Ridwan Al-Makassary Pegiat Perdamaian Indonesia, yang pernah mengikuti “Study of the United States Institute on Pluralism and Public Presence” di University of California Santa Barbara (UCSB) USA dan Co-Founder Lembaga Perdamaian Indonesia (LPI).

Hizbut Tahrir Indonesia, Sekte, dan Loyalitas Anggota

3 min read

Di tengah diskursus HTI yang sedang “naik daun” belakangan ini, tulisan singkat ini didedikasikan guna menjawab beberapa pertanyaan publik tentang bagaimana kita memahami secara konseptual kelompok Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), bagaimana keanggotaan dicapai di HTI dan apakah yang akan terjadi jika seorang anggota ingin keluar dari organisasi HTI.

HTI sebagai Gerakan Kultus atau Struktur?

Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), termasuk induk organisasinya Hizbut Tahrir (HT), tampaknya menyerupai sekte (sect) sebagai gerakan keagamaan, dan juga sebuah struktur “yang mencengkeram anggota dengan aturan baku yang telah ditetapkan”.

Sekte—menurut Troeltsch—berarti menghubungkan anggota “dengan tujuan hidup ilahi secara langsung melalui perjuangan batin, pemurnian diri, dan asketisme individualistik dikembangkan”.

Lebih jauh, sekte “hanyalah aturan langsung pemutusan hubungan dari dunia dan memanifestasikan dirinya dalam menolak institusi sekuler seperti aturan hukum dan pengadilan, dan menolak untuk mengatur dunia”.

Dalam hal ini, sekte menerima eksistensi dan ideologi lembaga mereka dari pemimpin karismatik mereka sebagai cita-cita mereka dan memilih “Kerajaan Allah untuk semua kepentingan dan lembaga sekuler”.

Demikian pula, David mendefinisikan sekte sebagai kelompok eksklusif (saya menyebutnya kelompok otoriter) yang tidak mengakui alternatif yang valid atau kebenaran di luar inklusivitas dari ketidaklengkapan maupun relativitasnya.

Berdasarkan kerangka konsep di atas dan fakta sosial di lapangan, singkatnya, HTI bisa dikatakan sebagai sekte, oleh karena organisasinya sesuai dengan definisinya; HTI telah menolak institusi sekuler yaitu demokrasi dan organisasi yang berusaha mewujudkan kekhalifahan Islam. HTI berupaya mengembalikan kerajaan Tuhan sebagai satu-satunya pembuat hukum yang berlaku.

Daya tarik HTI kepada generasi muda, khususnya pelajar, di tanah air ditentukan oleh kemampuan organisasi untuk tampil sebagai struktur bagi anggota dan simpatisannya. Di sini, struktur berarti sebagai apa yang disebut Gidden sebagai “semacam pola hubungan sosial”.

Baca Juga  Ketika Nabi Di Hina, Harus Diam Bertindak?

Dalam keterangan ini, Bourdieu menggunakan istilah “habitus”, sebuah sistem yang didasarkan pada “skema persepsi, apresiasi, dan tindakan” yang mengarahkan pilihan individu sebagai bagian dari kelompok (Bourdieu & Wacquant, 1992).

Maton (2014) mengartikan habitus “terstruktur” sebagai “habitus seseorang yang membantu untuk membentuk praktik saat ini dan masa depan, serta terdiri dari sistem disposisi yang menghasilkan persepsi, apresiasi, dan praktik”.

Dalam kacapandang yang sama, Calhoum (1995) berpendapat bahwa salah satu ciri utama habitus dalam masyarakat tradisional adalah bahwa habitus secara radikal terbatas pada pilihan yang tersedia bagi para pelaku rasional. Singkatnya, struktur dan habitus memberikan arahan kepada individu untuk berperilaku sebagai identitas kolektif yang baru.

Oleh karena itu, HTI dengan ideologi dan kapasitasnya sebagai sebuah gerakan berperilaku seperti sebuah struktur dan berfungsi sebagai habitus yang kokoh bagi para anggotanya sehingga mereka setia kepada HTI melalui halāqah, sebagai saluran indoktrinasi dan pembinaan ideologinya

Karenanya, kita menemukan sejumlah pengikut HTI sebagai anggota yang sangat patuh pada garis organisasi, terutama menyangkut ideologi yang diyakini dan diperjuangkan. Bagian berikut akan menggambarkan tentang keanggotaan HTI.

Loyalitas Anggota

HTI memiliki tiga tingkatan dalam struktur keanggotaannya.

Tingkat pertama, anggota HTI yang berperan sebagai aktivis, simpatisan atau pendukung, sering mengikuti halāqah dan dianggap sebagai daris (siswa). Beberapa dari mereka belum diakui sebagai anggota penuh, yang telah menerima doktrin HT. Mereka sering muncul sebagai simpatisan penting untuk mendukung kegiatan HTI, seperti demonstrasi, pawai khilafah, dll.

Tingkat kedua terdiri dari siswa atau aktivis, yang telah mengikuti halāqah HTI, serta memiliki pengetahuan mendalam tentang HTI dan telah bersumpah untuk menunjukkan loyalitas sebagai anggota penuh.

Baca Juga  Genealogi Kesantrian Humanis Gus Dur: Menasabkan Humanisme Pada Pesantren (2)

Level ketiga, aktivis HTI menempati posisi di organisasi partai. Singkatnya, melalui struktur ini, HTI menilai anggotanya untuk memastikan hanya mereka yang paling berkomitmen yang memimpin partai.

Struktur keanggotaan HTI menyerupai struktur keanggotaan tiga tingkat al-Ikhwān al-Muslimūn [Ikhwanul Muslimin/IM]:

Tingkat pertama adalah “asisten”, yang perlu menandatangani kartu keanggotaan dan terikat dengan tugas yang mesti dilakukan;

Tingkat kedua adalah anggota terkait yang perlu menunjukkan kepemilikan pengetahuan, menghadiri pertemuan secara teratur dan menunjukkan loyalitas;

Anggota tingkat ketiga adalah “aktif” dan berkomitmen penuh untuk organisasi. Penulis memahami bahwa tingkat ketiga dari struktur keanggotaan HTI dan struktur keanggotaan Ikhwan menekankan kesetiaan dan komitmen anggota terhadap organisasi masing-masing.

Karenanya, sifatnya yang bersifat kultus, struktur dan organisasi yang dijalankan secara rahasia, maka jumlah anggota HTI sulit dicapai. Di tanah air, tidak jelas berapa jumlah anggota, pendukung dan simpatisan HTI, oleh karena HTI tidak pernah mau membuka datanya ke publik. Namun, ditaksir jumlahnya kecil namun cukup militan (Fealy, 2010).

Untuk menjadi anggota penuh HTI, setiap “pemula” membutuhkan waktu beberapa tahun setelah menyelesaikan tahapan tabanni (menyerap gagasan Taqiyyudin An-Nabhani) melalui halāqah yang ketat.

Jika seorang anggota/calon telah dinyatakan siap menjadi Hizbiyyīn (anggota penuh HTI), maka ia akan dilantik melalui proses yang disebut dengan ‘qasam’. Qasam memiliki peran penting dalam menjaga loyalitas kader karena merupakan komitmen terhadap ajaran yang dituangkan oleh HT (Arifin, 2010; Rofiq, 2017).

Selain itu, Qasam telah mengikat kader HTI dengan kewajiban mematuhi pimpinan HT. Terakhir, Qasam juga akan mencegah anggota keluar dari HTI karena anggota tersebut bersumpah untuk bergabung dengan jajaran HTI.

Laiknya organisasi kultus atau gerakan rahasia, anggota yang hendak lari dari grup biasanya akan terus dikawal dan dikejar untuk tidak meninggalkan gerakan rahasia tersebut. Kisah dalam buku yang ditulis mantan anggota HT, Ed Husain, dalam bukunya The Islamist (2007) menjelaskan kisah yang dramatis bagaimana ia keluar dari grup otoriter tersebut.

Baca Juga  Urutan Rukun Islam, Perlukah Dipertanyakan?

Dalam buku ini, Husain berpendapat bahwa banyak pemuda Inggris yang terpikat oleh keberanian HT dan melawan imperialisme Barat dengan memperjuangkan keadilan di dunia Muslim yang termarjinalisasi seperti di Bosnia dan Palestina.

Aktivis dan aktivitas HT bekerja bersemangat yang meliputi pembagian leaflet, poster, membuat serial debat hingga demonstrasi bersifat provokatif dan memikat dalam pendekatannya.

Akibatnya, banyak anak muda yang tertarik dengan ideologi HT, banyak dari mereka adalah anak-anak pendatang dari Asia Selatan. Demikian halnya yang terjadi di Indonesia, termasuk di Papua.

Namun, ketika Ed Husain sadar akan kebobrokan HT, dia akhirnya mesti melakukan perjalanan yangmelingkar dan tidak mudah untuk keluar dari HT dan menuliskan kisahnya tersebut (sila baca bukunya dalam berbahasa Indonesia). Pun, kisah Pankhurst mantan anggota HT, Ainur Rofiq Al Amin, Ayik Hermansyah, dll, menawarkan pembelajaran bagaimana perjalanan sebagai anggota HTI dan keluar total serta melawan HTI adalah tidak mudah.

Malangnya, teman saya dua orang mesti menyingkir ke luar negeri supaya tidak terdeteksi jejak keberadaannya. Sementara seorang yang berhasil keluar di Papua tampaknya lebih beruntung karena dia sangat kritis kepada HTI sehingga tidak lagi didekati kelompok HTI.

Namun, sebagian besar yang sudah mengalami “cuci otak” akan patuh seperti kerbau dicocot hidungnya, menampilkan kepatuhan buta, sehingga seorang doktor atau profesor pun akan tampak kelihatan bodoh karena sudah kehilangan sikap kritis dan daya nalar intelektual. [MZ]

Ridwan Al-Makassary Pegiat Perdamaian Indonesia, yang pernah mengikuti “Study of the United States Institute on Pluralism and Public Presence” di University of California Santa Barbara (UCSB) USA dan Co-Founder Lembaga Perdamaian Indonesia (LPI).