Khairun Niam Mahasiswa sekaligus santri Pondok Pesantren Nurul Ihsan Yogyakarta

Ketika Doa Nabi Ibrahim Mampu Mengubah Peradaban

2 min read

Sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang diberi anugerah akal dan pikiran, sudah seharusnya manusia mempunyai cara untuk menjalin keharmonisan antara manusia dan penciptanya. Oleh karena itu, terkadang manusia melakukan sebuah ritual yang fungsinya adalah untuk menjalin hubungan verbal dengan Allah. Hubungan komunikasi inilah yang sering kita sebut dengan “doa”.

Dalam kamus KBBI, “doa” adalah bagian dari pengharapan, permohonan, dan pujian kepada Tuhan. Mengutip dari Afrizal El Adzim Syahputra dalam artikelnya, Ibnu Taimiyah membagi doa menjadi dua bagian.

Pertama, doa sebagai ibadah yaitu dengan bentuk pujian hamba kepada Allah SWT yang memang layak mendapatkannya. Kedua, doa sebagai penyelesaian masalah yaitu setiap permohonan yang memberi manfaat bagi dirinya maupun agar dirinya dijauhkan dari bahaya.

Sedapat pengetahuan penulis, doa-doa yang sampai kepada kita hari ini berasal dari tiga sumber yaitu dari Al-Qur’an, hadis, dan doa yang dihasilkan oleh ijtihad para ulama. Doa yang berasal dari hadis dan ijtihad para ulama lebih dominan terhadap doa-doa untuk kebaikan diri sendiri dan berhubungan baik dengan orang lain, sedangkan doa-doa dalam Al-Qur’an banyak didominasi oleh doa para Nabi, salah satunya adalah Nabi Ibrahim.

Nabi Ibrahim Meminta Keturunan

Perjalanan hidup Nabi Ibrahim dikisahkan di beberapa surat dalam Al-Qur’an. Dalam kisah-kisah tersebut, Nabi Ibrahim memohon kepada Allah terkait beberapa hal yang mana doa tersebut masih digunakan sampai hari ini. Beberapa doa Nabi Ibrahim yang cukup familier bagi kita adalah doa agar diberikan keturunan yang saleh, yaitu:

“Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang yang saleh. Maka Kami memberinya kabar gembira dengan seorang anak yang amat penyantun.” (QS. al-Saffat [37]: 100-101)

“Segala puji bagi Allah yang telah menganugerahkan kepadaku di hari tuaku (Ismail dan Ishaq). Sesungguhnya Tuhanku, benar-benar Mahamendengar doa. Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang yang tetap melaksanakan salat. Ya Tuhan kami, perkenankanlah doaku. Tuhan kami, ampunilah aku dan kedua ibu-bapakku dan sekalian orang-orang mukmin pada hari perhitungan.” (QS. Ibrahim [14]: 39- 41)

Dalam proses dakwahnya, Nabi Ibrahim tidak menemukan seseorang yang dapat diandalkan sebagai penerusnya, maka beliau berdoa kepada Allah untuk memohon keturunan. Kemudian, Nabi Ibrahim mendapatkan kabar gembira bahwa beliau akan diberikan seorang anak laki-laki, yang dapat diketahui dari kata “ghulam”.

Baca Juga  Paham Kebangsaan NU Perspektif Gus Dur (1)

Anak tersebut, ketika mencapai usia dewasa, akan menjadi orang yang penyantun dan memiliki budi pekerti yang tinggi. Hal ini terlihat ketika Nabi Ibrahim menyampaikan perintah Allah untuk menyembelih anak tersebut.

Setelah mendapatkan keturunan berupa anak yang saleh, doa Nabi Ibrahim diakhiri dengan pujian atas nikmat yang telah diberikan kepadanya. Nikmat tersebut adalah kedua anak yang telah diberikan kepada Nabi Ibrahim pada hari tuanya, yaitu Ismail yang ditempatkan di dekat Baitullah, dan Ishaq yang kini berada bersama ibu kandungnya di Palestina. Maka kemudian, doa Nabi Ibrahim ditutup dengan mendoakan kedua orang tuanya.

Keturunan yang Mengubah Peradaban

Dalam tradisi Islam, seperti yang telah familier di masyarakat, Nabi Ibrahim memiliki dua istri, yaitu Siti Sarah dan Siti Hajar. Siti Hajar merupakan seorang pelayan yang bekerja untuk Ibrahim. Karena tidak memiliki keturunan, akhirnya Siti Sarah meminta Ibrahim untuk menikahi Siti Hajar. Pada akhirnya, Nabi Ibrahim memiliki dua putra, yaitu Ishaq dari Siti Sarah dan Ismail dari Siti Hajar.

Dari kedua anak tersebutlah peradaban manusia akan mengalami banyak perubahan, kemajuan, bahkan konflik, dan dari situlah peradaban manusia memulai babak baru. Kedua putra Nabi Ibrahim tersebut akan banyak menghasilkan keturunan yang akan melanjutkan risalah kenabian dan menjadi nenek moyang dari dua agama samawi yang masih bertahan sampai hari ini.

Nabi Ismail merupakan nenek moyang dari bangsa Arab, sedangkan Nabi Ishaq merupakan nenek moyang dari Bani Israil. Nabi Ishaq nantinya akan menghasilkan keturunan, yaitu Bani Israil, dan menurunkan Nabi dan Rasul, di antaranya Ya’qub, Musa, Yusuf, Ayyub, Yunus, Harun, Zulkifli, Dawud, Sulaiman, Ilyas, Ilyasa, Zakaria, Yahya, dan terakhir adalah Nabi Isa.

Baca Juga  Bulan Syakban: Mengingat Kembali Peristiwa Perpindahan Arah Kiblat

Lalu, keturunan dari Nabi Ismail adalah Nabi Muhammad. Oleh sebab itu, bangsa Yahudi sangat membenci Nabi Muhammad. Hal ini terekam dalam Al-Qur’an.

“Ataukah mereka dengki kepada manusia (Muhammad) karena karunia yang telah diberikan kepada Allah kepadanya? Sungguh, kami telah memberikan Kitab dan Hikmah kepada keluarga Ibrahim, dan kami telah memberikan kepada mereka kerajaan (kekuasaan yang besar).” (QS. al-Nisa [4]: 54)

Dalam tafsir Kementerian Agama dikatakan bahwa bangsa Yahudi merasa iri terhadap Nabi Muhammad karena kenabian terakhir jatuh kepada bangsa Arab, keturunan Ismail, dan tidak jatuh kepada bangsa Yahudi sebagaimana nabi-nabi sebelumnya.

Namun, dalam hal ini penulis tidak akan membicarakan lebih jauh mengenai konflik antara kedua agama samawi tersebut, karena bagaimana pun juga nabi-nabi tersebut merupakan utusan yang harus diyakini. Yang penulis ingin tekankan di sini adalah dalam doa Nabi Ibrahim tersebut terdapat ketundukan dan kepasrahan total, serta keinginan yang kuat untuk meneruskan risalah kenabian.

Kemudian, doa tersebut dikabulkan oleh Allah sehingga dapat mengubah peradaban manusia. Tidak tanggung-tanggung, hampir seluruh keturunan Nabi Ibrahim menjadi nabi, sehingga tidak salah jika Nabi Ibrahim dijuluki sebagai bapak para nabi.

Kisah Nabi Ibrahim serta doanya tersebut dapat dijadikan sebagai pelajaran dan contoh untuk mendapatkan keturunan yang saleh dan salehah, tetapi tentu saja dengan catatan bahwa orang tuanya juga harus saleh dan salehah. Karena untuk menghasilkan produk yang baik, diperlukan pabrik yang baik pula. Wallahualam. [AR]

Khairun Niam Mahasiswa sekaligus santri Pondok Pesantren Nurul Ihsan Yogyakarta