Di tengah suasana sendu dan panik karena pandemi Covid-19 yang masif di Indonesia, bahkan di seluruh dunia, banyak kisah menginspirasi dan menggetarkan hati yang dilakukan para tenaga medis. Tak jarang aksi-aksi kebaikan mereka yang memberi pertolongan pada penderita Covid-19 sampai mengorbankan nyawanya.
Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) mencatat, sekira 24 dokter meninggal dunia akibat terjangkit Covid-19, 18 dokter dan 6 dokter gigi. Data tersebut dihimpun hingga 5 April 2020. Sedangkan di Jawa Timur—sebagaimana dirilis detik.com—hingga tanggal 17 April 2020, ada 2 tenaga medis yang meninggal dunia karena virus ini, satu seorang perawat senior di RS Siloam Surabaya dan satu dokter di Tulungagung yang melakukan praktik mandiri.
Beberapa tenaga medis yang bekerja di salah satu rumah sakit di Sidoarjo mengisahkan bahwa dirinya yang bekerja di IGD harus merelakan bapak-ibunya mengungsi di rumah saudaranya. Posisinya yang sangat rawan terpapar atau membawa virus bisa jadi tidak hanya mengancam kesehatan dirinya, tapi ia bisa menjadi carrier yang akan mengancam kesehatan keluarganya. Sang dokter berkisah bahwa posisinya yang ditempatkan di Instalasi Gawat Darurat (IGD) dianggap mengandung risiko tinggi, karena ia dan tim medis lainnya berada di garda terdepan sebelum pasien didiagnosis positif Covid-19 atau tidak.
Dokter tersebut bertutur bahwa di masa awal pandemi beberapa tenaga medis disarankan untuk secara swadaya melengkapi dirinya dengan Alat Pelindung Diri (APD), karena minimnya persediaan alat tersebut di RS. Tak jarang teman-teman sejawat saling berbagi informasi untuk mencari dan melengkapi dirinya dengan APD. Para tenaga medis memang tidak disarankan untuk berinteraksi langsung dengan pasien Covid-19 bila tidak menggunakan APD lengkap. Pada akhirnya, banyak bantuan dari masyarakat atau RS untuk melengkapi kebutuhan APD RS, sehingga para tenaga medis tidak lagi swadaya melengkapi APD-nya. Ketika saya tanya bagaimana rasanya menggunakan APD jenis Hazmat, sang dokter hanya mengatakan “rasanya seperti saat kita memakai jas hujan dalam kondisi cuaca panas dan kita berjemur di lapangan”.
Cerita lain dari tenaga medis yang menerima pasien di IGD untuk memantau kondisi tubuhnya. Pasien tersebut diantar untuk melakukan cek darah, foto, dan segala macamnya. Keluhan awal si pasien hanya punya riwayat penyakit diabetes dan sesekali batuk ringan. Setiap pasien ditanya “apa bapak habis berpergian ke luar kota?” Pasien selalu menjawab “tidak”. Akhirnya beberapa perawat pun tidak memakai APD dan hanya menggunakan masker sebagai pelindung diri biasa, karena APD hanya digunakan bagi perawat yang menangani pasien positif Covid-19. Perawat satu mengambil darah pasien dan perawat lain mengantar si pasien untuk melakukan foto paru. Pasca-selesai melakukan kedua hal tadi, hasilnya si pasien positif Covid-19. Setelah itu kedua perawat menangis sejadi-jadinya, karena takut akan tertular oleh pasien yang positif terpapar Covid-19 tadi. Dalam konteks ini, kejujuruan menjadi hal penting dalam proses ini, agar semuanya dalam kondisi yang bisa dikendalikan.
Lain lagi dengan tenaga medis yang bertugas di ruang isolasi pasien Covid-19. Kebijakan rumah sakit mengharuskan mereka dua minggu kerja penuh di RS dan dua minggu berikutnya mengisolasi diri entah di RS atau di ruang isolasi lain untuk melihat kondisi tubuhnya terpapar virus atau tidak. Sampai kapan hal ini diberlakukan, mereka menjawab “sampai wabah ini berakhir”.
Sebagai masyarakat awam yang mengetahui hal ini saya tentu iba dan miris, betapa pengorbanan yang dilakukan mereka sungguh tidak sederhana. Untuk sekadar pulang ke rumah mereka akan berpikir ribuan kali, karena mereka khawatir menjadi [silent] carrier Covid-19 bagi keluarganya. Kehidupan normalnya di luar RS seolah direnggut oleh wabah ini. Demi apa, demi kesembuhan pasien dan komitmen kerjanya.
Beberapa dokter juga berkisah bahwa para tenaga medis yang cukup sering bersinggungan dengan pasien justru belum dilakukan Rapid Test Covid, padahal setiap hari mereka berinteraksi dengan pasien batuk, sesak, dan demam yang entah mereka adalah penderita Covid-19 ataupun penyakit lainnya. Pemerintah justru melakukan pemeriksaan kepada warga yang berkerumun di kafe-kafe atau tempat terbuka lain dengan skema razia. Padahal tenaga medis semestinya membutuhkan pengujian kesehatan lebih sering. Alih-alih, mereka hanya menjalani tes apabila sudah merasakan gejala seperti demam. Tenaga medis biasanya menjalani prosedur seperti pengecekan suhu tubuh pada awal dan akhir shift serta tes setiap minggu untuk memastikan mereka tidak menjadi perantara penularan.
Seorang dokter yang saya ajak bicara sangat menyayangkan sikap masyarakat yang masih abai dengan instruksi pemerintah terkait distansiasi fisik dan memilih berkeliaran di luar rumah walaupun tidak begitu penting. Padahal jika membandingkan kengototan masyarakat yang masih sering tidak stay at home dan masih kongkow dengan rekan-rekannya dengan apa yang diperjuangkan oleh para tenaga medis di RS dengan risiko terpapar, maka sudah barang tentu hal ini berkontribusi menambah panjang jihad para tenaga medis di RS untuk merawat pasien Covid-19.
Yang harus selalu diingat bukan hanya diri kita (ego), tapi orang-orang yang ada di sekitar kita (the other) yang mungkin rentan terpapar. Bisa jadi di antara kita ada yang berpotensi silent carrier (seseorang yang memiliki kemampuan membawa dan menyebarkan virus) Covid-19, di mana kebanyakan carrier adalah mereka yang justru berusia muda.
Saatnya berhenti untuk bersikap egois dan jangan ngeyel. Demi kebaikan bersama mari kita “tinggal di rumah saja”. Karena sesungguhnya yang menjadi garda terdepan dalam perang melawan pandemi Covid-19 ini bukanlah dokter, tenaga medis apalagi pemerintah. Mereka adalah garda akhir. Garda terdepan itu adalah kita, masyarakat umum yang harus memahami bahaya Covid-19.
Dedikasi para petugas medis dan pegawai lainnya di rumah sakit agar pasien dapat sembuh dari pandemi Covid-19 ini seyogianya mendapatkan apresiasi dari pemerintah. Sebagaimana yang dilansir oleh Liputan6.com [31/3/2020] bahwa pemerintah akan memberikan insentif dokter dengan rincian Rp 15 juta per bulan (dokter spesialis), Rp 10 juta (dokter umum), Rp 7,5 juta (perawat), dan Rp 5 juta (tenaga kesehatan lainnya) yang berjuang menyembuhkan pasien positif Covid-19. Semoga hal ini bisa terealisasi sesegera mungkin. [MZ]