Rasyida Rifa'ati Husna Seorang long-life learner

Ujian Yang Membuat Nabi Adam Memohon Ampun

3 min read

Allah menganugerahkan manusia akal dan nafsu sebagai kelebihannya. Dua alat tersebut adalah modal utama untuk menjalani kehidupan dunia di mana penuh dengan ujian dan cobaan.

Berbicara tentang ujian, sebagai insan pertama di muka bumi, hikayat dalam Al-Qur’an tentang Nabi Adam dapat menjadi pelajaran bagi manusia saat ini. Meskipun dalam redaksi kisah ini dirinya mengalami kegagalan, tetapi ia pantang menyerah untuk terus memperbaiki diri dan berusaha melakukan apa pun yang membuat Allah rida kepadanya.

Gagal Menjalani Ujian dari Allah, Nabi Adam Diturunkan ke Bumi

Nabi Adam tinggal di surga dengan penuh kenikmatan dan kemakmuran, ditemani Hawa yang diciptakan Allah dari tulang rurusknya sendiri. Apa saja yang dia inginkan, saat itu juga ada di hadapannya, baik berupa makanan, minuman, dan lainnya. Perihal kehidupan surga yang sempurna dan bahagia sebab tiada kelaparan dan dahaga itu terekam dalam QS. Taha [20]: 118-119.

Di ayat sebelumnya (QS. Taha [20]: 115-117) sejatinya Nabi Adam telah diingatkan agar tidak mendekati sebuah pohon. Itu saja yang dilarang, yang lain tidak ada.

Allah menguji keduanya dengan iblis yang perlahan terus mencoba merayu mereka dengan tipu daya. Bujuk rayu iblis berhasil, dan keduanya tidak dapat mengendalikan hawa nafsu mereka berdua.

Menurut M. Quraish Shihab, mereka lupa sehingga teperdaya oleh setan dan mengabaikan peringatan tersebut. Hal itu pula disebabkan oleh mereka yang tidak memilki tekad kuat dan kemauan serta kesabaran untuk membentengi diri dari rayuan dan tipuan setan.

Maka, akibat dari perbuatan, itu Nabi Adam dan Siti Hawa diusir dari surga. Mereka berdua pun diturunkan ke bumi dan dipisahkan seperti dalam QS. al-Baqarah [2]: 36. Sebelum itu, Nabi Adam dan Hawa memohon ampun kepada Allah seraya bertobat atas dosa yang dilakukannya. Hal ini tertulis dalam QS. al-A’raf [7]: 23.

Baca Juga  Masihkan Anda Ingin Membujang?

Kesalahan dan Penyesalan

Saat Adam dan Hawa diturunkan ke bumi, keduanya sangat bersedih. Dikatakan bahwa keduanya menangis sejadi-jadinya. Dalam Thaharatul Qulub, karangan Syaikh Abdul Aziz ad-Dirini, diceritakan bahwa ketika turunnya Nabi Adam ke bumi, ia terdiam selama tujuh hari, menangis hingga air matanya kering, dan kepalanya menunduk. Lalu, Allah bertanya, “Beban berat apa yang Aku lihat menimpa dirimu?”

Nabi Adam kemudian menjawab, “Wahai Tuhanku, musibahku besar dan kesalahan mengelilingiku. Aku dikeluarkan dari malakut Tuhanku, hingga kini berada di negeri kehinaan, padahal sebelumnya berada di negeri kemuliaan. Aku berada di negeri keletihan, padahal sebelumnya berada di negeri kesenangan. Karenanya, bagaimana mungkin aku tidak menangisi kesalahanku?”

Lalu, Allah mewahyukan, “Wahai Adam, bukankah Aku memilihmu untuk diri-Ku menghalalkan negeri-Ku, mengistimewakanmu dengan kemuliaan-Ku, serta memerintahkanmu untuk mewaspadai amarah-Ku?

Bukankah Aku menciptakanmu dengan tangan-Ku, meniup roh-Ku ke dalam dirimu, memerintahkan para malaikat bersujud kepada-Mu, tetapi kamu malah bermaksiat kepada perintah-Ku, melupakan janji-Ku, dan perlahan mendekati amarahKu.” Lalu, Nabi Adam AS menangis selama 300 tahun.

Indahnya Keterusiran Nabi Adam Disesali dengan I’tiraf

Dalam penyesalan atas kesalahannya itu Nabi Adam tidak henti-hentinya memohon ampunan kepada Allah. Dijelaskan dalam Kitab al-Mustadrak, al-Hakim meriwayatkan dari Umar bin Khattab, Rasulullah bersabda bahwa beliau meminta ampun dengan bertawasul dengan nama Nabi Muhammad.

Doa beliau, “Wahai Tuhanku, dengan derajat yang ada pada Muhammad, aku meminta kepada-Mu agar engkau memafkan aku.” Lalu Allah menjawabnya, “Wahai Adam, bagaimana engkau mengenal Muhammad padahal Aku belum (memperlihatkannya kepadamu)?”

Nabi Adam pun menjawab, “Ya Allah, ketika Engkau menciptakanku dengan tangan-Mu dan meniupkan roh-Mu ke dalam diriku, aku mengangkat kepalaku dan kulihat penyangga singgasana arasy tertulis la ilaha illallah, muhammad rasulullah. Aku tahu bahwa Engkau tidak mengaitkan sesuatu pada nama-Mu kecuali sesuatu itu adalah makhluk yang paling Engkau cintai.”

Baca Juga  Abu Hanifah versus Dahri: Jangan Panggil Aku Anak Kecil Paman

Maka, dalam sebuah hadis riwayat Hakim disebutkan bahwa Allah menjawab komentar Adam, “Engkau benar, wahai Adam. Muhammad memang makhluk-Ku yang paling Kucintai. Jika kamu meminta-Ku dengan perantaraan kebenaran Muhammad, maka Aku mengampunimu. Andai bukan karena Muhammad, Aku tidak akan menciptakan-Mu.”

Ibrah dari Kisah Nabi Adam dan Hawa

Apa pelajaran yang menarik, tetapi sering terabaikan dari cerita Nabi Adam dan Hawa?

Bahwa Nabi Adam dan istrinya tidak mampu mengendalikan nafsu serakah yang ada dalam dirinya membuat hidupnya menjadi susah. Mereka gagal melewati hanya satu cobaan, padahal di sisi lain karunia, Allah berlimpah tanpa batas. Nafsu matanya tertuju pada buah yang terlarang itulah yang membuat mereka tercampak dari yang serba berkecukupan.

Pertama, angka dan jumlah tidak memiliki kekuatan yang menjerumuskan. Banyak orang dengan keterbatasan dan kekurangan bisa bersyukur dan hidup bahagia dalam ketaatan kepada Allah.

Dengan hati yang qana’ah, jumlah sedikit akan terasa cukup. Namun, justru orang yang diberi limpahan dan kemewahan harta serta tahta malah terjerumus dalam noda dan dosa. Hal ini karena mereka terjebak dalam nafsu serakah yang tidak pernah puas dengan apa yang telah diperolehnya.

Kedua, pelanggaran dan dosa mengakibatkan kesusahan dan kesulitan. Dosa juga dapat merusak kalbu dan melemahkan iman seseorang. Dampaknya dapat membuat seseorang menjadi gundah gulana dalam hidup. Betapa hebatnya dosa menjadi virus yang membahayakan kehidupan manusia dan bahkan menjadi sumber malapetaka bagi keberlangsungan hidup manusia.

Pesan moral yang tak kalah penting dari kisah di atas adalah bahwa setiap manusia ketika diuji pasti memiliki potensi untuk berbuat kesalahan dan dosa. Bahkan, Nabi Adam sebagai contoh masih bisa terjerumus dalam kesalahan yang mengharuskannya menanggung hukuman yang begitu berat. Namun, beliau menyesali kesalahan tersebut dan menerima serta menjalankan apa yang ditetapkan oleh Allah.

Baca Juga  Jangan Tinggalkan ini Setelah Salat: Ijazah Wirid dari Sayyid ‘Alawī al-Malikī

Hukuman itu tidak membuat beliau memilih jalan pembangkangan. Sebaliknya, pada momen itulah beliau semakin menyandarkan diri kepada Tuhannya dan memohon ampunan atas kesalahannya. [AR]

Rasyida Rifa'ati Husna Seorang long-life learner