Muh Rizaldi Mahasiswa Magister Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Menangkal Arus De-otorisasi Agama di Media Sosial dengan Spirit Jawami’ al-Kalim, Mungkinkah?

2 min read

Apa yang diutarakan oleh Stig Hjarvard dalam salah satu artikelnya yang bertajuk ‘The mediatisation of religion: Theorising religion, media and social change’ belakangan ini terus terngiang-ngiang dalam benak penulis. Pasalnya, beberapa argumen yang ditawarkan oleh Hjarvard tampak masih sangat relate dengan diskursus keberagamaan di media sosial dewasa ini. Padahal, Hjarvard menulis dan mempublikasikan artikelnya kurang lebih dua puluh tiga tahun silam. Meski terkesan sangat teoritis, tidak berlebihan jika dikatakan, Hjarvard berhasil menggugah keresahan akademik dan teologis setiap pembacanya.

Di antara argumen Hjarvard yang cukup ‘menggelitik’ bagi penulis—jika di terjemahkan, kurang lebih maknanya—bahwa, “media mengandung bahaya atas sifatnya yang memaksa logika media atas agama”. Sekilas, argumen ini terlihat sederhana secara redaksional namun memahaminya tentu tidak sesederhana redaksinya. Irwan Abdullah (guru besar Antropologi UGM) dalam salah satu artikelnya, pernah mengulas terkait hal ini dan menawarkan beberapa kategorisasi, salah satu di antaranya terkait divergensi agama. Yakni, terbukanya ruang partisipasi publik dalam produksi pengetahuan agama hingga menggeser keberadaan tokoh dan pola komunikasi agama.

Kemampuan media yang berhasil mempersempit jarak, waktu dan mempertemukan manusia, wacana dan makna dalam berbagai bentuk komunikasi yang lebih konvergen menjadi pemicu utama terjadinya divergensi agama di media sosial. Persebaran ajaran agama yang sebelumnya didasarkan pada keberadaan tokoh yang memiliki otoritas keilmuan telah bergeser di ruang media dengan menjauhkan pemeluk agama dari ketokohan tersebut (de-otorisasi). Hal ini semakin diperparah oleh logika media yang menuntut kompleksitas ajaran agama dikemas dalam bentuk yang sederhana.

Kecenderungan ini bagi penulis sangat mengkhawatirkan untuk keberlangsungan produksi pengetahuan agama di media sosial. Pasalnya, perbincangan tentang ajaran agama berbeda jauh dengan persoalan yang lain. Otoritas keilmuan dan kompleksitas narasinya sudah menjadi kodratnya yang tidak boleh bergeser. Ketika keduanya bergeser maka akan berdampak pendangkalan, distori hingga eksploitasi ajaran agama. Di sinilah letak keresahan kenapa penulis menguraikan tajuk ini.

Baca Juga  Pekerja Migran dalam Pusaran Paham Ekstremisme Agama

Meredam keresahan ini cukup dilematik, sebab persinggungan agama dan media menjadi sesuatu yang tak terhindarkan di era digital. Satu-satunya jalan untuk menyelesaikan persoalan ini yakni dengan merumuskan formulasi baru pola komunikasi agama di ruang media. Pola transmisi ajaran agama yang identik dengan narasi yang panjang-lebar, sebisa mungkin harus ‘direduksi’ dalam bentuk yang lebih sederhana.

Pertanyaan mendasar dari formulasi di atas, apa ia sikap menyederhanakan kompleksitas ajaran agama bisa menjadi solusi? Sebagian orang akan berkata—tentu tidak—sebab, itu justru akan menyeret ajaran agama pada pendangkalan makna. Tapi, dengan melihat hadis tentang spirit diutusnya Nabi dengan jawami’ al-kalim jawaban sejenis itu dengan sendirinya terbantahkan. Berikut redaksi hadis ini dalam kitab Sahih al-Bukhari:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ [ص:92]، قَالَ: «بُعِثْتُ بِجَوَامِعِ الكَلِمِ، وَنُصِرْتُ بِالرُّعْبِ، وَبَيْنَا أَنَا نَائِمٌ رَأَيْتُنِي أُتِيتُ بِمَفَاتِيحِ خَزَائِنِ الأَرْضِ فَوُضِعَتْ فِي يَدِي»

Artinya: Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah saw bersabda, “Aku diutus dengan kalimat singkat dan padat makna, dan aku ditolong dengan rasa takut yang dihunjamkan dalam dada musuh-musuhku, dan aku tidur, aku bermimpi diberi kunci-kunci perbendaharaan bumi lantas diletakan di tanganku.(HR. Al-Bukhari).

Imam al-Bukhari dalam karyanya—Sahih al-Bukhari—menempatkan hadis di atas dalam Kitab al-I’tisam bi al-Kitab al-Sunnati pada bab Qaul al-Nabi sallalahu alaihi wa sallam Buistu bi Jawami’ al-Kalim. Ibn Hajar al-Asqalani dalam karyanya Fath al-Bari menguraikan bahwa, spirit ini terlihat jelas dalam berbagai redaksi sabda Nabi dengan jumlah yang cukup banyak. Syuhudi Ismail dalam karyanya—hadis yang tekstual dan kontekstual—yang kemudian dikembangkan oleh Arifuddin Ahmad—paradigma baru memahami hadis Nabi—memosisikan spirit jawami’ al-kalim Nabi Muhammad sebagai bagian dari unsur terpenting yang perlu diperhatikan dalam penerapan Ilmu Ma’ani al-Hadis. Kedua akademisi—guru besar—bidang hadis ini membincang hal tersebut dalam konteks sisi kemuliaan dan kecerdasan Nabi saw.

Baca Juga  Penyebaran Paham Ekstremisme Beragama di Sulawesi Selatan

Berdasarkan matan hadis dan uraian di atas, cukup jelas bahwa, menyederhanakan kompleksitas ajaran agama dalam bentuk konten di media sosial tidak menjadi persoalan, asalkan tetap didasarkan pada ketokohan yang memiliki keilmuan yang mapan . Layaknya Nabi yang dengan kecerdasannya mampu meramu sesuatu yang kompleks dalam bentuk kalimat yang singkat tapi padat akan makna. Dalam konteks ini, keberadaan tokoh yang memiliki otoritas keilmuan menjadi sesuatu yang tak tergantikan.

Hemat penulis, dengan formulasi jawami’ al-Kalim di atas, menangkal arus de-otorisasi di ruang media atau bahkan melakukan re-otorisasi kepakaran agama dapat dengan mudah dilakukan. Tentunya, kerja kolektif menjadi sesuatu yang amat penting. Dalam artian, antara tokoh agama dan tim kreator jalinan kerja sama harus terkoneksi dengan baik. Tokoh agama, dengan kecerdasannya harus mampu menghadirkan materi agama dalam bentuk jawami’ al-kalim dan tim kreator memiliki peran penting untuk mengemas materi itu dalam bentuk yang sesuai dengan algoritma media. Wallahu A’lam bi al-Shawab.

Muh Rizaldi Mahasiswa Magister Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta