Beberapa hari yang lalu saya lagi-lagi membaca sebuah artikel dari salah satu website pengusung khilafah. Artikel dengan judul “Anak-anak Tidak Terjaga tanpa Khilafah” itu cukup membuat saya geleng-geleng kepala.
Beberapa kejadian terkait keluarga yang akhir-akhir ini marak terjadi seperti perundungan, pembunuhan anak, ayah yang memperkosa anak, dan kekerasan terhadap anak dianggap akibat dari penerapan sistem kehidupan yang sekuler sehingga melahirkan nilai-nilai hidup yang salah di masyarakat.
Tentu saja solusi yang ditawarkan oleh para aktivis ini adalah dengan menerapkan sistem khilafah. Padahal kalau kita pelajari lagi beberapa kejadian yang menimpa anak-anak tersebut sama sekali tidak ada kaitannya dengan sistem khilafah yang mereka usung.
Khilafah adalah sebuah gerakan politik yang mengatasnamakan Islam. Maka dari itu mereka sangat anti sekali dengan ideologi yang bukan islam seperti liberalisme dan kapitalisme misalkan.
Sedangkan serangkaian kejadian yang menjadikan anak sebagai korban disebabkan oleh faktor individu itu sendiri sebagai pelaku. Jadi tidak ada hubungannya samasekali dengan sistem negara yang ada.
Mengajarkan Islam, Bukan Sistem Islam
Apa yang terjadi pada anak tersebut tentu saja pemerintah sudah memberikan kebijakan yang setimpal kepada para pelaku sesuai dengan undang-undang yang telah ditetapkan. Akan tetapi, mungkin saja balasan yang diinginkan oleh para pengusung khilafah ini adalah balasan seperti aishas. Sedangkan konsep Qishas sendiri hanya ada dalam sistem Islam yang mereka inginkan. Karena bagi mereka hanya khilafah yang dapat menciptakan ruang aman bagi anak-anak.
Perlu untuk diperhatikan lagi bahwa yang perlu dipelajari dan didalami di sini adalah ajaran Islam bukan sistem Islam. Karena jika dilihat secara makna dan tujuan keduanya memiliki perbedaan yang cukup jauh.
Ajaran Islam tentu saja mengajarkan kedamaian, anti kekerasan, dan tentu saja mengajarkan bagaimana mencipatakan ruang aman untuk anak karena berangkat dari dalil yang diambil dari dua sumber utamanya, yaitu Al-Qur’an dan hadis. Sedangkan khilafah berangkat dari sistem politik yang mengatasnamakan agama sehingga dapat menimbulkan perpecahan.
Jika selama ini para aktivis khilafah selalu menggaungkan kehidupan yang nyaman dan sempurna dengan khilafah maka perlu untuk mempelajari lebih lanjut bagaimana peristiwa kelam akibat khilafah ini.
Nadirsyah Hosen dalam buku Islam Yes, Khilafah No banyak mengisahkan serangkaian perstiwa kelam akibat sistem khilafah. Serangkaian perisitwa tersebut berupa pertumpahan darah, perang saudara sesama muslim, kudeta, dan lain-lain.
Mengutip dari Islami.co, terdapat enam sisi kelam dari khilafah, di antaranya perebutan kekuasaan yang dilakukan oleh Bani Abbasiyah ke Bani Umayyah, masjid yang dijadikan kandang kuda selama 70 hari, menyimpan jasad di bawah permadani, pembantaian di masjid, kriminalisasi ulama, dan politisasi ayat.
Berangkat dari peristiwa kelam sistem khilafah di masa lalu, apakah kita yakin bahwa dengan didirikannya sistem khilafah hari ini akan dapat membuat anak-anak hidup bahagia dan dapat terhindar dari berbagai ancaman?
Tentu saja jawabannya belum tentu, karena setiap individu mempunyai tanggung jawab atas dirinya sendiri. Oleh sebab itu, yang perlu diajarkan kepada mereka adalah ajaran islam, bagaimana berislam dengan baik dan benar, bukan dengan cara memperkenalkan sistem khilafah sebagai solusi dari setiap masalah.
Walaupun khilafah ini diterapkan, belum tentu juga anak-anak dapat terlindungi dan menjadi bahagia, bahkan bisa sebaliknya anak-anak akan menderita.
Bukan Bahagia Malah Menderita
Selama ini cerita khilafah yang disampaikan oleh para aktivis ini bisa dikatakan seperti dongeng sebelum tidur. Bagaimana tidak, semua yang disampaikan adalah prihal kejayaannya saja, mereka melewatkan scene kelam dari rentetan sistem khilafah untuk disampaikan kepada khalayak ramai.
Meskipun begitu, berkaca pada rentetan peristiwa kelam khilafah tempo dulu, penulis sangat yakin sekali bahwa apabila sistem khilafah ini diterapkan hari ini maka akan berdampak buruk kepada anak-anak. Mengapa demikian?
Kita bayangkan saja, anak-anak yang seharusnya berada pada fase bermain harus diperkenalkan dengan pemahaman-pemahaman yang cukup radikal. Mereka diindoktrinasi untuk membenci satu sama lain, mengafirkan, bahkan hal yang paling buruk adalah sudah diajarkan untuk mengangkat senjata sejak dini untuk melawan dengan orang-orang yang berbeda pemahaman dengan mengatasnamakan membela agama dan jihad fi sabilillah.
Adapun pemahaman islam yang diajarkan kepada mereka adalah pemahaman tekstual; teks-teks kitab suci yang disampaikan adalah terkait peperangan dan berjuang melawan orang-orang nonmuslim yang dianggap kafir.
Oleh sebab itu, menurut Agus Wedi dalam Harakatuna.id, pemahaman khilafah yang dianggap menjadi solusi sebenarnya akan menjadi racun yang mematikan bagi akal dan naluri anak-anak Indonesia. Itulah sebabnya mengapa penulis mengatakan anak-anak tidak akan bahagia.
Hemat penulis, untuk membuat anak-anak hidup bahagia bukan dengan menerapkan sistem khilafah, tetapi dengan mengajarkan mereka nilai-nilai keislaman, meberikan pemahaman kepada mereka bahwa di dalam Al-Qur’an tidak hanya memuat ayat-ayat peperangan, tetapi lebih banyak ayat-ayat perdamaian. Wallahualam bissaawab. [AR]