Pageblug telah merenggut ribuan nyawa manusia di dunia. Menyurutkan roda perekonomian dunia. Kabar PHK di mana-mana. Kabar pengusaha jatuh miskin banyak. Kabar orang miskin makin miskin bejibun. Kabar kekerasan dalam rumah tangga juga meningkat.
Kabar ketidakjelasan pemerintah pun menguat, dan tentu saja, itu sudah sedari dulu. Di masa pageblug ini, rasanya suasana semakin mencekam dan kelam. Namun berbeda dengan seorang kakek tua yang berprofesi sebagai pendoa di kuburan.
Usianya sudah melebihi usia hidup kanjeng Rasul. Ia hidup sebatang kara setelah istrinya meninggal lima tahun lalu. Anak-anaknya tengah merantau nun jauh di sana. Mencoba berbagai peruntungan demi perekonomian dan kehidupan yang dinyatakan layak.
Hari-harinya adalah doa yang dilafalkan agar segera menyusul istrinya dan para tetangga yang sudah ia temani menuju perjalanan bertemu dengan-Nya.
Sudah puluhan tahun ia menjalani profesi ini. Memberikan doa-doa di penguburan orang-orang muslim. Tidak hanya di hari pertama. Tetapi berlanjut sampai hari ke empat puluh.
Mendengar berita duka dari para tetangga adalah kabar muram yang menerbitkan harapan dan rasa pahlawan. Doa-doa yang ia dapatkan di pondok pesantren adalah bekal menjalani profesi ini. Tentu, kefasihan melafalkan doa-doa berbahasa Arab adalah modal besar untuk meyakinkan orang-orang menggunakan jasanya.
Ia selalu bergegas ketika kabar muram datang di kampungnya. Ia siap meluncurkan doa-doa bagi yang telah berpulang sekaligus memberikan doa penguat bagi keluarga yang ditinggalkan.
Tak ada satu pun orang yang menolak didoakan. Mereka meminta didoakan secara khusus. Bahkan, yang belum meninggal pun sudah berwasiat padanya, jika mereka meninggal, mereka pun ingin ditemani dan didoakannya.
Lalu, si kakek tua itu menuliskan nama-nama yang berwasiat padanya. Ada banyak sekali nama di buku kusam yang ia gunakan untuk mencatat nama-nama mereka. Beberapa orang telah memberikan bayaran lebih dulu pada si kakek tua. Menujukkan betapa doa-doanya memang diharapkan.
Di kampungnya yang kini didaulat sebagai zona merah, kabar kematian datang setiap hari. Suara ambulance datang silih berganti bagai adzan yang berkumandang lima kali sehari. Takmir masjid menjadi lebih sibuk mengumumkan berita duka di pagi, siang, petang, dan malam hari. Sudah jangan ditanya lagi, presenter-presenter TV santer sekali mengabarkan berita duka.
Entah perasaan ganjil apa yang dirasakan oleh sang kakek. Perlukah berbahagia dengan pageblug ini? Kucuran rupiah menderas memenuhi sakunya. Namun, ah, bukan perasaan ganjil ini yang ingin ia rasakan. Perasaan kosong, gelap, dan kehilangan mendalam ketika ia mulai mencoret satu-satu nama yang ada di buku catatannya. Sang kakek hampir tidak pernah menyangka bahwa list nama yang panjang itu begitu cepat menyusut.
Komar, seorang juru adzan di kampungnya telah ia coret dari list-nya. Umar seorang pedagang sayur telah menyusul Komar. Lalu Yani, seorang perawat yang tidak bisa pulang ke rumah, hingga akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya di sebuah gedung karantina.
Ada Ending tukang sabung ayam yang selalu berkeliaran dari kampung satu ke kampung lainnya. Dan, Pak kades yang janjinya terlampau banyak untuk ditepati pun turut menyusul Komar. Pertanyaan yang selalu menggantung di benaknya adalah kapan giliran ia didoakan?
***
Di komplek pemakaman itu, ia menyaksikan prosesi pemakaman yang tidak biasa. Mobil putih yang terparkir di pintu gerbang komplek pemakaman, pengantar jenazah dengan atribut serba putih menutupi seluruh tubuhnya, yang tentu saja, belum pernah ia lihat sebelumnya. Ditambah iringan satu atau dua anggota keluarga yang hanya dapat menyaksikan dari jarak yang tidak dekat, serta doa-doa kilat yang mereka ucapkan.
Tak ada iringan panjang. Tak ada suara bising pendoa. Yang ada hanyalah isak tangis yang tertahan.
Setiap malam, ia menghampiri makam itu satu per satu. Di bawah temaram rembulan dan lampu sorot di pojok-pojok kompleks pemakaman, ia memulai mendoakan orang-orang mati. Sesekali, ia mengedar pandang ke seluruh penjuru. Sesekali bulu kuduknya berdiri seiring hempasan angin yang menggerakkan dedaunan. Namun, sang kakek telah piawai menghalau segala rasa yang muncul itu.
Berbaju hangat, bersarung dan berpeci serta masker kain yang ia dapatkan dari bantuan desa kini melekat di wajahnya ke mana pun ia pergi. Tak terkecuali saat prosesi mendoakan makam itu satu per satu. Kendati ingin segera menyusul istri dan sahabatnya, Komar, ia tetap patuh menggunakan masker.
Prosesi mendoakan itu bisa sampai larut malam. Bagaimana tidak, ia memberikan pelayanan prima kendati situasi sulit. Sungguh tetap professional. Ia menjalankan laku sebagai pendoa sesuai dengan request para kliennya.
“Saya ingin didoakan secara khusus, ya.” Itulah kalimat yang terngiang di telinganya. Orang-orang memang tidak ingin didoakan secara gerombolan. Barangkali, mereka takut doa si kakek tidak sampai atau takut berebut doa dengan yang lain. Dengan sabar, si kakek menurutinya satu per satu.
Jika ada yang terlewat belum didoakan, si arwah tak segan datang di mimpinya. Merajuk ingin didoakan segera. Begitu bangun, ia mengirimkan doa-doa pada si arwah. Lalu keesokan harinya, si kakek akan mendatangi makam si arwah pertama kali. Memohon maaf karena telah abai.
***
Di malam yang gerimis, ia berteduh di sebuah gubuk dekat pemakaman. Ia melihat pemakaman itu dikunjungi seorang pemuda. Pemuda itu berkunjung dari satu makam ke makam yang lain. Lalu pemuda itu, memulainya dengan mendatangi makam yang paling baru dan berpindah ke makam yang lain. Ia menetap di makam itu dalam durasi yang berbeda-beda. Terkadang semua makam ia hampiri. Tapi tak jarang, ia hanya menghampiri beberapa makam saja.
Pemuda yang menghampiri pemakaman itu selalu diiringi secercah cahaya di wajahnya. Sang kakek selalu melihat terang di wajah pemuda itu.
Ini sudah hari ketiga puluh kematian Komar. Pemuda itu terus berkunjung ke makamnya setiap hari di jam yang sama. Makam pak Kades baru ia kunjungi tiga kali saja. Lalu Yani, ia kunjungi selama lima belas hari. Makam Ending tak sekalipun dikunjunginya. Makam Umar ia kunjungi selama empat puluh hari.
Lalu, sang kakek pun memperhatikan, si pemuda itu selalu datang ke makam seorang seniman yang lagu-lagunya masih saja di putar di warung-warung kopi, di saluran radio dan televisi, di youtube, dan sering sekali dinyanyikan oleh anak-anak muda di kampungnya.
Sudah hampir setahun lalu seniman itu meninggal. Sementara makam seorang penceramah, yang isi ceramahnya tak disukai sang kakek, karena sering kali membuat telinga sakit dan berdarah, senasib dengan makam Ending.
Ah, apakah si pemuda itu adalah pendoa seperti si kakek? Tapi dari mana datangnya ia? Tak pernah sedikitpun terdengar ada pendoa muda dari kampung sebelah atau dari mana pun. Hanya si kakek lah satu-satunya orang yang berprofesi sebagai pendoa ulung di kampungnya. Rasa penasaran sang kakek membuncah.
Perlahan, di tengah gerimis yang membasahi tanah pekuburan dengan pasti, sang kakek menghampiri pemuda itu.
“Siapakah engkau pemuda? Kenalkah engkau dengan Komar, sohibku yang meninggal karena menghadiri pengajian di kampung sebelah?”
“Aku adalah doa-doa yang dituturkan oleh kerabat dan sohib Komar.” [AA]
Yogyakarta, 17 Juli 2020