Ridwan Al-Makassary Pegiat Perdamaian Indonesia, yang pernah mengikuti “Study of the United States Institute on Pluralism and Public Presence” di University of California Santa Barbara (UCSB) USA dan Co-Founder Lembaga Perdamaian Indonesia (LPI).

Hizbut Tahrir [Indonesia]: Gerakan Moral atau Politik?

3 min read

Sejatinya, Hizbut Tahrir (HT)—termasuk Hizbut Tahrir Indonesia (HTI)—adaah sebuah gerakan Islam transnasional yang bertujuan memapankan kekhalifahan Islam global di dunia.

Bagaimana kita mendefinisikan Hizbut Tahrir (HT), termasuk Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), sebagai sebuah gerakan: apakah ia merupakan sebuah gerakan moral, atau gerakan politik? Lebih jauh, apakah HTI merepresentasikan sebuah gerakan Islam politik, oleh karena ia bukanlah satu partai politik resmi yang ikut berlaga dalam kontestasi pemilu?

Pertanyaan-pertanyaan yang menggelayut di benak publik tersebut memerlukan sebuah penjelasan konseptual yang memadai. Karenanya, tulisan singkat ini memproblematisasi apakah HT dan HTI adalah sebuah gerakan politik, yang bertujuan membentuk kekhalifahan Islam.

Menerima fakta sosial bahwa HT (dan HTI) telah menetapkan tujuan kekhalifahan Islam global sebagai tujuan akhir jelas merupakan gerakan politik. Dalam pengertian ini, gerakan Islam politik bertujuan meraih kekuasaan politik.

Menurut Dale F. Eickelman dan James Piscatori (1996), sistem politik apapun, Muslim atau sebaliknya, niscaya akan terlibat dalam mengatur persaingan, oposisi dan berbagai kepentingan.

Secara lebih luas, politik dikonseptualisasikan sebagai medan pertempuran untuk merebut kendali atas makna simbol. Apa yang saat ini diperjuangkan oleh para Islamis, termasuk barisan HT (dan HTI) dapat dilihat sebagai struggle about people’s imagination (perjuangan tentang imajinasi orang-orang).

Singkatnya, baik Eickelman dan Piscatori menyatakan bahwa kaum Islamis dalam perjuangan ini adalah mereka yang membayangkan terbentuknya sebuah tatanan sosial berdasarkan Islam.

Gerakan Islam seperti al-Ikhwān al-Muslimūn/IM (the Muslim Brotherhood) menyatakan fokus pada masalah sosial dan tidak mendorong perubahan sistem. Karenanya, IM telah memperjuangkan tegaknya syariat Islam melalui mekanisme demokrasi (yaitu pemilihan umum, pemilu).

Ini berbeda dengan HT (termasuk HTI), yang secara organisasi tidak berlaga dalam pemilu, namun mengupayakan tujuan politik. Taqiyuddin an-Nabhani memandang IM terlalu moderat sehingga tidak efektif membawa perubahan, karena membela Islamisasi masyarakat secara bertahap melalui aktivisme akar rumput untuk mencapai negara Islam.

Baca Juga  Menjadi Muslim yang nJawani

Kritik semacam itu telah memantik perpecahan antara HT dan Ikhwān, meski keduanya dipandang oleh pihak luar sebagai gerakan Islam radikal.

Untuk mencapai tujuannya, HT mempertahankan tiga tahapan perjuangan (Ahmed dan Stuart, 2009; Arifin, 2010), yaitu:

Pertama, Marhalah Tathqīf (pembinaan karakter dan rekrutmen kader) yang menekankan perlunya melahirkan banyak kader yang setia pada gagasan dan ideologi HT;

Kedua, Marhalah Tafā‘ul ma’a al-Ummah (interaksi dengan masyarakat) yang mendorong masyarakat untuk mengembangkan dakwah dengan cara meningkatkan kesadaran berdasarkan ajaran HT; dan

Ketiga, Marhalah Istislām al-Hukm (perebutan kekuasaan) akan dilakukan dengan cara damai dengan menggunakan strategi penerapan syariat Islam di bawah kekhalifahan Islam.

Ketiga langkah inilah yang digunakan HT dalam membimbing umat Islam mengarungi gelombang kemunduran dan masalah sosial yang membelit Islam menuju pantai idaman, yaitu kekhalifahan Islam sebagai solusi persoalan umat.

Karena menganjurkan sebuah pendekatan bottomup, semacam proyek Islamisasi masyarakat) HT dinilai sangat aktif dalam merekrut dan mempromosikan idenya melalui berbagai cara yang dilakukan oleh partai politik.

HT menolak menggunakan kekerasan dalam dua tahap pertama gerakannya untuk merealisir tujuannya. Kekerasan—bagaimanapun—hanya mungkin pada tahap akhir, ketika “Negara Khilafah memiliki kekuatan untuk terlibat dalam konflik kekerasan melawan kekuatan Barat yang akan mencoba untuk menghambat pertumbuhannya” (Osman, 2010).

Singkatnya, doktrin HT membenarkan adanya kekerasan terhadap pihak-pihak yang menghalangi realisasi misi HT, sehingga HT (dan HTI) adalah organsiasi yang damai tampaknya adalah mitos, terutama beberapa kudeta militer yang gagal oleh angkatan bersenjata Yordania pada tahun 1968 dan 1969 (Taji-Farouki, 1996; Osman, 2018).

HT mengklaim bahwa cara mencapai tujuan mereka adalah persuasi dan mobilisasi gerakan akar rumput alih-alih menggunakan kekerasan dan paksaan, meskipun berbagai tuduhan bahwa HT mendukung dan menginspirasi aksi terorisme dengan ideologi revolusionernya.

Baca Juga  Gus Dur, Anak Muda, dan Narasi Baru Islam Tradisional

Zeyno Baran (2005) menyebut HT sebagai “pelopor ideologis Islam radikal Sunni”, yang menggunakan kekerasan jika mungkin diperlukan untuk menggulingkan rezim dalam rangka mencapai tegaknya Khilafah.

Senada dengan itu, Morgan menyatakan bahwa “HT mengaku menentang penggunaan kekerasan, padahal di Rusia dan Asia Tengah pernah ada kasus anggota HT telah terlibat terorisme”.

HT dengan tajam mengkritik Barat karena mempromosikan nasionalisme dan melemahkan Kekaisaran Ottoman yang telah menyatukan umat Islam selama beberapa abad. Lebih lanjut, HT berpendapat bahwa pemerintahan Islam merupakan alternatif dari globalisasi dan kemunculan negara Barat dan kapitalis.

Dalam kaitan ini, anggota dan simpatisan HT meyakini bahwa kapitalisme, demokrasi, dan liberalisme adalah sumber utama penderitaan umat Islam di dunia. Secara khusus, baik kapitalisme dan sosialisme adalah sistem buatan manusia yang mendorong kejahatan ekonomi dan hak dan kewajiban ketidakadilan.

Menurut An-Nabhani, baik kapitalisme maupun sosialisme telah menghardik agama dari ruang publik. Kapitalisme mendasarkan dirinya pada pemisahan agama dan kehidupan (sekularisme) sementara sosialisme menjanjikan surga komunal yang palsu. Lebih jauh, kapitalisme bekerja dengan imperialisme, yaitu pemaksaan dominasi politik, militer, budaya, dan ekonomi atas bangsa-bangsa yang tereksploitasi.

Oleh karena itu dimensi religi dari ideologi HT menekankan pada penerapan syariat Islam dengan mendirikan negara Islam global. HT memandang kekhalifahan global sebagai alternatif dari sistem kapitalisme dan sosialisme.

Lebih lanjut, negara Islam global, bagi HT, adalah negara Islam yang mencakup seluruh penduduk Muslim tanpa batas-batas yang terkait dengan negara-bangsa. Konsep yang dijadikan acuan adalah al-Khulafā’ al-Rāsyidūn (Khalifah yang dituntun dengan benar), di mana seorang khalifah diangkat melalui mekanisme baiat.

Bagi HT, konsep Khilafah merupakan jalan untuk mengembalikan kejayaan Islam. Kekhalifahan adalah prototipe dari sistem pemerintahan Islam yang telah terbukti berhasil melintasi pergantian abad.

Baca Juga  Meretas (Jalan) Peradaban dengan Menentukan Teman Duduk

Dalam memperkuat gagasan tersebut, HT memuja sejarah Islam di era Khilafah yang dimulai dengan rasul Muhammad SAW, dan diakhiri dengan runtuhnya Kesultanan Utsmaniyah pada tahun 1924.

HT menegaskan bahwa Khilafah memiliki karakter universal yang dapat diterapkan dalam periode apapun. atau pengaturan dan merupakan satu-satunya solusi untuk menarik umat Islam keluar dari kondisi getir mereka. Dengan demikian, Khilafah merupakan kebutuhan sejarah dan kewajiban kolektif umat Islam.

Namun, perhatian HT yang berlebihan terhadap perjuangan menegakkan kekhalifahan dinilai Yusuf Qardhawi (2005) telah mengabaikan aspek-aspek Islam lainnya yang juga penting seperti membebaskan masyarakat dari politeisme (syirik), bidah dan fanatisme, mengabaikan pembinaan moral, pemikiran Islam, dll.

Bagi HT, pendirian Khilafah tidak bisa ditawar-tawar lagi, dan tindakan paling krusial yang harus diwujudkan, bahkan lebih kritis dan utama daripada keesaan Tuhan yang mutlak (aqidah).

Karenanya, HT menolak nilai-nilai demokrasi karena mereka percaya bahwa umat Islam yang menerima demokrasi berarti menolak Allah sebagai satu-satunya legislator. Meski konsep demokrasi sering dipandang bertentangan dengan ideologi Islam murni, anggota dan aktivis HT telah terlibat dalam politik dengan berpartisipasi dalam proses demokrasi seperti pemilu.

Misalnya, Abdul Qadim Zalloum—Amīr kedua dari HT—berpartisipasi dalam pemilihan Yordania pada tahun 1952 dan 1958, gagal untuk memenangkan kursi pada kedua kesempatan tersebut.

Pada tahun 1956, HT berpartisipasi dalam pemilihan Yordania lagi, mengajukan enam kandidat, terdaftar sebagai calon independen. Namun, dari enam calon HT, hanya Syekh Ahmad Ad Daur yang memenangkan kursi (Taji-Farouki, 1996; Pankhurst, 2016).

Sebagai kesimpulan, ideologi HT (dan HTI) menekankan “Islam bukan hanya agama tetapi ideologi politik holistik, di mana kedaulatan adalah milik Tuhan, bukan umat manusia” (Ahmed dan Stuart, 2009), yang mesti diperjuangkan baik dengan jalan damai dan jalan kekerasan. [MZ]

Ridwan Al-Makassary Pegiat Perdamaian Indonesia, yang pernah mengikuti “Study of the United States Institute on Pluralism and Public Presence” di University of California Santa Barbara (UCSB) USA dan Co-Founder Lembaga Perdamaian Indonesia (LPI).