Ridwan Al-Makassary Pegiat Perdamaian Indonesia, yang pernah mengikuti “Study of the United States Institute on Pluralism and Public Presence” di University of California Santa Barbara (UCSB) USA dan Co-Founder Lembaga Perdamaian Indonesia (LPI).

Panetrasi Islam Radikal di Masjid Perkantoran di Indonesia: Catatan Tambahan untuk Menteri Agama

3 min read

Source: cidiss.co

Masjid, rumah suci umat Islam, kembali menjadi “buah bibir” dan bahan diskusi yang kontraversial di tubuh masyarakat. “Pemantik diskusi” adalah Menteri Agama, Fachrul Razi, yang telah menguraikan strategi propaganda senyap dari kaum Muslim radikal.

Pada Rabu, 2 September 2020, dalam diskusi daring peluncuran aplikasi “ASN No Radikal”, yang tayang di youtube Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Pak Menag menyatakan bahwa secara umum masjid di lingkungan kantor pemerintah telah terpapar radikalisme melalui anak good looking (tampan/menawan), di mana modus operandinya anak tampan, hafiz (penghapal Alquran) masuk ke masjid terlibat dan aktif membantu di sana, selanjutnya dipercaya pengurus masjid dan akhirnya ikut menentukan kebijakan mengundang khatib.

Akhirnya, takmir hanya mengundang khatib yang sealiran dan sekubu. Pak Menag mengakui presentasinya ini untuk internal saja. Namun, pernyataan ini tak ayal mendapat sejumlah kecaman dari sejumlah pihak, termasuk ada anggota DPR RI yang meragukan keislaman sang Menag, bahkan konten yang disampaikan sang menteri menjadi gunjingan di berbagai grup Whatsapp.

Entry point di atas ini memancing saya untuk urun rembug mengenai bagaimana memproblematisasi panetrasi Islam radikal di masjid milik pemerintah dari sebuah perspektif yang lebih luas.

Pada tulisan ini, saya ingin menyebut sejumlah riset tentang masjid yang telah dilakukan, termasuk riset personal saya tentang “Neo-Fundamentalisme Islam di Masjid Perkantoran Jakarta, yang menjadi bahan utama tulisan ini.

Secara umum, terdapat riset-riset yang telah dilakukan tentang melacak benih-benih Islam radikal di masjid. Salah satu riset pionir di bidang itu adalah riset yang saya koordinir ketika masih bergiat sebagai peneliti di CSRC UIN Syarif Hidayatullah Jakarta akhir 2000-an tentang pemetaan masjid di Jakarta dengan metode survei, dan juga masjid di Solo dengan metode kualitatif yang diterbitkan menjadi buku “Benih-Benih Islam Radikal di Masjid” (CSRC UIN Syarif Hidayatullah Jakarta).

Baca Juga  Jangan Panggil Barbar (1)

Saya juga mengkordinir riset tentang masjid dan pembangunan perdamaian dengan tesis bahwa sebagain masjid di wilayah konflik tidak menjadi sumber perdamaian. Juga, riset master saya di Thailand Selatan tentang “Masjid Pattani di tengah Konflik”.

Pada tahun 2018, P3M merilis risetnya bahwa sekitar 41 masjid terpapar paham radikal dengan kadar berbeda-beda. Dari dua riset-riset terdahulu itu, strategi panetrasi yang disampaikan Pak Menag hanyalah salah satu yang acap terjadi di sejumlah masjid perkantoran.

Di akhir tahun 2000-an, saya pernah mendapatkan satu grand riset dari sebuah organisasi Bangkok untuk riset tentang “Radikalisme Islam di Masjid Perkantoran di Jakarta”. Riset tersebut telah diterbitkan di Bangkok dalam bahasa Inggris. Saya mencoba menyarikan hal-hal yang terkait dengan panetrasi Islam radikal di masjid perkantoran.

Berangkat dari temuan-temuan awal di buku “Benih-Benih Islam Radikal di masjid” yang tidak memberikan penjelasan yang memadai tentang radikalisme Islam di masjid perkantoran, dan juga buku Ilusi Negara Islam, yang diedit Abdurrahman Wahid, yang juga mengulas panetrasi Islam radikal di masjid, saya telah melakukan turla di sejumlah masjid perkatoran di Jakarta.

Saya telah berdiskusi dengan sejumlah takmir (Dewan Kemakmuran Masjid, DKM) dan juga mengikuti pengajian yang diadakan serta mengikuti khutbah Jumat beberapa minggu di tempat yang sama.

Saya berkesimpulan bahwa untuk beberapa derajat masjid perkantoran telah menjadi kendaraan untuk mempropagandakan Islam radikal. Radikal, yang penulis maksudkan di sini adalah ajaran Islam yang dipusatkan untuk pengubahan bentuk negara ke arah negara Islam dan khilafah serta membangun demarkasi antara golongan Muslim yang pro-ideologi radikal dan yang menolaknya.

Awalnya sejumlah masjid perkantoran dididirikan dengan maksud yang mulya untuk membantu Jemaah Muslim agar tidak kesulitan beribadah, terutama untuk menunaikan Jumat agar tidak pergi ke tempat yang jauh. Namun, sayangnya pengajaran keIslaman di masjid-masjid tersebut tidak semuanya berhaluan moderat.

Baca Juga  Psikologi dan Islam, Apakah Bertentangan?

Lebih jauh riset saya menemukan bahwa latar belakang sejumlah takmir masjid yang mengelola sejumlah masjid perkantoran adalah mereka yang berasal dari mahasiswa umum, dengan latar belakang non-pesantren, di mana sejak mereka mahasiswa lebih akrab dengan ajaran-ajaran keislaman yang dikembangkan oleh aktivis Jemaah Tarbiyah, termasuk KAMMI sebagai anak ideologi Ikhwanul Muslimin dan Hizbut Tahrir Indonesia.

Mereka inilah setelah menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) yang menjadi takmir yang turut mempengaruhi sistem pengajaran keislaman di masjid perkantoran. Selain itu, sejumlah pengajian dan halāqah yang dilakukan diisi oleh jaringan mereka yang umumnya berafiliasi dengan gerakan-gerakan Islam transnasional, termasuk anasir HTI.

Konten pengajian, aktivitas Ramadhan dan khutbah Jumat lebih banyak mewakili arus pemikiran ideologi Islam radikal. Dalam observasi dan wawancara dengan takmir serta khatib yang penulis wawancarai tampaknya sebagian mereka sudah terpapar pemikiran radikal, di mana sebagian mereka setuju bahwa bentuk pemerintahan negara Islam adalah yang terbaik, demokrasi tidak sesuai dengan Islam, jihad dengan perang serta menolak kepempinan perempuan.

Dari para takmir inilah kemudian habituasi pengajaran Islam dikembangkan, sehingga tidak mengherankan sejumlah ASN dapat terpapar ide-ide radikal.

Pertanyaan sekarang bagaimana keadaan masjid perkantoran di tanah air? Kalau dari riset P3M NU di atas, tampaknya hasilnya masih memperkuat riset saya sebelumnya. Saya ingin menambahkan dari temuan awal saya ketika melakukan riset Islam transnasional di Papua, berdasarkan sejumlah wawancara dengan informan dan hasil observasi, saya beragumen bahwa masjid perkantoran, termasuk masjid secara umum, masih menjadi kendaraan untuk penyebaran paham Islam radikal.

Sejumlah masjid di Papua acap mengunakan jasa kelompok HTI dan Salafi Wahhabi untuk mengisi pengajian dan khutbah dengan mengimbuhkan ide-ide khilafah atau kebencian terhadap negara. Satu masjid milik Polri di kota Jayapura pernah disusupi oleh kelompok HTI, dan juga masjid di BUMN dan masjid lain di Jayapura menjadi arena dakwah Islam radikal.

Baca Juga  Aspek Medis dan Hukum Kesehatan Pemasangan Infus Di Rumah Saat Pendemi (1)

Dengan kondisi ini tidak mengherankan, sejumlah ASN, guru, mahasiswa dan pegawai BUMN di kota Jayapura terpapar paham Islam radikal ala HTI. Sebagai tambahan, para khatib HTI selalu disodorkan untuk berkhutbah tanpa dibayar, dan jika satu masjid sudah dipengaruhi maka sudah tertutup pintu bagi khatib moderat dari kalangan NU dan Muhammadiyah.

Karenanya, untuk membentengi umat dari paparan Islam radikal terutama di masjid, DKM atau takmir juga mesti diduduki oleh kelompk Islam moderat. Selain itu, perlu ketelitian dalam mengundang khatib atau penceramah yang benar-benar dakwahnya mendamaikan dan menyejukkan umat.

Murungnya, sampai detik ini tampaknya khatib-khatib dari kalangan Islam radikal masih merajalela menguasai mimbar-mimbar di masjid-masjid di senatero negeri, sehingga wacana sertifikasi dai dari negara, yang ditentang MUI, tampaknya cukup relevan.

Hal ini perlu dikaji secara serius. Namun, hal ini tidak didiskusikan lebih jauh di sini karena ruang yang terbatas. Pungkasannya, ormas-ormas Islam moderat dan Kemenag mesti bersatu padu untuk membentengi umat dari panetrasi Islam radikal melalui penyusupan sebagai takmir dan juga khatib-khatibnya yang lantang menyuarakn kebencian terhadap pemerintah dan pendirian negara Islam/khilafah.

Editor: MZ

Ridwan Al-Makassary Pegiat Perdamaian Indonesia, yang pernah mengikuti “Study of the United States Institute on Pluralism and Public Presence” di University of California Santa Barbara (UCSB) USA dan Co-Founder Lembaga Perdamaian Indonesia (LPI).