Ridwan Al-Makassary Pegiat Perdamaian Indonesia, yang pernah mengikuti “Study of the United States Institute on Pluralism and Public Presence” di University of California Santa Barbara (UCSB) USA dan Co-Founder Lembaga Perdamaian Indonesia (LPI).

Nyanyian Darah dan Senapan di Papua: Refleksi Hari Perdamaian Internasional 2020

4 min read

Menjelang detik-detik perayaan hari perdamaian Internasional 21 September 2020, Papua bersenandung darah dan senapan. Pada 17 September 2020, seorang ojek pendatang meregang nyawa di tangan Kelompok Kriminal Separatis Bersenjata (KKSB). Selang dua hari berikutnya, seorang gembala (pendeta), Yeremia Zanambani, ditemukan telah meninggal dunia di Distrik Hitadipa, Kabupaten Intan Jaya, Papua.

Wafatnya mereka ini, tak pelak, menambah daftar panjang gugurnya jiwa-jiwa suci dalam sejarah konflik politik yang berlarut-larut (a protracted conflict) di Papua. Lantas siapa yang menjadi “raja tega” menghabisi pendeta Yeremia, yang semasa hidupnya melakukan pelayanan dan pengabdian di Intan Jaya. Beliau mantan Wakil Ketua Sinode Gereja Kemah Injil Indonesia (GKII) Klasis Hitadipa, Intan Jaya. Juga, beliau penterjemah Alkitab dari Bahasa Indonesia ke Bahasa Moni.

Lazimnya di sebuah wilayah konflik, di mana pemberitaan selalu diframing sesuai kepentingan ideologis dari agency yang memberitakannya untuk memenangkan opini publik. Dalam hal ini, pemberitaan tentang dalang pembunuhan pendeta tersebut berbuah kontroversi, oleh karena pihak pemerintah Indonesia, melalui TNI, menyatakan KKSB sebagai dalang dibalik pembunuhan pendeta tersebut. Sementara para nasionalis Papua merdeka, melalui postingan di media sosial dan beberapa tabloid pendukungnya menyatakan pihak TNI yang telah melakukan penembakan tersebut.

Entry point di atas menjadi latar bagi penulis untuk memproblematisasi Papua yang acap bergejolak dan membuat slogan Papua Tanah Damai yang didengung-dengungkan menjadi tanda tanya besar atau pepesan kosong. Penulis berargumen bahwa pembunuhan pendeta Yeremia dan warga sipil di Intan Jaya Papua dilakukan oleh pihak yang tidak menghendaki keamanan yang stabil dan adanya perdamaian di tanah Papua, dan karenanya perlu pendekatan nir-kekerasan dan dialog perdamaian untuk solusinya.

Dalam mendukung argumen di atas, tulisan ini akan mengungkap beberapa hal. Pertama, ia menjelaskan secara singkat hari perdamaian internasional. Kedua, mendeskripsikan kontroversi penembakan Pendeta Yeremia dan warga sipil di Intan jaya, Papua. Ketiga, memahami konflik dan perdamaian dalam konteks Papua.

Hari Perdamaian Internasional

Hari perdamaian internasional (international peace day) didedkasikan demi perdamaian dunia dan secara khusus untuk mengakhiri perang dan kekerasan. Pertama kali ia diperingati pada 21 September 1982 di banyak negara baik oleh perorangan, kelompok dan masyarakat internasional. Adalah Majelis Umum PBB melalui Resolusi Nomor 55/282 yang menetapkan tanggal 21 September sebagai hari perdamaian internasional dengan Resolusi Nomor 55/282 pada tahun 1991.

Baca Juga  Mengenal Wali Jadzab: Sosok yang Mabuk Tuhan

Singkatnya, hari perdamaian dimaksudkan untuk mengingatkan semua orang berkomitmen pada perdamaian di atas semua perbedaan dan untuk berkontribusi membangun budaya perdamaian. Mantan Direktur Jenderal Unesco, Irina Bokova, menyatakan hari perdamaian internasional adalah untuk merayakan kekuatan solidaritas global demi membangun dunia yang damai dan berkenajutan.

Sementara tema hari perdamaian PBB tahun 2020 adalah “Membentuk Kedamaian Bersama” dengan dasar bahwa tahun ini penting untuk memerangi perubahan iklim sebagai cara melindungi dan mempromosikan perdamaian di seluruh dunia, dan juga pentingnya berjuang mengalahkan Covid-19.

Sebagaian dari dunia global, Indonesia tak luput merayakannya. Berbagai kegiatan dilakukan termasuk seminar daring yang diprakarsai NGO perdamaian di tanah air. Misalnya, Lembaga Perdamaian Indonesia (LPI), yang saya dirikan bersama beberapa alumni Mindanao Peacebuilding Institute (MPI), menyelenggarakan seminar daring dengan menandu tema “Pembangunan Perdamaian Indonesia dalam Masa Pandemi Covid-19”, dengan menampilkan peacebuilder, Ichsan Malik, dan Elga Sarapung.

Kontroversi Mengenai Dalang Pembunuhan

Hari ini warga Indonesia, termasuk yang di Papua, dipusingkan dengan suguhan dua narasi yang bertolak belakang tentang dalang pembunuhan pendeta Yeremia. Tetapi yang lebih mengkhawatirkan teror yang terjadi. Pihak TNI mengklaim pembunuhan tersebut ulah KKSB yang bertujuan menebar terror terkait dengan adanya agenda Sidang Umum Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), pada 22-29 September 2020 mendatang.

Kepala Penerangan Komando Gabungan Wilayah Pertahanan III, Kolonel Czi Gusti Nyoman Suriastawa, menyatakan bahwa pembunuhan Gembala Yeremia dilakukan oleh anngota KKSB. Ia menyampaikan bahwa ”Keganasan gerombolan separatis teroris Papua berlanjut di Distrik Hitadipa. Mereka membunuh Pendeta Yeremia Zanambani berasal dari Suku Moni, Kabupaten Intan Jaya”. Meskipun Kolonel Gusti tidak merinci kondisi terakhir korban saat ditemukan telah meninggal dunia.

Tampaknya pernyataan pihak TNI cukup beralasan, lantaran Juru Bicara Organisasi Papua Merdeka (OPM), Sebby Sambom, mengaku pihaknya bertanggung jawab atas sejumlah penembakan yang terjadi sepekan terakhir di Kabupaten Intan Jaya. Sebby menambahkan, “Ya, jika ada kabar baku tembak dan anggota TNI tertembak maka Manajemen Markas Pusat Komnas TPNPB-OPM di bawah pimpinan Jenderal Goliath Tabuni dan Komandan Operasi Umum Mayjen Lekagak Telenggen bertanggung jawab”, kata Sebby dalam keterangan resminya, Minggu 20 September 2020 siang.

Baca Juga  Ilmu Pengetahuan Harus Didasarkan Pada Etika dan Moral

Sebby melanjutkan, aksi penembakan yang merenggut nyawa Pratu Dwi Akbar Utomo anggota Satgas Apter, dan anggota Babinsa bernama Serka Sahlan serta tukang ojek bernama Badawi 59 tahun, dikoordinir oleh Yondinus Kogeya Cs. Sementara, penanggung jawab aksi tak lain adalah Sabinus Waker selaku Komandan Kodap VIII TPN-OPM wilayah Intan Jaya. Namun, pihak nasionalis Papua membantah klaim tersebut KKSB dan para barisan simpatisannya menebar propaganda di media sosial, yang menyudutkan TNI dan polisi.

Mereka menuding aparat keamanan Indonesia yang melakukan pembunuhan terhadap Pdt. Yeremia. Berbagai media sosial pendukung dan simpatisan Papua memposting bahwa TNI yang melakukan pembunuhan. Juga, media online seperti Suarapapua dan Tabloid Jubi menyuarakan hal yang sama.

Dalam memandang pemberitaan kasus kekerasan di Papua, penulis berpandangan jangan mudah percaya karena media massa di tanah air, terutama media sosial di Papua mencoba berkompetisi menampilkan berita yang sesuai framing dan mendukung kepentingannya.

Singkatnya, media mengkodifikasi berita sesuai tujuan dan kepentingannya, sehingga publik tidak perlu terburu-buruh menghakimi dan mudah mempercayai. Dalam hal ini, memang, tidak mudah menjawab secara tegas apakah benar atau tidak ada penyekapan tanpa suatu laporan dari lapangan yang benar-benar terpercaya.

Lebih jauh, adalah tidak mudah mempercayai berita-berita dari pendukung atau media kedua belah pihak, yang teguh memperjuangkan kepentingannya. Penulis berpikir sejak lama telah dan sedang terjadi kontradiksi dua versi “kebenaran” yang selalu berhadap-hadapan, dan juga generalisasi yang distortif. Ibarat tesis dan antitesis dari kedua belah pihak, sebagai satu dialektika yang tak berkesudahan.

Memahami Konflik dan Perdamaian

Sejatinya, ada empat jenis konflik kekerasan secara umum di negara manapun, khususnya yang sedang berlangsung di Papua.

Pertama, kekerasan grup bersenjata. Biasanya ini dilakukan oleh gerakan separatis, yang menuntut pemisahan diri dari negara yang berdaulat.

Kedua, kekerasan negara, sebagai imbas dari kekerasan pertama. Misalnya, penyiksaan dan intimidasi kepada simpatisan atau keluarga korban.

Baca Juga  Larangan Menyebarkan Ujaran Kebencian Menurut Alquran

Ketiga, kekerasan struktural, kekerasan yang timbul akibat kebijakan negara yang menindas rakyat. Sering kita dengar istilah, anak ayam mati di lumbung, untuk menggambarkan deprivasi relatif yang dialami masyarakat Papua yang terpinggirkan.

Keempat, Kekerasan komunal atau kekerasan antar warga berbasis etnik dan agama.

Terdapat satu hipotesis dalam memahami konflik dan pembangunan perdamaian (peacebuilding) secara umum, termasuk di Papua. Menurut Brodeur, untuk memahami konflik, hipotesisnya adalah, “Semakin besar jumlah identitas yang tereksklusi (tidak tersertakan) dan semakin besar akses pada sebuah jaringan kepahitan yang terbagi bersama, maka semakin besar kesempatan untuk alienasi, humiliasi, radikalisasi dan kekerasan”.

Sebaliknya, hipotesis untuk memahami pembangunan perdamaian (peacebuilding) adalah “Semakin besar jumlah identitas yang terintegrasi, semakin besar akses pada sebuah jaringan nilai yang dipertukarkan, maka semakin besar kesempatan bagi keterlibatan, kasih sayang, cinta kreatif yang penuh makna”.

Poinnya adalah perlunya penghargaan, pengakuan dan perayaan atas kepelbagaian. Di Papua, masing-masing pihak membangun tembok pemisah dengan saling tdak menyapa dengan menggunakan kekerasan tinimbang bisa berdialog mencari penyelesaian. Pendekatan yang dipilih, akhirnya, adalah “senandung darah dan senapan” sehingga berapa banyak air mata yang memerlukan tangisan dan jatuhnya jiwa-jiwa suci.

Konflik kekerasan yang berlarut-larut berdampak negatif pada human security individu, rumah tangga, maupun komunitas, yang merendahkan martabat dan harga diri manusia, bahkan ancaman pada fisik hingga hilangnya nyawa. Selain itu, posisi ekonomi akan terdampak dengan hilangnya aset dan terbatasnya akses pada barang dan jasa, munculnya gangguan keamanan, dan hilangnya mata pencaharian.

Sebagai tambahan, konflik kekerasan mengakibatkan kerusakan infrastruktur, hancurnya pelayanan sosial, dan turunnya investasi swasta dan fasilitas publik. Juga, diperparah oleh penghancuran jaringan sosial dan mekanisme perlindungan sosial tradisional, oleh karena pertempuran, migrasi/pengungsi, kematian dan hilangnya kepercayaan antara individu.

Pungkasannya, pihak yang bertikai mesti menahan diri untuk tidak bersuka cita “menyanyikan darah dan senapan”, namun turut mendorong dialog perdamaian untuk menjelmakan Papua Tanah Damai dalam wajah kenyataan. Selamat Hari Perdamaian Internasional 2020.

Editor: MZ

Ridwan Al-Makassary Pegiat Perdamaian Indonesia, yang pernah mengikuti “Study of the United States Institute on Pluralism and Public Presence” di University of California Santa Barbara (UCSB) USA dan Co-Founder Lembaga Perdamaian Indonesia (LPI).