Nuril Hidayah Pengajar di STAI Miftahul 'Ula Nganjuk

Fangirling/Fanboying: Harapan-harapan Sosial yang Terpinggirkan

3 min read

Semenjak masuknya Korean Wave pada awal-awal 2000-an, kajian-kajian tentang budaya populer mulai mengangkat fenomena kemunculan kelompok-kelompok penggemar fanatik sebagai suatu sub-kultur. Kelompok-kelompok ini dipelajari berbagai aspeknya, mulai dari cara mereka merepresentasikan diri, cara berinteraksi, kontrol diri, pola konsumsi, sampai bagaimana industri hiburan memelihara dan memanfaatkan fanatisme mereka untuk memperoleh laba. Kajian-kajian ini umumnya dilatari banyaknya stereotip negatif yang disematkan kepada penggemar fanatik pelaku industri hiburan, mulai dari pola hidup konsumtif, histeria massal, hingga attitude yang emosional.

Berangkat dari pandangan-pandangan negatif orang luar, sependek pengamatan saya, ada banyak hal yang luput diamati dari fenomena fangirling ini dalam kajian-kajian tersebut. Mengamati perilaku fangirl/fanboy dengan berangkat dari isu irasionalitas tindakan dalam fangirling/fanboying seringkali mengesampingkan gagasan bahwa dalam tindakan ini tersimpan harapan-harapan sosial yang terpinggirkan, yang sesungguhnya penting pula untuk diungkap.

Fangirling atau fanboying mengacu pada aktivitas atau tindakan yang dilakukan penggemar fanatik atau penggemar berat sebagai ekspresi kecintaannya pada sosok yang digemari. Belakangan ini istilah “bucin” (budak cinta) juga sering dipakai untuk menyebut pelaku fangirling atau fanboying ini.

Bagi industri hiburan, para fangirl/fanboy atau bucin ini adalah pasar yang mudah. Ariel Heryanto, tokoh yang sangat menonjol karya-karyanya tentang budaya pop, pernah mengatakan di twitternya, “Kapitalisme bukan cuma soal modal, oligarki, buruh dan laba. Juga soal pembinaan identitas dan kenikmatan: rasa ikut memiliki dan mencintai.” Pandangan beliau ini menggarisbawahi beberapa hal yang beroperasi dalam relasi antara kapitalis, produk, dan pasar.

Dalam konteks fangirl/fanboy mengapa saya katakan mereka adalah pasar yang mudah? Karena pembinaan identitas dan kenikmatan dalam konteks fangirl/fanboy tidak hanya dilakukan searah. Para penggemar ini juga secara aktif melakukan pembinaan identitas dan kenikmatan atas inisiatif mereka sendiri.

Baca Juga  Hamka dan Etika Politik Para Politisi Kita

Apa yang mendorong mereka melakukan hal itu? Saya tergoda untuk mencoba menjawab pertanyaan itu dari perspektif orang dalam. Penggemar K-Pop atau artis dari negara lain biasanya punya nama khusus. Misalnya, Army untuk penggemar BTS, EXO-L untuk EXO, Blink untuk penggemar Black Pink, dan Dears untuk penggemar Dimash.

Saya berkesempatan mengobrol dengan sedikit dari mereka tentang mengapa mereka mencintai idolanya, selain juga mengamati bagaimana mereka mengekspresikan diri di media sosial. Penggemar K-Pop kebanyakan orang-orang usia dewasa awal. Yang masuk dalam kategori ini adalah Army, EXO-L, dan Blink. Dears yang mengidolakan artis dari Kazakhstan, rentang usianya lebih beragam. Komposisi lebih seimbang antara yang dewasa awal, dewasa akhir, bahkan usia lanjut.

Dari obrolan dan pengamatan itu saya menyimpulkan bahwa imej tentang penggemar yang kebanyakan mengidolakan pujaannya hanya karena penampilan (tampan, cantik, putih, imut, menggemaskan) tidak sepenuhnya tepat. Tidak dipungkiri bahwa physical trait menjadi daya tarik tersendiri bagi penggemar, tetapi yang membuat mereka memutuskan untuk terjun dalam fangirling/fanboying bukan itu.

Umumnya fangirl/fanboy mengalami momen awal ketika mereka pertama kali tertarik pada idolanya. Momen ini terjadi mungkin karena physical trait tadi, atau karena melihat koreografi yang sangat bagus dan unik, atau mendengar musik yang sangat catchy, untuk kasus K-Pop.

Penggemar Dimash umumnya mengalami momen ini karena merasa terpana mendengar suaranya atau karena merasakan sensasi emosi yang belum pernah dialami sebelumnya ketika pertama kali melihat Dimash bernyanyi. Akan tetapi, momen awal ini tidak cukup untuk membuat seseorang memutuskan melakukan fangirling/fanboying. Seseorang menjadi fangirl/fanboy atau bucin bagi artis tertentu lebih karena ada sesuatu yang membuat mereka merasa relate.

Baca Juga  Ketika Rumah sebagai Pusat Ibadah dan Aktivitas pada Bulan Ramadan

Menurut pengamatan saya, perasaan relate ini terbangun dari harapan-harapan sosial yang mereka lihat ada pada diri sang artis, atau setidaknya mereka proyeksikan ada pada diri sang artis. Tanpa perasaan relate ini, momen awal kekaguman tadi hanya akan membuat seseorang menjadi penggemar biasa.

Pada kasus anak-anak muda penggemar K-Pop, harapan sosial itu tercermin dari jawaban mereka ketika ditanya apa yang membuat mereka ngefans pada idolanya. Anak-anak muda penggemar fanatik K-Pop merasa kagum berat pada K-Pop idols karena kegigihan dan kedisiplinan mereka yang tidak pernah menyerah menjadi diri sendiri meskipun harus berjuang dari nol dan menghadapi berbagai tekanan dan kesulitan.

Alasan lainnya adalah adanya kehangatan persahabatan di antara sesama anggota boyband atau girlband. Jawaban-jawaban ini mencerminkan harapan sosial atau konsep ideal mereka tentang bagaimana seharusnya kehidupan dialami dan dijalankan.

Anak-anak muda ini berharap mendapatkan keleluasaan untuk menjadi diri sendiri, memiliki etos kerja yang sama dengan idolanya, dan dapat menikmati kehangatan persahabatan seperti mereka. Harapan-harapan sosial ini dapat menjadi renungan bagi para orang tua yang mengeluhkan perilaku fangirling/fanboying anak-anak muda untuk lebih memahami ada apa di balik perilaku tersebut.

Alasan fangirl/fanboy Dimash relatif berbeda dengan penggemar berat K-Pop idols, terutama penggemar dalam rentang usia dewasa akhir dan usia lanjut. Ada dua aspek yang tampak menonjol dari alasan mereka mengagumi Dimash, yaitu musikalitas dan personality traits. Beberapa penggemar berat Dimash usia dewasa akhir atau usia lanjut yang telah menikmati musik dari berbagai genre dan berbagai generasi merasakan ketidakpuasan pada musik masa kini.

Menurut mereka industri musik saat ini lebih cenderung menonjolkan hal-hal selain musik itu sendiri hanya untuk membuatnya laku. Ada yang menonjolkan erotisme. Ada yang membuat sensasi dengan kostum-kostum aneh, dan sebagainya. Menikmati penampilan Dimash yang sudah sangat menonjol secara musikalitas tanpa dibubuhi embel-embel di luar musik membuat harapan sosial mereka terpenuhi.

Baca Juga  Pandemi, Tirakat dan “Raos Sami”

Kepribadian Dimash juga menjadi alasan lain kekaguman para penggemar beratnya. Dimash dikenal sebagai sosok yang sangat humanis dan tampak selalu memperlakukan orang yang lebih tua dengan penuh hormat. Kekaguman karena personality traits semacam ini merefleksikan harapan-harapan sosial tentang bagaimana penggemar usia dewasa dan usia lanjut ini ingin diperlakukan.

Karena terbatasnya pengamatan, tulisan ini tentunya banyak meninggalkan aspek lain yang juga perlu diungkap dalam kaitannya dengan perasaan relate dan harapan sosial. Akan tetapi, setidaknya dapat membantu menjelaskan mengapa fangirl/fanboy cenderung bersikap defensif ketika dikonfrontasi perihal aktivitas fangirling/fanboying-nya. Begitu besar makna perasaan relate atau sense of belonging ini sehingga membuat Penggemar berat yang religius sekalipun—baik penggemar K-Pop atau bahkan penggemar drama Korea yang belum sempat dibahas di sini—tidak jarang menggunakan pendekatan sekuler ketika sudah menyangkut soal K-Pop atau drama Korea. [MZ]

Nuril Hidayah Pengajar di STAI Miftahul 'Ula Nganjuk