Rina Zuliana Mahasiswa Pascasarjana program S3 UGM

Ulama itu Harus Berpandangan Nasionalis sekaligus Agamis

2 min read

Ada satu pertanyaan mendasar yang masih relevan hingga saat ini terkait dengan Islam politik yaitu apakah Islam memiliki gagasan politik. Sejauh ini banyak yang memiliki pandangan tentang gagasan politik yang bersumber dari Islam.

Pertanyaan itu seringkali muncul dan masih juga sering menjadi perdebatan di kalangan umat Islam. Pasca meninggalnya nabi hingga munculnya sistem negara-bangsa, perpolitikan Islam tidak menunjukkan gagasan yang pakem. Dalam sejarahnya, praktik politik Islam bersifat dinamis. Bentuk dan sistemnya menyesuaikan dengan kondisi global.

Ketika Islam di masa kerajaan, umat Islam menampilkan sistem dan bentuk kekhalifahan dan ini sesuai dengan realitas historis waktu itu. Berbagai diskursus tentang pemimpin ideal dan bentuk pemerintahan turut mengiringi adanya praktik politik tersebut. Pemikiran negara ideal Al Farabi, teori kepemimpinan Al Mawardi hingga ibn Taymiyyah tidak menampilkan gagasan yang sama.

Begitu juga ketika sistem negara bangsa terbentuk. Gagasan negara ideal ala Sayyid Qutb dari Mesir hingga KH. Hasyim Asyari dari Indonesia juga tidak menampilkan gagasan yang serupa. Ini menunjukkan bahwa tidak ada landasan yang konkrit bagaimana umat Islam harus mengelola negaranya. Semua diserahkan pada dinamika peradaban umat manusia.

Dalam kontek ini, bukan berarti Islam tidak memiliki gagasan politik. Gagasan Islam politik direpesentasikan melalui nilai universal seperti kejujuran, keadilan, kemaslahatan, perdamaian, dan ajaran lainnya. Nilai-nilai ini bisa diterima oleh semua sistem dan bentuk politik peradaban manusia.

Dari semua realitas kondisi umat Islam di seluruh dunia, Islam Indonesia untuk saat ini bisa menjadi contoh bagi umat Islam di negara lain, baik dalam bentuk praktik politik maupun dalam bentuk gagasan Islam politik.

Banyak negara yang memiliki para ulama teolog yang faham tentang ajaran Islam dan mampu mengembangkan gagasan tersebut, namun gagasannya tidak didukung dengan realitas historis yang ada. Ada juga negara yang memiliki realitas historis yang beragam namun belum memiliki ulama yg mampu mengontekstualisasikan ajaran islam.

Baca Juga  Menyoal Arah Pengembangan MAPK Masa Depan

Beda dengan Indonesia yang memiliki kedua aspek itu. Dalam sisi ulama muslim, Indonesia dianugerahi ulama yang memiliki pemikiran akomodatif, ulama yang mampu menjadi penggerak umat dalam koridor kebangsaan cum keislaman. Ulama Indonesia mampu memproduksi gagasan Islam politik yang substantif sehingga mampu masuk dalam alam bawah sadar umat muslim Indonesia. Semua gagasan mengenai Islam politik diambil dari sumber teks Alqur’an dan hadis dan diterjemahkan ke dalam bahasa yang bisa diterima oleh semua elemen keragaman Indonesia.

Keadaan tersebut didukung dengan realitas historis muslim Indonesia yang sejak awal dikenal dengan keragamannya. Secara praktik muslim Indonesia telah memberikan contoh bagaimana cara hidup dengan nilai toleransi, perdamaian, persahabatan, persatuan, dalam hidup keseharian. Keragaman agama, suku, dan ras tidak menjadi persoalan apabila nilai Islam yang diterjemahkan mampu diterima oleh semua kalangan. Tidak perlu berwujud formalis, cukup substantif asalkan merepresentasikan nilai keislaman.

Ini bukan hadiah yang turun dari langit begitu saja. Proses Islamisasi dan dinamisasi membutuhkan waktu yang panjang, pemahaman yang kuat atas Islam di satu sisi dan nasionalisme di sisi lain. Pendekatan dimensi fiqih, spiritualitas (tasawuf), dan akidah mampu diterjemahkan ke dalam bahasa yang mudah dipahami oleh orang awam. Ketiganya dikorelasikan dengan baik oleh ulama dulu dan menghasilkan laku spiritual dan religiusitas yang inklusif, tidak terkotak-kotakan, dan yang paling penting mampu untuk menahan ego sektoral.

Dalam koridor kebangssaan dan nasionalisme, ulama dulu telah memahami bahwa identitas lokal berbeda dengan agama. Di semua tempat Islam akan tetap sama, menjalankan shalat lima waktu, puasa, zakat, dan haji. Namun yang membedakan adalah persoalan muamalah yang masing-masing bangsa memiliki karakteristiknya sendiri. Persoalan relasi antar manusia diserahkan kepada hasil ijtihad manusia sendiri, termasuk perihal politik.

Baca Juga  Melawan Kebencian dan Menebar Cinta-Kasih dengan Musik

Pembedaan urusan relasi manusia dengan akidah bisa diambil contoh ketika negara menerapkan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) dan menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal organisasi. Beberapa ormas Islam maupun tokoh muslim menolak Pancasila sebagai asas tunggal karena dinilai melanggar akidah. Namun beberapa ulama lain, seperti KH. Achmad Shiddiq dan Gus Dur melihat dari sisi pembedaan atau diferensiasi. Pancasila digunakan untuk mengatur relasi antar manusia, tidak bisa dianggap sebagai agama, sedangkan Islam adalah agama bukan ideologi atau pandangan politik.

Contoh di atas adalah bukti bagaimana ulama dulu telah berhasil mendialogkan urusan agama dan urusan negara. Masing-masing unsur itu diletakkan pada koridor tertentu sehingga tidak ada tumpang tindih dan saling toleransi. Kedua elemen itu juga tidak bisa dipisahkan sebagaimana konsep awal negara sekuler. M Hatta pernah mengatakan kalau agama bisa memberikan nilai-nilai filosofis dalam agamanya untuk mengisi nilai kebangsaan. Begitu juga negara, bisa berkembang dan bertahan apabila ada nilai kuat yang diyakini oleh warga negaranya.

Modal pengetahuan dan praktik keberislaman di atas merupakan anugerah yang diberikan Tuhan kepada bangsa Indonesia. Tatkala umat Islam di luar Indonesia masih ada yang didiskrimansi, masih terjadi konflik antar pandangan pemahaman, maupun konflik lainnya, umat Islam Indonesia telah hidup damai baik dengan warga negara negara maupun dengan negara. [AA]

Rina Zuliana Mahasiswa Pascasarjana program S3 UGM