Muryana Muryana (Dosen pada Prodi Studi Agama-Agama UIN Sunan Kalijaga dan Prodi Teknik Kimia UAD Yogyakarta)

Meninjau Ulang Akhlaq Saat Memasuki New Normal

2 min read

sumber: personneltoday.com

Akhlak dapat dipahami sebagai “kondisi kejiwaan yang menjadikan pemiliknya melakukan sesuatu secara mudah, tanpa memaksakan diri, bahkan melakukannya secara otomatis” (Quraish Shihab 2011). Kondisi kejiwaan ini menunjukkan dua nilai, yaitu kondisi kejiwaan yang baik (al-akhlak alkarimah/al-akhlak almahmudah) dan kondisi kejiwaan yang buruk (al-akhlak almadzmumah). Hanya saja, masyarakat kita telah terbiasa mengidentikkan istilah akhlak dengan kondisi jiwa yang baik semata. Oleh karenanya, tidak jarang “kebaikan” itulah yang disebut akhlak atau akhlak selalu merujuk pada “kebaikan”.

Saat tanggap pagebluk atau pandemi COVID-19 kita alami, kebaikan menjadi satu aspek kehidupan yang perlu ditinjau ulang. Sebagai contoh, Islam mengajarkan untuk menjamu tamu karena merupakan salah satu bagian dari aturan-aturan penting (al-masal al-’ulya), dalam terminologi Muhammad Syahrur (2002). Suatu ketika sahabat saya datang ke rumah dalam situasi pandemi ini. Dia hanya untuk mampir dan sudah meminta izin melalui WA. Hanya saja, sebelum balasan saya terbaca, dia sudah sampai di depan rumah. Perdebatan antara “kepatuhan pada protokol saat pandemi” dan “sopan santun kepada tamu” pun bergejolak di dalam hati. Lalu apa yang disebut sebagai kebaikan dan masihkah kita akan berakhlak baik saat Normal Baru?

Di dalam masyarakat, baik dan buruk ini disandarkan pada nilai-nilai yang dianut bersama. Nilai-nilai tersebut dianggap berharga dan bermakna. Tuntunan Allah dan Rasul-Nya menjadi tolok ukur akhlak dalam ajaran Islam (Quraish Shihab, 2011). Tuntunan Allah dapat kita pelajari melalui sifat-sifat-Nya, sementara itu tuntunan Rasul-Nya yang dapat kita contoh melalui sifat Beliau, antara lain: jujur (siddiq), dapat dipercaya (amanah), cerdas (fatonah) dan menyampaikan (tabligh).

Baca Juga  Bagaimana Kalau Kita Rayakan Tahun Baru di Bulan Maret?

Moh Damami (2017) menerjemahkan tolok ukur akhlak tersebut ke dalam enam dikotomi tata nilai di masyarakat, yaitu benar dan salah, baik dan buruk, indah dan jelek, manfaat dan mudlarat, luhur dan hina, universal dan temporal. Keenamnya harus dipakai secara simultan dan integral. Meskipun demikian, nilai-nilai tersebut tidak menutup kemungkian akan membuka dan menghasilkan keberagaman makna terhadap akhlak, sebagaimana keberagaman nilai tersebut dan kepada siapa nilai tersebut ditujukan. Oleh karenanya, akhlak membutuhkan proses belajar terus-menerus menjadi kebiasaan dan yang akan membentuknya.

Pandemik COVID-19 mengajarkan kita tentang kebiasaan baru, yaitu Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS), cuci tangan pakai sabun dan menggunakan masker ketika keluar rumah dan berinteraksi dengan orang lain, physical and social distancing dengan tidak bersalaman ketika bertemu dengan orang lain, bekerja dari rumah (work from home), beribadah di rumah dan belajar dari rumah, serta tidak membuat kerumunan manusia. Meskipun, sesungguhnya beberapa telah diajarkan oleh orang tua kita, misalnya, melalui struktur bangunan rumah yang selalu menyediakan padasan, dan bahkan tersebar dalam tradisi budaya dan agama.

Hanya saja, penerapan dan pemberlakuannya yang lebih fungsional dan tidak sistematis-struktural menyebabkan nilai urgensi dianggap sepele dan tidak bermakna. Termasuk, kebiasaan cara menjamu tamu saat pandemi telah disampaikan protokolnya, yaitu tidak masuk ke dalam rumah dan jika terpaksa ada tamu yang menginap maka tamu tersebut harus langsung mandi dan melepas semua yang digunakan lalu tamu diminta untuk isolasi mandiri selama 14 hari. Protokol kesehatan atas nama keselamatan jiwa yang dikerjakan lebih utama daripada sopan santun yang diajarkan agama.

Tidak hanya berhenti saat tanggap bencana, COVID-19 juga menantang kita untuk memasuki Normal Baru (New Normal). Kebiasaan yang telah dimulai saat pandemi harus terus dihidupkan dalam kehidupan selanjutnya pasca-pandemi hingga vaksin yang tepat berhasil ditemukan atau bahkan seterusnya akan menjadi norma baru masyarakat.

Baca Juga  Mengenal Kolonel Bakri Syahid, Seorang Mufasir dari Kalangan Militer

Sebagai satu istilah, New Normal diciptakan oleh Roger Mcnamee (2004), seorang investor teknologi paling sukses belakangan ini. Dia juga mengarang buku berjudul “The New Normal: Great Oportunities in Time of Great Risk”, yang menjelaskan lima belas aturan berinvestasi. Istilah ini menunjukkan sebuah situasi pasca krisis ekonomi (2007-2008) dan resesi global (2008-2012). Pada kondisi inilah, kita harus bersedia untuk menggunakan aturan yang baru dalam jangka waktu panjang (Pongoh 2020; Levin, 2019). Normal Baru menjadi suatu keniscayaan di Indonesia untuk mencegah kondisi perekonomian yang semakin memburuk pasca Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) diberlakukan.

Tantangan Normal Baru ini tentunya akan berdampak pada berbagai bidang kehidupan, termasuk aturan-aturan penting yang diajarkan oleh agama. Apakah Normal Baru akan mengubah aturan-aturan penting tersebut? Ataukah aturan-aturan penting tersebut yang akan beradaptasi dengan Normal Baru? Atau mungkin aturan-aturan penting tersebut dimodifikasi dengan cara-cara Normal Baru?

Dalam hal ini, kembali kita tinjau bahwa akhlak sebagai aturan-aturan penting memberikan tolok ukur berupa nilai-nilai dan prinsip-prinsip dengan tuntunan Allah dan Rasul-Nya. Oleh karena itu, pelaksanaan atas nilai dan prinsip dalam aturan-aturan penting itulah yang utama. Sementara itu, cara-cara dalam berbuat kebaikan dapat dimodifikasi sesuai dengan situasinya (meliputi lokus dan tempus), dengan tetap memelihara agama, jiwa, akal, harta dan keturunan masyarakatnya. Oleh karenanya, Normal Baru sebagai sebuah situasi, idealnya tetap meruangkan cara yang berbeda dilakukan oleh masyarakat.

Normal Baru anak-anak yang baru belajar shalat. Ada rasa terpaksa tapi kita tetap harus belajar karena jika tidak,  kitaakan hilang dimakan zaman. Jika tidak belajar,  kita akan kehilangan kompas akhlak. Akhlak pun akan melahirkan makna barunya sesuai dengan zaman tanpa meninggalkan aturan-aturan pentingnya. Misalnya, tuan rumah yang baik saat Normal Baru adalah yang mengingatkan dan memberlakukan protokol kesehatan pada tamunya. []

Muryana Muryana (Dosen pada Prodi Studi Agama-Agama UIN Sunan Kalijaga dan Prodi Teknik Kimia UAD Yogyakarta)

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *