Secara bahasa, zuhud berarti raghiba an shay’in wa tarakahu. Artinya, benci dan tidak tertarik terhadap sesuatu dan meninggalkannya. Ia berarti zahada fī al-dunyā atau al-raghbah ‘an al-dunyā wa al-uzūb anhā; yang menghindar, membenci, dan meninggalkan dunia untuk ibadah [Fattāh, Nash’at al-Falsafah al-Sūfiyah wa Tatawwuruhā]. Secara terminologis, zuhud dimaknai “berpaling dari berkeinginan, memutus ikatan dengan makhluk atau hal-hal yang bersifat duniawi (mā siwā Allah)”. Zuhud harus ditempuh para sālik dengan jalan riyādah untuk mencapai kedudukan mulia di sisi Allah (al-Ghazālī, Ihyā’ Ulūm al-Dīn, Vol. 4).
Zuhud merupakan dimensi signifikan dari seluruh ajaran tarekat. Bagi para sufi, zuhud merupakan gerbang awal terbukanya jalan menuju Allah. Imam al-Rifā‘ī mengatakan zuhud merupakan langkah pertama bagi seorang yang menuju pada Allah. Ia menyatakan bahwa setiap sālik harus memperkuat dan memperkokoh dimensi zuhud untuk untuk sampai pada maqām apapun dalam tasawuf [‘Āmir al-Najār, Kitāb fīhi Ma‘nā al-Zuhd].
Syekh ‘Abd al-Qādir al-Jīlānī (w. 561 H) mengatakan sufi adalah orang suci dan bersih hatinya. Kesucian tidak mungkin didapat tanpa melakukan zuhud terhadap dunia dan melepaskan ikatan dengan makhluk dalam hatinya hingga yang ada hanya Allah [al-Jīlānī, al-Futūh al-Rabbānī wa al-Fayd al-Rahmānī, 115]. Menurut al-Jīlānī, Allah dan makhluk selalu pada posisi yang berlawanan, dunia dan akhirat juga pada arah yang berbeda. Dunia adalah hijāb yang menghalangi seorang sālik dekat dengan Allah. Hal ini juga diamini oleh Ibn Athaillah al-Sakandariyang berpendapat bahwa seorang hamba yang terpengaruh dengan keajaiban dunia akan dapat dipastikan hatinya akan menjadi kotor dan keruh [Ibn Muhammad Athaillah, al-Hikam, 66 ].
Sikap sufi yang kadang ekstrem, abai secara mutlak kepada dunia, dan membentuk dikotomi dunia yang “tidak baik” dan akhirat tersebut kadang melahirkan kritik tajam terhadap tasawuf dan tarekat. Sebagian kalangan menganggap sikap tersebut hanya akan melahirkan dampak negatif bagi dunia Islam dan sebagian mengatakan zuhud dalam tasawuf sebagai bentuk ajaran anti-kemajuan. Menghinakan dunia adalah tindakan yang berlebihan. Maka tidak mengherankan jika kondisi umat Islam saat ini tidak bisa menguasai peradaban Islam dengan baik [Hasan Hanafi, Min al-Fanā’ ilā al-Baqā’, Vol. 2, 749].
Terlepas dari kritik terhadap tarekat dan tasawuf terkait doktrin zuhud, bahwa di satu sisi mencintai dunia terlalu berlebihna akan melahirkan sikap hedonis, mementingkan kemewahan diri, serta melahirkan segala bentuk kejahatan di muka bumi ini. Di sisi yang berbeda, zuhud bisa dimaknai sebagai upaya anti-kemajuan dan anti-modernitas. Karena itu penting untuk melakukan reformulasi tentang konsep zuhud di era kontemporer ini.
Apakah zuhud harus dimaknai secara leterlijk yang anti-modernitas?
Sebuah riset disertasi tentang aktualisasi zuhud pada tarekat Shadhiliyyah di Jombang pada era kontemporer yang dilakukan oleh Mashur menarik untuk dicermati. Zuhud tidak harus selalu dimaknai secara kolot, hingga seorang sālik harus anti-modernitas. Riset yang segera akan diujikan di UIN Sunan Ampel Surabaya ini memfokuskan pada dua objek penelitian komunitas ordo sufi Shadīliyah di Bulurejo dan di Tambak Beras Jombang.
Di Jombang terdapat dua kelompok tarekat Shadhiliyah dengan perbedaan genealogi transmisi ketarekatannya. Pertama, jalur silsilah dari KH. Abdul Jalil Tulungagung yang ditumbuh-kembangkan oleh KH. Jamaluddin di Tambakberas. Kedua, melalui jalur silsilah KH. Mas’ud Toha Magelang, yang dikembangkan oleh KH. M. Qoyim Ya’qub di Bulurejo. Melihat jalur silsilahnya, kedua tarekat ini bertemu pada Syaikh Ahmad Nahrawi al-Makki. [Zaenu Zuhdi, “Ibadah Penganut Tarekat: Studi tentang Afiliasi Mazhab Fikih Tarekat Qadiriyah Wa Naqshabandiyah, Shiddiqiyyah, dan Shadhiliyah di Jombang”, UIN Sunan Ampel].
Dalam disertasinya, Mashur mengatakan bahwa zuhud perspektif syeikh dan penganut tarekat Shadhiliyah Bulurejo pada hakikatnya bukan zuhud pada makna fisik an sich (al-qadīyah al-jismīyah), tetapi zuhud adalah persoalan hati (al-qadīyah al-qalbīyah). Ini berarti secara fisik zāhid (pelaku zuhud) dapat memiliki dunia dan dapat berintraksi dengan modernitas, asalkan akhirat tetap sebagai tujuan dan hati zāhid terbebas dari sikap mencintai berlebihan terhadap dunia (hubb al-dunyā). Isolasi diri dari kehidupan hanya tahap belajar agar tidak terikat dengan dunia. Dunia hakikatnya tidak mutlak tercela. Dunia tercela adalah haram dan dunia mubah yang dijadikan tujuan.
Adapun zuhud dalam perspektif pengamal tarekat Shadhiliyah di Tambak Beras Jombang dimaknai hampir sama dengan kaca pandang zuhud versi Shadhiliyah di Bulurejo. Bagi mereka, esensi zuhud adalah terbebasnya hati dari dunia dan menganggap kecil seluruh persoalan dunia. Yang ada di dalam hati hanya akhirat dan Allah. Artinya, zuhud bukan persoalan fisik, tapi zuhud adalah persoalan hati. Karenanya tidak ada larangan berintraksi dengan dunia dan sisi positif modernitas, selama dunia bermanfaat untuk akhirat dan hati terbebas dari hubb al-dunyā.
Hakikat dunia tidak mutlak hina. Yang hina dan terlarang adalah dunia yang tidak bermanfaat untuk akhirat, baik yang haram atau yang mubah. Artinya, dunia hina dan terlarang tidak mutlak wujud dunia.
Kedua tarekat bersepakat tidak anti-modernitas. Perbedaannya, jika tarekat Shadhiliyah di Bulurejo menganggap bahwa pengisolasian diri—dalam konteks zuhud—diperlukan hanya pada tahap belajar. Sedangkan dalam pandangan pengamal tarekat Shadhiliyyah di Tambak Beras membolehkan pengisolasian diri jika kondisi “gemerlap dunia” dapat membahayakan iman sālik.
Perbedaannya lagi, jika tarekat Shadhiliyah Bulurejo tidak mengatakan zuhud sebagai maqām, sedangkan tarekat Shadhiliyah Tambak Beras mengkategorikan zuhud dalam deretan maqāmāt.
Dengan demikian pemikiran zuhud kedua tarekat ini dapat saya kategorikan sebagai zuhud progresif—alih-alih menamainya zuhud klasik yang konvensional.
Kedua tarekat bersepakat bahwa seorang sālik dan pengamal tarekat tidak harus membujang. Para pengamal tarekat bisa aktif bermasyarakat, tidak meninggalkan profesi dan pekerjaan, tidak identik dengan baju compang-camping dan jelek.
Tipologi zuhud klasik atau konvesional yang cenderung kontraproduktif, eksklusif, individualis, akhirat oriented, dan menempatkan dunia pada posisi dikotomis dengan Allah tidak lagi kompatibel pada era modern. Dari praktik zuhud sufisme klasik ini lahir pemikiran zuhud yang tetap progresif dan tidak anti-modernitas sebagaimana yang tergambar pada entitas tarekat Shadhiliyyah di Jombang.