Nuzula Nailul Faiz Alumnus Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga

Berakhlak dengan Asmaulhusna dan Sifat Allah menurut Syekh Izzuddin bin Abdissalam (2)

2 min read

Kredit: Shah_Graphics99

Pada tulisan sebelumnya saya memaparkan bagaimana Syekh Izzuddin bin Abdissalam mengajarkan berakhlak dengan asmaulhusna sesuai kemampuan diri. Berikut lanjutan penjelasan berakhlak dengan asmaulhusna dan sifat-sifat Allah menurut Syekh Izzuddin bin Abdissalam dari sifat al-‘Aziz sampai al-Fattah.

Berakhlak dengan al-‘Aziz (Maha Perkasa)

Allah berfirman dalam QS. al-Hud [11]: 66:

فَلَمَّا جَاۤءَ اَمْرُنَا نَجَّيْنَا صٰلِحًا وَّالَّذِيْنَ اٰمَنُوْا مَعَهٗ بِرَحْمَةٍ مِّنَّا وَمِنْ خِزْيِ يَوْمِىِٕذٍ ۗاِنَّ رَبَّكَ هُوَ الْقَوِيُّ الْعَزِيْزُ ٦٦

Ketika keputusan Kami datang, Kami menyelamatkan Saleh dan orang-orang yang beriman bersamanya berkat rahmat dari Kami serta (Kami menyelamatkannya juga) dari kehinaan hari itu. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah Yang Mahakuat lagi Mahaperkasa.”

Al-‘Aziz berarti Allah memiliki keagungan dengan segala maknanya, yakni agungnya kekuatan, agungnya penguasaan, dan agungnya kecukupan. Buah memahaminya adalah perasaan takut pada Allah.

Memiliki akhlak al-‘Aziz berarti mencegah diri dari kesalahan-kesalahan orang-orang kafir dan orang-orang durhaka. Atau, bila melihat sisi dalam  al-‘Aziz bagaimana Allah sebagai Dzat yang sangat kuat, tak ada yang bisa menyerupai-Nya, berakhlak dengannya berarti menguatkan tauhid, taat, dan pengetahuan sebisa mungkin.

Contoh penerapannya misalnya, ada seorang pemuda yang berselancar di lini masa media sosial. Kemudian, muncullah video atau foto yang bisa memicu syahwat. Akan tetapi, karena ia memahami dan menyadari sifat al-‘Aziz-nya Allah, dia pun kemudian mengabaikan postingan tersebut.

Berakhlak dengan al-Jabbar (Maha Perkasa)

Allah swt. berfirman dalam QS. al-Hasyr [59]: 23:

هُوَ اللّٰهُ الَّذِيْ لَآ اِلٰهَ اِلَّا هُوَ ۚ اَلْمَلِكُ الْقُدُّوْسُ السَّلٰمُ الْمُؤْمِنُ الْمُهَيْمِنُ الْعَزِيْزُ الْجَبَّارُ الْمُتَكَبِّرُۗ سُبْحٰنَ اللّٰهِ عَمَّا يُشْرِكُوْنَ ٢٣

“Dialah Allah Yang tidak ada tuhan selain Dia. Dia (adalah) Maharaja, Yang Mahasuci, Yang Mahadamai, Yang Maha Mengaruniakan keamanan, Maha Mengawasi, Yang Mahaperkasa, Yang Mahakuasa, dan Yang Memiliki segala keagungan. Mahasuci Allah dari apa yang mereka persekutukan.”

Al-Jabbar berarti Allah memiliki keagungan, keperkasaan, keluhuran, dan kekuasaan. Berakhlak dengan al-Jabbar berarti bermuamalah dengan hamban-Nya dengan segala kebaikan dan kedamaian semampunya. Contohnya, seseorang akan berusaha memegang komitmen pernikahan yang sudah dibuatnya, karena sadar akan keperkasaan Allah.

Baca Juga  Cyberreligion: Ekspresi Keberagamaan di Era Klik

Berakhlak dengan al-Muntaqim (Maha Pembalas)

Allah swt. berfirman dalam QS. al-Sajdah [32]: 22:

وَمَنْ اَظْلَمُ مِمَّنْ ذُكِّرَ بِاٰيٰتِ رَبِّهٖ ثُمَّ اَعْرَضَ عَنْهَا ۗاِنَّا مِنَ الْمُجْرِمِيْنَ مُنْتَقِمُوْنَ ࣖ ٢٢

“Siapakah yang lebih zalim daripada orang yang telah diperingatkan dengan ayat-ayat Tuhannya, kemudian dia berpaling darinya? Sesungguhnya Kami akan memberikan balasan kepada para pendosa.”

Al-Muntaqim berarti Allah sebagai Dzat yang maha memberi azab pada siapa pun hamba yang dikehendaki-Nya secara adil. Hasil dari mengetahui nama tersebut bisa membuat seorang hamba takut pada siksa-Nya.

Berakhlak dengan al-Muntaqim berarti menerima segala konsekuensi yang diberikan Allah berupa had atau ta’zir yang disyariatkan. Contoh penerapannya yaitu ada sekelompok siswa yang melakukan perundungan kepada teman sejawatnya. Kemudian ia menerima segala konsekuensi hukuman oleh aparat hukum disertai bertobat kepada-Nya.

Berakhlak dengan al-‘Adl (Maha Adil)

Allah swt. berfirman dalam QS. al-Nahl [16]: 90:

۞ اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْاِحْسَانِ وَاِيْتَاۤئِ ذِى الْقُرْبٰى وَيَنْهٰى عَنِ الْفَحْشَاۤءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ ٩٠

“Sesungguhnya Allah menyuruh berlaku adil, berbuat kebajikan, dan memberikan bantuan kepada kerabat. Dia (juga) melarang perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia memberi pelajaran kepadamu agar kamu selalu ingat.”

Al-‘Adl berarti Allah sebagai Dzat yang berada di tengah-tengah dalam menyambungkan dan memutus sesuatu, dalam membiarkan dan mencegahnya, atau dalam manfaat dan mudaratnya. Buah mengetahui nama itu ialah takutnya orang zalim terhadap sifat keadilan Allah.

Berakhlak dengannya berarti orang yang mendapat cobaan dapat bersikap adil dalam hal yang diputuskan oleh Allah secara berimbang, antara fakir dan kaya, lemah dan kuat, dekat dan jauh, serta musuh dan pelindung. Demikian pula bertindak adil kepada kerabat, yakni keluarga, teman, atau anak-anaknya.

Baca Juga  Gus Dur, Anak Muda, dan Narasi Baru Islam Tradisional

Contoh penerapannya yaitu tetap berbicara dan bersikap secara objektif ketika ada teman atau atasan dalam organisasi yang diikutinya melakukan kesalahan dan perlu dikritik.

Berakhlak dengan al-Fattah (Maha Pembuka)

Allah berfirman dalam QS. al-Fath [48]: 1:

اِنَّا فَتَحْنَا لَكَ فَتْحًا مُّبِيْنًاۙ ١

“Sesungguhnya Kami telah menganugerahkan kepadamu kemenangan yang nyata.”

Jika dilihat dari sisi bahwa Allah sebagai Dzat yang membuka rezeki, maka buah mengetahuinya adalah mengharapkan rezeki dibuka dan diberikan dalam tempo yang langsung atau ditangguhkan.

Berakhlak dengannya berarti menyerahkan segala rezeki yang dikuasai-Nya dalam rida Sang Pencipta. Contohnya, seseorang boleh berharap bisa menikahi seseorang yang dicintainya. Namun, ia mesti menyadari berhasil atau tidaknya itu adalah rezeki dari Allah. Kalaupun gagal, pasti ada rezeki lain yang akan terbuka untuknya. Wallahualam bissawab [AR]

Nuzula Nailul Faiz Alumnus Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga