Melawan Kebencian dan Menebar Cinta-Kasih dengan Musik

2 min read

Di era digital ini kita dimudahkan dengan perkembangan teknologi yang sangat pesat. Hal ini sejalan dengan kemajuan di bidang informasi yang tentunya sangat memudahkan dalam mencari informasi mengenai apa saja. Namun, di sisi lain kita  belum dapat merumuskan bagaimana cara melawan banyaknya informasi semacam hoax. Begitu derasnya berita bohong mengalir bagaikan tsunami yang tidak ada yang dapat menahannya kecuali bangunan-bangunan yang sangat kokoh.

Berita-berita negatif tersebut seringkali sengaja dimanfaatkan untuk membangkitkan kebencian kepada pihak yang tidak sependapat atau kubu lawan politik. Misalnya, munculnya dikotomi cebong vs kampret pada saat pilpres 2019 kemarin menjadi bukti nyata bahwa sebagian orang memang sengaja memanfaatkan media demi kepentingan politis tanpa menghiraukan kebenaran informasi yang disampaikan. Ironinya, meskipun dewasa ini dua istilah tersebut tidak terlalu terdengar lagi penggunaanya, namun efeknya masih terasa sampai saat ini.

Kebencaian semacam itu lah yang sangat membahayakan bagi peradaban manusia khusunya di Indonesia. Kita perlu belajar kepada timur tengah bahwa narasi hoax  dapat meluluhlantakkan kehidupan di sana yang dulunya dapat dikatakan sebagai wilayah yang berperadaban maju dan damai. Kita juga perlu belajar pada Amerika Serikat dapat memunculkan Donald Trump sebagai presiden dengan mengandalkan narasi hoax.

Lantas, dengan banyaknya pesan kebencian yang bertebaran di dunia maya ini, sebagian orng mungkin akan mempertanyakan apakah kebencian itu memang sebuah fitrah pada diri manusia.

Mengutip pernyataan dari Prof. Ariel Heryanto bahwa kebencian itu seperti halnya membaca dan menulis, ia merupakan hasil pengajaran entah di dalam keluarga, di tempat kerja, di tempat ibadah, atau di sekolah yang dibiayai oleh negara. Maka penulis setuju bahwa manusia tidak terlahir dengan kebencian. Bahkan, manusia terlahir hanya dengan cinta, yaitu cinta Tuhannya, cinta orang tuanya. Tanpa diajaripun manusia bisa merasa mencintai dan merasa dicintai walaupun belum sadar dan belum mengerti artinya.

Baca Juga  Mengapa Islamisme bukanlah Islam?

Dengan cinta kita dapat mepertahankan peradaban yanag agung. Dengan cinta kita dapat memelihara harmonisasi alam yang tentunya juga dapat menjaga kelestarian alam, menjaga hubungan antar makhluk hidup, serta yang paling penting adalah kesesuaian dengan kehendak Sang Maha Cinta.

Musik sebagai Media Counter Kebencian

Sebagai seorang yang bergelut dalam dunia musik, saya meyakini bahwa satu hal yang paling dekat dengan cinta adalah keindahan. Menyukai keindahan adalah kodrat manusia. Sejak pertama kali diciptakan, manusia sudah dibekali naluri untuk menyukai keindahan. Itulah kenapa sejak dahulu manusia selalu terobsesi untuk meraih surga yang digambarkan dengan penuh keindahan di dalamnya.

Obsesi tentang keindahan surga ini tentu sangat baik, akan tetapi sangat berbahaya ketika obsesi itu tidak mengindahkan harmonisasi kehidupan. Inilah yang dilakukan oleh kalangan radikalis agama. Bahwa keberagaman di dunia ini adalah fitrah dan mereka dengan doktrinnya merusak harmonisasi ini untuk obsesinya kepada surga.

Keberagaman ini seperti halnya komposisi musik, ia tersusun oleh berbagai nada yang berbeda, instrumen yang berbeda, irama yang berbeda tetapi dapat menghasilkan suara yang begitu indah. Bahkan musik merupakan seni yang paling bisa memperngaruhi perasaan manusia. Itulah kenapa para sufi seperti Jalaludin Rumi menggunakan musik sebagai media untuk mendekatkan diri kepada Tuhannya yang tentunya termanifestasi dalam perilakunya yang sangat menjunjung tinggi kemanusiaan.

Namun, bagi sebagian kalangan, musik diyakini sebagai sesuatu yang haram. Terkiat dengan hal ini, memang dalam agama Islam ada beberapa bahkan jumhur ulama berpendapat bahwa musik itu haram berdasarkan hadis Nabi. Akan tetapi ada beberapa ulama yang memperbolehkannya. Mengenai keharaman musik itu sendiri tentu perlu dikaji lebih dalam apakah keharaman itu mutlak atau ada illatnya.

Kita perlu mengerti terlebih dahulu unsur-unsur musik itu antara lain, nada, irama, harmoni, dan timbre. Keempat unsur ini sebenarnya selalu ada di sekitar kita, mulai dari suara burung yang berkicauan, suara jangkrik, suara kendaraan bermotor yang teratur, suara langkah kaki dengan tempo yang tetap, bahkan suara manusia yang diatur sedemikian rupa (acapella) dapat dikatakan sebagai musik.

Baca Juga  Agamawan: Melayani Atau Dilayani Umat?

Dengan demikian, saya termasuk orang yang mempercayai bahwasannya music bukan sesuatu yang haram di mata agama karena bagi saya dan banyak juga kalangan sufi seperti yang telah saya singgung tadi. Alih-alih meninggalkannya, musik justru mampu menjadi sebuah media untuk mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Bukankah Tuhan adalah zat yang Maha Indah dan mencintai keindahan.

Akhirnya, saya meyakini bahwa dengan musik, seseorang bisa menjadi manusia yang seutuhnya, menyebarkan cinta dan kedamaian dan meng-counter kebencian. Wallahu a’lam… (AA).