Dalam kajian keislaman sering terdengar istilah Syariat – Tarekat – Hakikat. Trilogi itu sering dikaitkan dengan makna di balik bagian atas masjid kuno yang berbentuk atap tumpuk atau yang dalam banyak tulisan disebut atap tumpang/atap bertingkat/piramida tumpuk tiga atau antara dua sampai lima tumpuk. Bentuk kubah limas semacam ini ditemukan tidak hanya di Indonesia apalagi Jawa, tapi di seantero Nusantara (Asia Tenggara).
Di Malaysia, masjid atap tumpuk nampak pada Masjid Kampung Laut Kelantan yang berdiri pada awal abad delapan belas. Masjid ini didesain mirip Masjid Demak Jawa Tengah. Di Indonesia ia tidak hanya ada di Jawa seperti pada masjid Ampel Surabaya (1421) dan masjid Demak (1474]), tapi di Maluku pada masjid Wapauwe (1414), di Sulawesi Selatan pada Masjid Tua Palopo (1604) dan di Sumatera Barat pada Masjid Tuo Kau Jao, (1599) juga demikian.
Ada yang memaknai tiga tumpuk pada atap masjid dengan Islam, Iman dan Ihsan, dan ada yang memaknainya dengan Syariat, Tarekat dan Hakikat. Sebuah tingkatan keberagamaan yang diajarkan dalam tasawuf Islam. Hal ini sekaligus menunjukkan kuatnya pengaruh tasawuf dalam Islam Nusantara.
Dalam dunia tasawuf terdapat ajaran tentang Maqāmāt, yaitu tahapan-tahapan dalam menuju kesempurnaan iman. Berawal dari tahap syariat meningkat ke tarekat lalu ke hakikat.
Desain masjid Joglo dengan atap berlapis juga mengandung makna akulturasi budaya antara Islam dan budaya lokal warisan Hindu-Buddha. Atap segitiga berlapis adalah khas bangunan pura Hindu Jawa. Akulturasi budaya jamak terjadi dalam sejarah peradaban manusia dan merupakan kelaziman.
Terkait ajaran tasawuf yang tersebar di kalangan unat Islam di seantero jagat, Aghamir Fatimah al-Zahra dari Universitas Oran Algeria (Aljazair) dalam tesisnya yang berjudul “al-Sharī‘ah wa al-Tarīqah wa al-Haqīqah fī Fikr Ibn ‘Arabī” meneliti tiga terma penting itu.
Menurutnya, untuk memahaminya perlu mengaitkan secara logis pelbagai pandangan kaum sufi yang banyak mengandalkan perasaan dan batin (esoterisme) dengan pandangan filsafat yang rasional. Hal ini lantaran bahwa Tarekat adalah sebuah proses pencarian Hakikat yang dilakukan oleh kaum sufi yang mirip dengan perjuangan filsuf dalam mencari hakikat.
Kaum Sufi berpandangan bahwa akal manusia tidaklah mampu mengenal dzat Allah. Yang diperlukan dari akal adalah mempersiapkan diri untuk menerima ilmu Allah atau makrifat. Perburuan hakikat menjadikan Abdurrahman Badawi berpandangan bahwa tasawuf adalah bagian paling kaya dalam Islam yang fokus mengkaji kerohanian.
Tasawuf adalah hasil dari pendalaman nilai-nilai akidah, aspek lahiriah syariat dan refleksi kehidupan manusia. Rahasia-rahasia yang ada di balik simbol ritual dan syiar agama coba diungkap hingga pada akhirnya aspek rohani menjadi lebih mengemuka daripada aspek lahiriyahnya.
Tasawuf bekerja dengan akal dan mata hati dan terus berproses tanpa henti dalam mengejar hakikat atau makna sejati. Hal ini ditempuh dengan menjalankan syariat yang merupakan aspek lahiriah, menempuh jalan tertentu atau tarekat untuk mendapatkan nilai rohani dari amaliah ibadah dan pengamalan syariat.
Syariat dan Hakikat adalah perkara fundamental dalam tasawuf yang hanya bisa dicapai melalui jalan usaha keras mendekatkan diri kepada Allah. Trilogi syariat-tarekat-hakikat adalah bagian-bagian yang tidak terpisahkan dalam tasawuf.
Ibn ‘Arabī (w. 1240M) tokoh dan figur tertinggi tasawuf falsafi berpandangan bahwa syariat adalah ibarat kulit atau tampilan luarnya sementara hakikat adalah isinya. Syariat secara etimologis berarti tempat di tepi laut yang dilewati oleh hewan atau jalan yang dilewati. Sedangkan di bidang agama ia berarti sesuatu yang diajarkan dan diperintahkan oleh Allah. Seperti salat, puasa, zakat dan haji. Dalam Alquran surah al-Jātsiyah [45]: 18 disebutkan:
ثُمَّ جَعَلۡنَـٰكَ عَلَىٰ شَرِیعَةࣲ مِّنَ ٱلۡأَمۡرِ فَٱتَّبِعۡهَا وَلَا تَتَّبِعۡ أَهۡوَاۤءَ ٱلَّذِینَ لَا یَعۡلَمُونَ
“Kemudian Kami jadikan engkau (Muhammad) mengikuti syariat (peraturan) dari agama itu, maka ikutilah (syariat itu) dan janganlah engkau ikuti keinginan orang-orang yang tidak mengetahui.”
Menurut pandangan kaum sufi, syariat tidak berhenti pada sebatas amalan fisik (al–jawārih) tapi ia harus sampai pada tujuan syariat. Seperti Salat ia tidak sebatas perbuatan yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam. Ia juga harus khusuk di mana hati orang yang salat benar-benar hadir di hadapan Allah. Inilah hakikat salat.
Syariat bagi kaum sufi menggabungkan 12 sifat keimanan: 1. Syahadat: fitrah atau posisi awal manusia, 2. Salat: agama (millah), 3. Zakat: kesucian (thahārah), 4. Puasa: perisai (junnah), 5. Haji: kesempurnaan, 6. Jihad: kemenangan, 7. Amar makruf nahi munkar: perlindungan (wiqāyah), 8. Al-jamā’ah: persatuan (ulfah), 9. Istikamah: penjagaan (‘ishmah), 10. Makan halal: ketaatan (wara’), 11 dan 12. Cinta dan benci karena Allah: ikatan (watsīqah).
Rafiq al-‘Ajam dalam Ensiklopedi Istilah-istilah Tasawwuf Islam yang dikutip oleh Aghari menyebutkan bahwa bagi kaum sufi, ibadah jika tidak sampai pada tujuan inti dari ibadah (hakikat), ibadahnya tidak diterima.
Sebaliknya, hakikat jika tidak melalui jalan ibadat (syariat) hakikat tidak tercapai. Syariat datang untuk menjadi kewajiban manusia, hakikat memberitahukan definisi kebenaran (Haqq). Syariat mengajak beribadah kepada Allah secara fisik (qiyām), hakikat mengantar menyaksikan-Nya (secara rohani).
Memperjelas sisi jasmani dan rohani ibadah, Abu ‘Ali al-Daqqaq mengatakan bahwa dalam surah al-Fātihah: “Iyyāka na’budu” adalah aspek syariat dan “iyyāka nasta’īn” adalah aspek hakikat.
Sedangkan tarekat atau tarīqah (jamak: tarā’iq) secara bahasa adalah garis pada sesuatu (al-khatt fī al-syai’) atau sesuatu yang panjang seperti (batang) kurma yang tinggi atau tangkai payung. Tarekat juga berarti kebiasaan. Allah berfirman dalam surah al-Jinn: 16:
وَأَلَّوِ ٱسۡتَقَـٰمُوا۟ عَلَى ٱلطَّرِیقَةِ لَأَسۡقَیۡنَـٰهُم مَّاۤءً غَدَقࣰا
“Dan sekiranya mereka tetap berjalan lurus di atas jalan itu (agama Islam), niscaya Kami akan mencurahkan kepada mereka air yang cukup”. Juga berarti Contoh yang baik. Dalam surah Tāha: 63:
قَالُوۤا۟ إِنۡ هَـٰذَ ٰنِ لَسَـٰحِرَ ٰنِ یُرِیدَانِ أَن یُخۡرِجَاكُم مِّنۡ أَرۡضِكُم بِسِحۡرِهِمَا وَیَذۡهَبَا بِطَرِیقَتِكُمُ ٱلۡمُثۡلَىٰ
“Mereka (para pesihir) berkata, “Sesungguhnya dua orang ini adalah pesihir yang hendak mengusirmu (Fir‘aun) dari negerimu dengan sihir mereka berdua, dan hendak melenyapkan adat kebiasaanmu yang utama”. Dalam tafsir yang lain, tariqah dalam ayat terakhir dimaknai orang-orang mulia dan menyebut tokoh masyarakat dengan tarīqat al-qawm.
Dalam pandangan tasawuf, tarekat berarti “Jalan khusus bagi kaum sufi yang sedang menempuh perjalanan menuju Allah. Seorang penempuh (sālik) atau pencari (murīd) adalah seorang musafir yang sedang menapaki jalan kehidupan.
Perjalanan setapak demi setapak yang mengantarkan pada derajat yang lebih tinggi (maqāmāt). Perjalanan menuju Allah adalah perjalanan hakiki dan rohani demi penyucian hati dan anggota tubuh dari akhlak dan perbuatan yang buruk.
Kaum sufi memilih kata tarīqah untuk menyebut kumpulan aturan dan prosedur yang ditetapkan oleh Syeikh (guru) agar dilaksanakan oleh muridnya.
Materi antara satu syekh dan yang lain berbeda-beda sehingga terdapat banyak tarekat dalam tasawuf yang tujuannya sama yaitu mengenal Allah dan fana dalam kecintaan-Nya. Tasawuf bukan teori kejiwaan, etika atau metafisika, tapi ia adalah jalan hidup dan pelatihan rohani (riyādlah) untuk tujuan kesempurnaan akhlak yang diserukan oleh Islam.
Ada empat ritual yang harus dilaksanakan agar mencapai derajat tertinggi. 1. Zikir dan amal shalih akan mendapat cahaya, 2. Tafakkur dan sabar akan mendaoat ilmu, 3. Fakir dan sabar akan mendapat lebih dari itu, 4. Cinta dan menjauhi dunia akan mengantarkannya sampai pada yang dicintai (Allah).
Yang melaksanakan keempatnya sampai derajat al-Siddiqūn al-Muhaqqiqūn, yang menjalankan ketiganya sampai derajat al–Awliyā’ al-Muqarrabūn, yang keduanya al–Syuhadā’ dan yang hanya melaksanakan satu hamba saleh.
Sedangkan hakikat mengutip dari Ibn Manzūr dalam Lisān al-‘Arab, adalah berasal pada kata Haqq atau sesuatu yang harus dijaga oleh manusia. Ia adalah yang sebenarnya dan berlawanan dengan majaz atau metafora yang berarti kiasan atau perumpamaan. Hakikat dari sesuatu adalah asal muasalnya atau klimaksnya (muntahā).
Dalam ilmu logika, kata Haqq berarti sesuatu yang diterima oleh rasio tanpa ada perselisihan. Sedangkan menurut ahli semantik, Haqq adalah yang sesuai dengan fakta. Sedangkan lawannya adalah batil.
Dalam ilmu tasawuf, hakikat adalah melihat Allah sebagai dzat yang menentukan hidayah dan kesesatan seseorang, yang mengangkat dan menjatuhkan seseorang, segala kebaikan dan keburukan, manfaat dan bahaya, iman dan kufur, taat dan maksiat dan kesemuanya adalah atas kehendak-Nya. Keyakinan akan Qadā’ (ketetapan) dan Qadar (pengaturan) Allah adalah Hakikat. Hakikat adalah posisi seorang hamba yang sampai pada Allah yang terus menyucikan diri (tanzīh).
Setiap Hakikat yang tidak dibarengi dengan syariat adalah Zandaqah. Hakikat mengembalikan sifat seseorang kepada Allah bahwa Allah adalah pelaku atas dirimu dan yang olehmu. Dalam Surah Hūd: 56, Allah berfirman:
إِنِّی تَوَكَّلۡتُ عَلَى ٱللَّهِ رَبِّی وَرَبِّكُمۚ مَّا مِن دَاۤبَّةٍ إِلَّا هُوَ ءَاخِذُۢ بِنَاصِیَتِهَاۤۚ إِنَّ رَبِّی عَلَىٰ صِرَ ٰطࣲ مُّسۡتَقِیمࣲ
“Sesungguhnya aku bertawakal kepada Allah Tuhanku dan Tuhanmu. Tidak satu pun makhluk bergerak yang bernyawa melainkan Dialah yang memegang ubun-ubunnya (menguasainya). Sungguh, Tuhanku di jalan yang lurus (adil)”.
Tiga tingkatan ini: Syariat, Tarekat dan Hakikat adalah tahapan mengenal Allah atau proses untuk menyaksikan Allah secara rohani di dunia atau yang dikenal dengan Makrifat.
Seseorang terkadang menggabungkan makrifat ke dalam tiga tahapan sehingga menjadi empat: Syariat, Tarekat, Hakikat, Makrifat. Referensi Arab menanyakan menyebut hanya tiga. Sedangkan makrifat adalah kata induk yang di bawah terkandung tiga kata yang menjadi bagian proses pencapaiannya.
Editor: MZ