Ratusan warga Syiah asal Sampang, Madura, yang kini mengungsi di Rusunawa Puspo Agro, Sidoarjo, Jawa Timur, menyatakan berkomitmen akan meninggalkan keyakinan mereka dan kembali ke ajaran Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja) atau Sunni.
“Kami ingin kembali ke jalan yang kami anggap ini jalan terbaik untuk saya, saudara-saudara saya dan keyakinan kami. Masalah kami bisa pulang [ke Sampang] atau tidak, itu bukan prioritas kami,” kata pimpinan warga Syiah, Tajul Muluk alias Ali Murtadho.
Rencananya, warga Syiah tersebut akan dibaiat (berikrar untuk menjadi Muslim Sunni) di Kabupaten Sampang, namun waktunya belum ditentukan karena menunggu kesepakatan dari bupati dan pihak terkait di Sampang.
Sebelumnya, sebagian besar ulama Madura meminta para pengikut Syiah itu untuk meninggalkan ajaran mereka jika ingin kembali tinggal di Madura. Ratusan warga Syiah asal Sampang, Madura, yang kini mengungsi di Rusunawa Puspo Agro, Sidoarjo, Jawa Timur, menyatakan berkomitmen akan meninggalkan keyakinan mereka dan kembali ke ajaran Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja) atau Sunni.
“Kami ingin kembali ke jalan yang kami anggap ini jalan terbaik untuk saya, saudara-saudara saya dan keyakinan kami. Masalah kami bisa pulang [ke Sampang] atau tidak, itu bukan prioritas kami,” kata pimpinan warga Syiah, Tajul Muluk alias Ali Murtadho.
Rencananya, warga Syiah tersebut akan dibaiat (berikrar untuk menjadi Muslim Sunni) di Kabupaten Sampang, namun waktunya belum ditentukan karena menunggu kesepakatan dari bupati dan pihak terkait di Sampang.
Sebelumnya, sebagian besar ulama Madura meminta para pengikut Syiah itu untuk meninggalkan ajaran mereka jika ingin kembali tinggal di Madura.
Setelah delapan tahun berlalu sejak konflik berdarah menewaskan satu warga Syiah Sampang pada 2012, Wakil Ketua Setara Institute, Bonar Tigor Naipospos, menilai keputusan yang diambil Tajul Muluk dan pengikutnya menunjukkan “kealpaan dan kelemahan pemerintah dalam mencari solusi konflik kebebasan beragama”.
Ketua Majelis Ulama Indonesia Kabupaten Sampang, Bukhori Maksum, menyambut baik keputusan Tajul Muluk dan para pengikutnya.
Ia menolak pernyataan jika negara disebut abai dan lemah dalam mencari solusi atas warga Syiah tersebut.
Bukhori menambahkan, ia belum bisa berkomentar mengenai masa depan mereka sampai ada kesepakatan bersama antara pemerintah daerah, tokoh masyarakat dan ulama di Sampang.
Sekitar delapan tahun berjuang dalam pengungsian, Tajul Muluk alias Ali Murtadho dan mayoritas pengikutnya memutuskan untuk meninggalkan keyakinan mereka dan kembali ke ajaran Aswaja yang dipeluk mayoritas masyarakat Islam Indonesia.
Saat ditanya alasannya, Tajul Muluk menjawab, “Ini tanggung jawab saya sebagai orang yang dipercaya saudara-saudara yang lain yang ikut saya. Ketika saya mau menemukan bukti maka saya harus memberi tahu bahwa benar apa adanya seperti yang dikeluarkan MUI.”
“Kami ingin kembali ke jalan yang kami anggap jalan terbaik untuk saya, saudara saya, dan keyakinan kami. Masalah kami nanti bisa pulang atau tidak, itu bukan prioritas kami,” kata Tajul.
Mengapa butuh waktu hingga delapan tahun untuk kembali menganut Sunni, alasanTajul karena proses pencarian dan menerima tidak instan.
“Kami belum punya bukti dan kami anggap semua itu masih isu. Lalu kami pelajari perlahan-lahan, banyak membaca dan mendengar dari banyak sumber, dan akhirnya kami memberikan keputusan untuk kembali,” jelasnya.
Tajul menambahkan, keputusan ini telah disampaikan secara terbuka kepada Pemda Sampang dan aparat terkait sejak Maret lalu. Namun rencana untuk kembali ke ajaran Aswaja sudah muncul sejak dua tahun lalu.
“Kami butuh proses panjang, tidak segampang itu meyakinkan teman-teman, karena ini menjadi sebuah keyakinan,” kata Tajul.
“Sekarang ini sudah menjadi kesepakatan bersama kami. Tidak ada tekanan dan tertekan karena ini inisiatif saya sendiri,” kata Tajul saat ditanya apakah ada tekanan dalam mengambil keputusan.
Apakah ada pengikutnya yang kecewa dengan keputusan ini, Tajul mengiyakan karena ada dari mereka yang telah berkorban nyawa, harta, terluka fisik hingga dipenjara.
“Sudah ada 80% yang siap [dibaiat], dan rencananya di Sampang, waktunya belum ditentukan tergantung Bapak Bupati,” ujar Tajul.
Tajul berharap agar ia dan pengikutnya yang mengungsi dari Sampang dapat kembali ke Madura.
“Ke depan semua bisa selesai, yang terputus bisa tersambung, dan yang rusak bisa diperbaiki, itu saja,” tutupnya.
Ormas Syiah di Indonesia, Ahlul Bait Indonesia (ABI) melihat keputusan yang diambil Tajul Muluk merupakan hal yang wajar karena merupakan bentuk kebebasan beragama. Ia berharap jika keputusan tersebut diambil bukan karena adanya tekanan.
“Kami terus melakukan pendampingan hingga Maret kemarin. Karena ada perubahan dari Tajul Muluk sendiri dan menginstruksikan jemaahnya untuk tidak berhubungan dengan ABI, sejak itu terhenti, tidak ada pendampingan dan komunikasi lagi, saya tidak tahu dilatarbelakangi apa,” kata Sekretaris Jenderal DPP ABI, Ali Ridho Assegaf.
Ali Ridho juga berharap agar keputusan Tajul tidak menciptakan perpecahan di internal warga Syiah yang hidup dalam kesulitan di pengungsian.
“Jangan ada pemaksaan kepada pengikutnya, segera perbedaan diselesaikan baik-baik, karena kebebasan masing-masing untuk berkeyakinan,” tambahnya.
Saat ini, terdapat sekitar 83 kepala keluarga yang terdiri dari 349 jiwa yang menempati Rusunawa di Sidoarjo, dan dari jumlah tersebut akan ada sekitar 300 orang dewasa yang akan menjalani baiat.
Jumlah itu berkurang dibandingkan sebelumnya yang mencapai 2.035 jiwa.
Keputusan yang diambil oleh Tajul Muluk dan pengikutnya, menurut Wakil Ketua Setara Institute, Bonar Tigor Naipospos, merupakan hak setiap warga negara. Namun, di sisi lain, juga menunjukkan bentuk “lemahnya peran negara dalam memperjuangkan kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia”.
“Negara berperan sebagai fasilitator dan mediator, berlarut-larutnya penyelesaian hingga delapan tahun tanpa solusi menunjukan negara alpa, memilih jalan aman, dan lemah, sehingga terlihat tidak melakukan apa-apa,” kata Tigor.
Akibatnya, warga Syiah mengambil pilihan paling rasional dan berkompromi dengan keadaan, yaitu dengan meninggalkan keyakinan mereka dan mengikuti kemauan mayoritas.
“Saya melihat akhirnya dia [Tajul] harus berkompromi karena dia melihat jika bertahan juga tidak ada kepastian akan solusi apalagi kepastian bisa kembali ke kampung halamannya karena negara seakan-akan sudah angkat tangan. Sudah lebih dari tujuh tahun persoalan itu jadi pilihan rasional yang diambil Tajul Muluk,” katanya.
Menurut Tigor, bertahan bertahun-tahun dalam pengungsian menyebabkan ketegangan psikologi di antara warga Syiah yang mayoritas latar belakang petani.
Mereka adalah masyarakat agraris yang bekerja di alam bebas namun dipaksa tinggal di rumah susun yang memiliki ruang terbatas.
“Siapa yang mampu bertahan hidup dalam kondisi yang berbeda dengan yang selama ini dijalani, di lingkungan sosial berbeda, alam berbeda, dan ini menimbulkan ketegangan psikologis sendiri. Maka tanggung jawab Tajul muluk untuk mengambil keputusan ini, keputusan rasional,” kata Tigor.
Senada dengan itu, mantan Ketua Forum Rekonsiliasi Syiah Sampang, Abd A’la, berharap keputusan Tajul Muluk dan pengikutnya diambil tanpa ada unsur paksaan.
“Kalau berangkat dari keyakinan, maka tidak otomatis seluruh pengikut Tajul Muluk akan ikut, untuk itu perlu dialog, jangan ada pemaksaan, dan kedua pihak harus saling menghargai atas kebebasan beragama dan berkeyakinan,” kata Abd. A’la.
Diolah dari Berbagai Sumber