Di hari ketiga (Rabu, 04/11) perhelatan International Symposium of Religious Life (ISRL), para peneliti dari berbagai wilayah di Indonesia mempretasikan hasil penelitian mereka dalam forum panel session. Diskusi ini dibagi dalam grup-grup panel dengan tema yang sangat beragam seperti moderasi beragama, kehidupan keagamaan gerasi milenials, internet dan social media, hingga persoalan ektremisme dan intoleransi.
Yasir Alimi menjadi pembahas dalam sebuah panel diskusi menarik dengan tema Religion, Internet and Social Media, yang banyak membahas tentang korelasi agama, internet dan media social dalam kehidupan masyarakat muslim kontemporer.
Nur Kafid dan Arif Zamhari, misalnya, meneliti tentang gerakan LISAN (Literasi Islam Santun dan Toleran) di Soloraya. LISAN adalah sebuah gerakan yang mengkampanyekan Islam santun di wilayah Soloraya yang muncul sebagai upaya mengkonter tren berita hoaks, ujaran kebencian (hate speech), intoleransi, radikalisme, dan ekstremisme di media sosial.
Gerekan dari LISAN ini meliputi pelatihan, pendampingan, dan kampanye publik secara online dan media offline terkait konten-konten Islam yang ramah dan toleran. Uniknya, lanjut Kafid, gerakan ini menekankan pada upaya reaktualisasi nilai-nilai kearifan lokal dan kitab kuning (teks Islam klasik), dalam bentuk dan gaya bahasa kontemporer yang mudah dipahami oleh generasi milenial.
Alumni pelatihan ini tergabung dalam Duta LISAN bertindak sebagai agen gerakan dalam mempromosikan nilai-nilai moderasi dan kampanye melawan ujaran kebencian dan berita palsu melalui berbagai karya inovatif dengan konten moderat dan ujaran kebaikan.
Sedangkan, Supriyansyah lebih banyak menyoroti tentang penyiaran kegiatan keagamaan melalui akun media sosial “Aswajanet” dan dinamika sosial di masyarakat, yang dimulai November 2019 hingga Agustus 2020. Aswajanet adalah akun media sosial resmi komunitas anak muda di Banjarmasin yang rutin melakukan penyiaran berbagai Pengajian (Khotbah) atau Haul online menggunakan layanan jejaring sosial.
Kegiatan media sosial Aswajanet tidak hany membangun citra Majelis Taklim atau Khatib atau menyebarkan informasi tentang kegiatan keagamaan saja. Menurut mereka, menyiarkan Haul dan Pengajian langsung melalui media sosial tidak mengurangi makna yang terkandung dalam ritual keagamaan ini. Mereka menganggap kegiatan ini sebagai bagian dari upaya mereka untuk memelihara ingatan dan relasi dengan ulama, tradisi esensial tradisionalis Islam atau kosmopolitan Islam.
Dalam hal ini, Supriyansyah menggunakan metode Ethnographic Digital dengan mengumpulkan seluruh status unggahan dan penyiaran langsung aktivitas keagamaan di media sosial di akun “Aswajanet” dan mengamati aktivitas offline mereka.
Ia menemukan bahwa mayoritas aktivitas akun media sosial kaum muda kosmopolitan Muslim ini masih bertemakan seputar upacara dan tradisi keagamaan, seperti Pengajian, Haul, dan praktik keagamaan besar lainnya yang dimediasi oleh komputer yang diunggah secara online.
Selain melalui media baru, mereka juga melakukan diskusi, persahabatan, serta menggabungkan sumber lokal dan online yang menawarkan pengalaman spiritual dan ikatan sosial baru. Mereka menekankan identitas dan tradisi lama dan Islam Kosmopolitan di kalangan anak muda bukan menggantikannya.
Berbeda dengan Nofri Andy, dalam artikelnya ia membahas tentang pentingnya kerukunan di media sosial melalui pengendalian bahasa agama sebagai alternatif dalam memperlakukan keragaman. Andry menyajikan pemahaman bahwa hegemoni media membuat kelompok menjadi besar dan memberikan ancaman kepada pihak lain sehingga menimbulkan ketakutan yang luar biasa bagi kelompok agama dan non-agama.
lebih lanjut, Andry menemukan bahwa penguasaan bahasa di media sosial perlu menjadi perhatian, terutama hal-hal yang berkaitan dengan masalah keagamaan karena dapat menstimulasi kesadaran akumulatif suatu kelompok dan menjadi pemicu konflik. Penciptaan harmoni bisa dilakukan dengan menekan informasi kebencian yang berulang-ulang di media sosial.
Dari berbagai tema yang disampaikan dalam panel session ini menunjukkan bahwa agama dan media memiliki korelasi yang cukup kompleks dan perlu didiskusikan dalam penelitian yang lebih mendalam lagi, sebab kehadiran media sosial dan internet banyak mengubah pola-pola relasi dan komunikasi masyarakat beragama. Pengendalian media sosial dari hal-hal yang memicu konflik dan chaos harus dijadikan agenda bersama dari semua pihak baik pemenrintah, akademisi maupun masyarakat secara umum. [AA]