Judul Buku: Ulama, Islam, dan Nusantara: Catatan Ringkas Pergulatan Pemikiran Keagamaan
Penulis: Ahmad Fauzi Ilyas
Penerbit: Rawda Publishing
Tebal: x-254 halaman
ISBN: 978-623-93816-3-9
Polemik, secara bahasa, merupakan perdebatan mengenai suatu masalah yang dikemukakan secara terbuka dalam media massa. Terlibat di dalamnya membutuhkan kemampuan intelektual yang tinggi. Dalam tradisi Islam, ia dipahami bukan dengan konotasi negatif karena sesungguhnya ia merupakan kekayaan intelektual yang sangat berharga. Polemik antara Abu Hamid al-Ghazali dan Ibnu Rushd mengenai wacana filsafat barangkali yang paling populer. Nama pertama menulis Tahāfut al-Falāsifah (Kerancuan Para Filsuf). Nama kedua memberi bantahan lewat Tahāfut al-Tahāfut (Kerancuan Buku Tahāfut al-Falāsifah).
Buku berjudul Ulama, Islam dan Nusantara: Catatan Ringkas Pergulatan Pemikiran Keagamaan karya Ahmad Fauzi Ilyas memberi gambaran mengenai itu dalam konteks Nusantara. Polemik-polemik yang pernah terjadi –didominasi abad ke-19; direkam dan digambarkan dengan sangat baik oleh penulisnya yang berkedudukan sebagai Direktur Pusat Studi Naskah Ulama Nusantara (PuSNUN) Medan. Rijal Mumazziq sebagai Rektor INAFAS Jember memberi apresiasi, “polemik akademik para ulama Nusantara di masa lalu menggambarkan adanya upaya saling mengisi ruang intelektual, saling memperkaya wacana dan saling menguatkan basis pemikiran masing-masing. Mereka ibaratnya pesilat tangguh yang menampilkan atraksi jurusnya di atas gelanggang. Saling bergulat, adu piting, adu tangkas, dan secara atraktif menampilkan kemampuannya secara ciamik.”
Sebagai contoh, di halaman 163-170, penulis yang merupakan dosen Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT) Ar-Raudlatul Hasanah itu merekam polemik mengaji sifat 20 di Nusantara yang pernah direkam oleh Syaikh Hasan Maksum Deli dalam kitabnya Tanqīh al-Zunūn dan Syaikh Janan Thaib Minangkabau dalam al-Muqmi’ah al-Dhikām fī Radd alā Man Ankara Ilm Kalām. Baik nama pertama maupun kedua; sama-sama membantah anggapan-anggapan bid’ah yang dilontarkan atas tradisi tersebut, yang bahkan hingga kini masih sangat mudah dijumpai hingga tataran MDTA sekalipun. Dalam pandangan dua Ulama tersebut, yang sayangnya tidak dielaborasi secara menyeluruh tentang argumentasinya, tradisi itu tidak bertentangan dengan nilai agama Islam.
Contoh lain yang patut untuk dicermati adalah perihal makam keramat (h.43-50). Acapkali, tentang ini yang diperbincangkan adalah boleh atau tidaknya. Padahal, di setiap tempat yang pernah bermukim seorang ulama atau wali Allah, selalu dijumpai pemandangan seperti itu. Ahmad Fauzi Ilyas memberi contoh makam pendiri kampung Besilam, Langkat, Sumatera Utara. Katanya, sikap masyarakat adalah menghormati kiprah ulama, kesalehannya, keilmuannya hingga derajat walinya. Narasi polemik yang pernah terjadi justru siapakah yang paling berhak atas uang atau barang sumbangan yang diberikan pengunjung; keluarga ulama tersebutkah atau pejabat yang berwenang atas wilayah makam tersebut. Mengacu makam keramat Habib Husain Luar Batang, Ahmad Fauzi Ilyas membahas karya Sayyid Usman berjudul Simth al-Syudzūr.
Pesan tentang cara memandang polemik di atas, untuk saat ini, tentu perlu untuk disosialisasikan, dan tentunya dikaji secara serius. Lebih-lebih di era banjir informasi yang begitu terasa. Hal itu dengan catatan, polemik mesti dilandasi dengan keilmuan yang mumpuni atau otoritatif. Jangan sampai kekhawatiran Tom Nichols (2017) dalam The Death of Expertise: The Campaign Against Established Knowledge and Why It Metter mengenai matinya kepakaran para ahli sampai terjadi hanya karena dengan modal media sosial ataupun smartphone, semua orang berpendapat sesuka hatinya.
Sangat disayangkan jika kekayaan intelektual sedemikian rupa hilang ditelan zaman hanya karena memaksakan setiap orang mengikuti satu pendapat yang ditetapkan. Hasan Asari (2006) dalam Menguak Sejarah Mencari ‘Ibrah pernah mengingatkan tentang tradisi munāzarah yang pernah populer di kalangan ulama-ulama klasik, yaitu ketika kaum intelektual memperdebatkan pandangan-pandangan ilmiah mereka, di depan khalayak umum, untuk mencari sebuah kebenaran. Bahkan, Imam Al-Ghazali yang begitu kharismatik keilmuannya, dalam perjalanan sejarah adalah sosok yang sering terlibat dalam tradisi ini hingga mencapai puncak akademisnya sebagai guru besar di Madrasah Nizhamiyah.
Kembali ke buku terbitan Rawda Publishing (2020) tersebut, polemik-polemik antar-ulama Nusantara ternyata pernah mencuat hingga menjadi perbincangan global di ranah internasional. Di halaman 23-30, Ahmad Fauzi Ilyas memberikan ilustrasi singkat tentang rapat para ulama di Haramain yang melibatkan pemuka dari empat mazhab dengan tema diskusi adalah fenomena keagamaan yang terjadi di Nusantara; khususnya kaum tua dan muda. Gambaran sedemikian rupa tentu menarik untuk terus didalami dengan melihat adanya gagasan pemerintah menjadikan Indonesia sebagai pusat studi Islam, setidaknya dalam konsepsi pendirian Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII). Bahwa keinginan untuk mewujudkan itu di Indonesia punya narasi sejarah yang tercatat dan terdokumentasi.
Hanya saja, dalam konfirmasi kami kepada penulis, karya-karya Ulama Nusantara yang dibahasnya dalam buku tersebut, dan juga dua buku karyanya sebelumnya yang berjudul Warisan Intelektual Ulama Nusantara (2018) dan Pustaka Naskah Ulama Nusantara (2019) masih menjadi koleksi pribadinya, atau Pusat Studi yang dikelolanya. Belum banyak yang didigitalisasi atau disalin kembali untuk menjaga keberadaan atau keutuhannya. Perihal ini, pihak-pihak berwenang bisa mengambil peran. Konteks tulisan ini lebih mengingatkan kepada pembaca sekalian bahwa kekayaan intelektual di Nusantara ini begitu kaya. Kita bertugas menjaganya. Jangan sampai karena terpukau dengan kekayaan orang lain, kita lupa sehingga kekayaan itu hilang ditelan zaman dan keadaan. [MZ]