalah keindahan bunyi yang dinikmati manusia dalam hidupnya, lebih-lebih di zaman sekarang. Begitu pula muhasabah atau introspeksi diri dan zikir adalah praktik yang bisa dilaksanakan tiap hari bahkan tiap saat. Demikian pula perkawinan yang merupakan bagian penting dari perilaku manusia sebagai anggota masyarakat. Adapun yang keempat, cinta kepada Allah, tampaknya sengaja dijadikan bagian penutup dan pamungkas dari Kīmiyā sebagai puncak capaian spiritualitas manusia.

Menurut al-Ghazali, pertama-tama manusia harus mengenali dirinya dengan baik. Hadis yang paling terkenal di kalangan Sufi adalah, man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa rabbahu (siapa yang mengenal dirinya, dia akan mengenal Tuhannya). Dalam mengenali diri itu, manusia harus mengajukan pertanyaan eksistensial berikut: “Siapakah aku dan dari mana aku datang? Ke mana aku akan pergi, apa tujuan kedatangan dan persinggahanku di dunia ini, dan di manakah kebahagiaan sejati dapat ditemukan?” Pertanyaan eksistensial ini penting agar manusia mengerti untuk apa dia hidup, dan ketika dia mengerti tujuan hidupnya, maka dia akan menjalaninya sesuai dengan tujuan tersebut.

Al-Ghazali kemudian mengajak pembaca untuk mengenali dirinya. Manusia terdiri dari sisi badani yang lahiriah, dan sisi batini yang tidak kasat mata. Yang lahir mudah dikenali, tetapi yang batin harus dipelajari lebih cermat. Dalam batin manusia ada sifat hewani berupa nafsu perut dan kemaluan, sifat syaithani berupa kecenderungan menipu dan munafik, serta sifat malaikat yang suka dan selalu berbuat baik (taat kepada Allah).

Baca Juga  Lontara Latoa: Transformasi Politik Islam di Tanah Bugis (Bag. 1)

Dalam yang batin ini, sifat malaikat itu ada pada ruh, yang merupakan esensi atau hakikat diri manusia. Pengetahuan tentang wujud dan sifat-sifat ruh menjadi kunci pengetahuan tentang Tuhan. Ruh adalah misteri (QS 17: 85), tetapi sebagian karakternya dapat dikenali. Menurut al-Ghazali, ruh adalah esensi yang tidak terbagi, yang termasuk dalam alam titah (amr) dan merupakan ciptaan Allah. Di bagian lain al-Ghazali mengatakan, ruh itu “bukan sesuatu yang inderawi, melainkan sesuatu yang gaib; ia muncul di dunia ini sebagai pelancong dari negeri asing untuk berdagang, dan kelak akan kembali ke negeri asalnya.”

Mengenali diri dan struktur eksistensi diri berarti juga memahami hirarki dalam eksistensi itu. Ada tingkatan yang membentuk struktur eksistensi tersebut. Tingkatan tertinggi adalah esensi manusia, yaitu ruh. Dalam Ihyā’, al-Ghazali menegaskan bahwa empat istilah yakni ruh, ‘aql (akal/intellect), qalb (hati) dan diri (nafs) sebenarnya merujuk kepada substansi yang sama, yang merupakan hakikat diri manusia, substansi immateri yang halus dan bersifat ‘ketuhanan’ (lathīfah rabbāniyah). Di bawah dari ruh adalah jiwa hewani atau nafsu/syahwat, yang menghubungkan ruh dengan tubuh. Ruh adalah pengendara, sedangkan nafsu dan tubuh adalah kendaraan dalam perjalanan menuju akhirat. Ruh adalah raja, sedangkan nafsu dan tubuh adalah bawahan raja sehingga berjalanlah pemerintahan dengan baik. Jika ruh dikuasai nafsu dan tubuh, maka sturktur eksistensi ini terbalik, sehingga rusaklah keseimbangan. Inilah pangkal dari penderitaan manusia.

Mengapa penderitaan akan menimpa manusia ketika dia mengikuti nafsu hewani dan setannya? Jawabnya karena sifat-sifat malaikat yang baik adalah esensi manusia, sedangkan sifat-sifat hewan dan setan hanyalah aksidensi. Bagi al-Ghazali, “esensi tiap makhluk adalah sesuatu yang tertinggi dan khas dalam dirinya”. Ia mencontohkan perbedaan keledai dan kuda. Kuda dianggap berbeda dari keledai karena kecepatannya dan kelincahannya untuk dipakai dalam bepergian dan berperang. Seandainya tidak ada sifat khas ini, kuda dan keledai akan dianggap sama.

Baca Juga  Ngaji Sullam Al-Tawfiq [9]: Tentang Hukum Puasa, Dari Yang Wajib Hingga Batal Karena Bersenggama

Dengan menetapkan sifat malaikat sebagai esensi manusia, maka al-Ghazali secara implisit mengatakan bahwa setiap perbuatan buruk akibat hawa nafsu adalah penyangkalan terhadap diri sendiri. Inilah sebabnya, pelanggaran moral atau perbuatan buruk merupakan sebab utama penderitaan manusia. Sebaliknya, perbuatan baik adalah kebahagiaan karena sejalan dengan watak asli manusia yang baik dan menyukai kebaikan.

Selain itu, esensi manusia tadi, yang dalam konteks ini al-Ghazali lebih suka menyebutnya qalb atau hati, adalah tempat bersemayamnya pengetahuan. Untuk mendapatkan pengetahuan, hati manusia memiliki dua pintu, yakni pintu ke alam nyata (‘ālam al-syahādah) dan pintu ke alam gaib (‘ālam al-ghayb), yang tertuju ke Lauh mahfuzh. Untuk mendapatkan pengetahuan ke alam nyata, manusia menggunakan pancaindranya. Sedangkan untuk ke alam gaib, dia harus menutup pintu indranya, melupakan hasrat badani, dan membersihkan diri dari dosa serta konsentrasi ingat kepada Allah.

Pengetahuan jenis kedua ini disebut ‘ilm al-mukāsyafah, yakni pengetahun berdasarkan penyingkapan rohani dari Tuhan. Inilah pengetahuan yang diperoleh oleh para wali Allah. Orang biasa kadang mendapatkan sebagian dari penetahuan jenis ini melalui mimpi yang benar (ru’yah shādiqah). Adapun manusia yang ruhnya benar-benar dekat dengan Allah sehingga menjadi pribadi yang kuat, dia tidak hanya mendapatkan ilmu langsung melalui penyingkapan rohani, tetapi ketika jaga sekalipun, dia dapat melihat apa yang bagi orang biasa hanya bisa dilihat melalui mimpi. Dia tidak hanya mampu mengendalikan tubuhnya, tetapi juga bisa mempengaruhi tubuh orang lain.

Setelah mengenali diri dengan teliti, al-Ghazali mengajak pembaca untuk mengenali Allah. Tetapi karena Allah yang mutlak tak bisa langsung dikenal manusia, maka al-Ghazali kembali mengingatkan agar manusia mengenali diri dan alam semesta untuk mengenali Allah. Keindahan tubuh manusia, keteraturan bagian-bagiannya dan kesesuaian letak dan fungsinya, semua menunjukkan keagungan Sang Pencipta tubuh itu. Demikian pula alam semesta yang amat luas, dengan segala hewan, tumbuhan, planet-planet, bintang-bintang dan matahari, semua menunjukkan kebesaran penciptanya.

Baca Juga  Menyerukan Pesan Kemanusiaan dan Religiusitas Tanpa Atribusi Religius di Dunia Showbiz: Mengenal Dimash Kudaibergen [Bagian 2]

Penjelasan di atas mengenai upaya manusia mengenali Allah terasa masih biasa dan lumrah. Namun kemudian al-Ghazali bergerak lebih dalam. Ia mengingatkan bahwa ada kemiripan tersembunyi (musyābahah khafiyyah) antara manusia dengan Tuhan. Kemiripan itu antara lain terletak pada ruh manusia. Hal ini memang sudah diisyaratkan Alqur’an bahwa Allah meniupkan ‘ruh-Nya’ kepada manusia. Tentu saja yang dimaksud bukan ruh Tuhan, melainkan sesuatu yang mirip dan dekat dengan-Nya.

Kemiripan itu antara lain, menurut al-Ghazali, karena seperti Tuhan, ruh itu “tidak terbatasi ruang dan waktu, gaib, tidak terbagi, di luar definisi kualitas dan kuantitas serta tak dapat dilekati oleh gagasan tentang bentuk, warna atau ukuran”. Selain itu, adapula kemiripan antara tata kerja alam semesta (makrokosmos) di bawah titah Tuhan dengan tata kerja diri manusia (mikrokosmos).

Alam semesta di bawah kendali Allah melalui ‘arsy, kemudian kursi, lalu lauh mahfuzh, terus para malaikat, dan berakhir di alam nyata. Dalam diri manusia, ‘arsy mirip ruh, malaikat mirip hati, kursi mirip otak, lauh mahfuzh mirip dengan perbendaharaan pikiran, dan tubuh mirip dengan seluruh jagat raya.

Demikianlah, Allah yang menampakkan tanda-tanda-Nya melalui manusia dan alam semesta dapat dikenali. Ia hadir dan dekat dengan kehidupan kita. Tetapi Allah yang mutlak tetaplah tak dikenal. Pada tataran ini, tidak ada yang mengenal Allah kecuali Allah (lā ya’rifullāh illa Allāh). Inilah makna Allāhu Akbar, Allah Mahabesar. Maksudnya adalah “kebesaran Allah tak dapat diukur dan berada di luar kemampuan kognisi manusia, dan bahwa kita hanya bisa membentuk suatu gagasan yang amat kabur dan tidak sempurna tentang kebesaran-Nya.” Inilah Tuhan sebagai zat transenden, yang melampaui daya persepsi manusia untuk menangkap dan memahami-Nya. [MZ]

Prof. Dr. H. Mujiburrahman, MA Rektor UIN Antasari Banjarmasin