Tulisan sederhana ini dipantik oleh sebuah jurnal akademik yang ditulis oleh Marcus Mietsner dan Burhanuddin Muhtadi bertajuk “The Myth of Pluralism: Nahdlatul Ulama and the Politics of Religious Tolerance in Indonesia” di Contemporary Southeast Asia Vol 42 No 1 (2020). Berdasarkan survei orisinil, penulisnya berargumen bahwa para pengikut Nahdlatul Ulama (NU) secara umum, seperti halnya populasi penduduk Muslim di Indonesia, adalah tidak toleran terhadap minoritas agama-agama, dan dalam beberapa kasus, bahkan lebih tidak toleran lagi. Ini terjadi akibat prioritas NU yang berkelanjutan mengenai pertarungannya dengan ormas Islam lainya (yang dipandang membahayakan kepentingannya) tinimbang memajukan kampanye toleransi substantif, yang dapat mengubah sikap politik-keagamaan konstituennnya.
Lebih jauh, kedua penulisnya menuturkan bahwa NU telah tampil sangat reaktif terhadap ormas Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Front Pembela Islam (FPI) dan Prabowo (sebagai calon Presiden 2019), yang dipandang mengancam kepentingannya. Namun, para pengikut NU tersebut tidak mencerminkan diri sebagai barisan yang pluralis. Pluralisme, bahkan, sebagaimana diklaim penulisnya, oleh NU telah digunakan hanya sebagai alat mobilisasi elektoral untuk meraih kekuasaan ketimbang idealita pembelaan norma-norma pluralis. Bahkan, sejak 1950-an afinitas NU dengan minoritas etnik dan agama, yang sama-sama merasa terancam oleh kelompok Islam modernis, lebih banyak sebagai fungsional, dan tidak benar-benar menampilkan sebuah komitmen tulus dan mendalam terhadap nilai-nilai pluralis.
Untuk memperkuat kesimpulan pluralisme NU sebagai mitos, mereka berdua menuturkan bahwa pengikut NU sebagai barisan yang intoleran dengan mengedepankan narasi keterlibatan NU dalam pembantaian PKI tahun 1960-an, dan juga dukungan Gus Dur terhadap Suharto di ujung tanduk kekuasaannya. Yang terkini, termasuk kampanye NU untuk pemenangan Jokowi pada pemilu 2019, yang memperkuat narasi NU sebagai tidak toleran tersebut. Meskipun penulisnya tidak menampik ada arus toleran di tubuh NU, namun, bagi mereka berdua, NU telah “merawat” pandangan anti toleransi sekitar satu abad, dan juga pola intoleransi dan illiberalisme dalam tubuh NU telah mengancam keberlangsungan masa depan Indonesia sebagai sebuah negara demokrasi.
Saya berpandangan bahwa argumen dan bukti-bukti yang diajukan kedua penulis telah mengatakan bahwa pluralisme di NU tampaknya hanyalah mitos. Juga, penulisnya tampaknya telah “meruntuhkan” label NU sebagai penjaga gawang pluralisme dan toleransi beragama, sebagaimana diungkapkan para pakar seperti Greg Barton, Robert Hefner dan Alfred Stepan, untuk menyebut beberapa, yang menilai NU telah memainkan satu peran signifikan dalam mendorong perkembangan Islam yang pluralis, toleran dan “civil” serta “tulang punggung sebuah masyarakat sipil yang toleran”.
Sebagai sebuah karya akademik, tentunya temuan-temuan dalam paper yang dikaji ini, meskipun mungkin tidak menyenangkan bagi para anggota dan pengikut NU, patut diapresiasi dan dikritisi secara ilmiah pula. Menurut hemat saya, setelah membaca 2 kali tulisan tersebut, ada beberapa hal yang perlu dijelaskan atau luput dari tulisan tersebut, dan sebagai sebuah akibat, ketidakjelasan tersebut telah membuat kesimpulan yang diambil penulisnya juga cenderung tendensius, berbahaya dan mungkin dapat menyesatkan.
Pertama, saya berpandangan bahwa definisi operasional pluralisme (dan toleransi beragama) tidak secara tepat dirumuskan dalam jurnal ini. Pluralisme, dalam tilikan saya, bahkan tidak dijelaskan seperti apa sama sekali di tulisan tersebut. Yang disinggung hanya “toleransi beragama” (religious tolerance) dengan parameter “pembangunan rumah ibadah dan melaksanakan ibadah di lingkungan ketetanggaan Muslim”, dan juga “tentang kepemimpinan non-Muslim”. Pluralisme, sejatinya, adalah sebuah istilah yang diperebutkan. Paling tidak, ada dua arus utama yang berlawanan, pluralisme sebagai celebrating diversity (merayakan keragaman) yang dianut para pejuang dialog antar iman dan tampaknya NU sebagai penjaga pluralism model ini, seperti saya juga yang lama berkecimpung dalam aktivitas lintas iman untuk perdamaian. Berikutnya, pluralisme sebagai sinkretisme agama, yang membawa pada kekufuran dan mendangkalkan akidah. Pluralisme seperti ini dipahami oleh para pihak yang mengharamkan pluralisme dan memberikan pelabelan buruk. Posisi penulis tidak ternyatakan secara jelas, meskipun secara implisit tampaknya jatuh pada pluralisme model pertama.
Peter Berger, misalnya, membagi pluralism ke dalam dua jenis, pluralisme teologis dan pluralisme pragmatik/operasional. Dengan mengunakan perspektif ini, masyarakat Indonesia umumnya jatuh dalam kategori kedua, yaitu pluralis pragmatik, di mana Muslim secara umum, termasuk dari kalangan NU dapat bekerja sama dengan minoritas beda agama dalam lapangan kemanusiaan. Namun, umumnya mereka belum bisa menerima pluralisme keTuhanan, di mana Muslim dapat menerima keberagaman jalan keselamatan. Untuk yang terakhir ini, jumlah pelakunya sangat minim.
Kedua, saya mempertanyakan tentang metode survei dan jenis pertanyaan survei yang digunakan. Metode survei, hemat saya, memiliki keterbatasan karena hanya memotret jawaban permukaan informan. Ini rentan untuk mengabaikan jawaban informan sesungguhnya berdasarkan perilaku, oleh karena yang dipotret hanya persepsi, yang bisa berbeda dengan sikap dan prilaku informan di lapangan. Pertanyaan survei yang dipilih pun tampaknya jatuh dalam kategori pluralisme teologis, jika menggunakan perspektif Berger di poin pertama. Sehingga, jawaban atas pertanyaan mengarah pada kategori tidak pluralis secara teologis dan anti toleran. Karenanya, menurut saya, hasil survei tidak meyakinkan dan bisa ditebak hasilnya. Jika menggunakan kategori pluralisme pragmatik, maka, mungkin cara membacanya akan berbeda dan Muslim, termasuk NU, terlihat lebih toleran. Juga, dilihat dari angkanya yang separuh lebih sedikit yang menunjukkan pengikut NU yang anti toleran. Anti toleran di sini tampaknya lebih pada pluralisme kategori teologis.
Ketiga, Saya kira penulis jurnal mengabaikan konteks dari peristiwa Pemilu 1950-an, kasus pembantaian PKI 1960-an dan Gus Dur yang membela Suharto diujung tanduk kekuasaannya. Penjelasan atas kasus-kasus ini tampaknya tidak terlalu mendalami mengapa perilaku NU yang terjadi seperti itu, apa yang menyebabkan NU menempuh jalan tersebut. Penulis melihat bahwa NU memilih jalan untuk kepentingan keselamatan bangsa, sehingga kesimpulan yang diajukan penulis bahwa hampir satu abad NU menunjukkan persepsi dan sikap intoleran menjadi meragukan.
Keempat, kontestasi dengan kelompok-kelompok Islam transnasional, terutama HTI, menurut saya tidak bisa dikatakan hanya semata-mata untuk kepentingan untuk menjaga aset terutama masjidnya dan anggotanya biar tidak hijrah ke HTI, namun respon NU tersebut mesti dimaknai sebagai manifestasi dari militansi moderatisme NU yang bertujuan menjaga keberlangsungan negara Indonesia dengan mempertahankan Pancasila dari pihak-pihak yang akan menggantikannya dengan ideologi Islam. Perkara kemudian ada materi atau resources yang diterima dari NU lebih pada turunan bukan sebagai tujuan NU tampil sebagai penjaga gawang pluralism.
Kelima, penulis tampaknya mengabaikan fakta sosial toleransi pengikut NU di beberapa daerah. Di Papua, misalnya pemuda-pemudi NU menjaga gereja pada hari Natal dan ikut bertungkus lumus dalam pembangunan gereja dan pada saat bencana. Fakta ini bukan berdasar persepsi, tetapi mencerminkan perilaku toleransi yang hidup di tanah air. Penulis berasumsi bahwa survei yang dijadikan dasar pijakan analisis data hanya memotret persepsi pengikut NU yang rawan tidak bisa mencerminkan situasi sesungguhnya, karena jawaban peserta mungkin disebabkan kesalahan memahami pertanyaan yang diajukan para surveior atau bahkan beberapa surveior melakukan kebohongan dengan cara mengisi sendiri lembar surveinya. Pengabaian fakta sosial toleransi di tanah air membuat kesimpulan penulis, hanya dengan persepsi, menjadi banal.
Sebagai kesimpulan, berdasarkan beberapa hal yang saya jelaskan di atas, saya berpandangan bahwa tulisan jurnal dari Mitzner dan Muhtadi tampaknya tidak menampilkan sebuah potret yang holistik tentang keberadaan NU, karena hanya berdasarkan pada survei persepsi yang sangat bersifat permukaan dan rawan terjadi manipulasi persepsi dan sikap para informan. Selain itu, tulisan tersebut tidak menyertakan hasil wawancara mendalam para informan serta mengabaikan fakta-fakta toleransi yang dipertunjukkan komunitas NU di tanah air. Sebagai sebuah akibat, kesimpulan kedua penulis paper yang menyatakan bahwa pluralisme di NU adalah mitos dan juga pengikut NU intoleran, bahkan lebih intoleran, dari komunitas Muslim lainnya adalah hal yang tidak tepat dan meragukan. []