Jika Orang Salih Tidak Boleh Kaya, Lalu Siapa Lagi?

2 min read

Kekayaan sering kali menjadi topik yang sensitif dalam berbagai diskusi keagamaan dan sosial. Di satu sisi, banyak orang yang melihat kekayaan sebagai sesuatu yang harus dihindari karena bisa membawa pada keserakahan, kesombongan, dan lupa kepada Tuhan. Di sisi lain, ada pula pandangan bahwa menjadi kaya adalah bagian dari rezeki yang diberikan oleh Tuhan, dan justru bisa menjadi sarana untuk berbuat kebaikan yang lebih luas.

Lantas ada sebuah kisah menarik dari Imam Syafi’i, seseorang yang dikenal sebagai sosok zuhud dan sederhana semasa hidupnya. Kisah ini dimulai dari perjalanan beliau dalam mencari ilmu. Yang mana awalnya beliau selalu berpikir, bahwa orang salih harus zuhud dari dunia, tidak cinta dunia, dan hidup dengan sederhana.

Imam syafii yang merasa skeptis terhadap orang kaya, terkejut saat mengetahui bahwa gurunya, Imam Malik, hidup dalam kemewahan. Imam Malik memiliki rumah besar, perabot mahal, pakaian mewah, dan gaya hidup yang tergolong ‘wah’ di zamannya. Meskipun demikian, Imam Malik adalah ulama yang sangat dihormati karena keilmuannya.

Imam Syafi’i, yang saat itu ingin berguru kepada Imam Malik, akhirnya diterima sebagai murid setelah melalui proses yang tidak mudah, bahkan harus melibatkan penguasa setempat. Setelah menyelesaikan pembelajarannya dengan menghafal kitab “Al-Muwatha” dalam waktu singkat, Imam Malik mengarahkan Imam Syafi’i untuk melanjutkan belajar kepada Imam Muhammad bin Hasan, murid terbaik Imam Abu Hanifah, di Baghdad. Imam Malik bahkan memberikan biaya yang cukup besar untuk perjalanan Imam Syafi’i.

Ketika tiba di rumah Imam Muhammad bin Hasan, Imam Syafi’i kembali terkejut melihat kemewahan rumah dan kekayaan yang dimiliki oleh sang ulama. Melihat Imam Syafi’i seperti terlihat aneh saat menyaksikan hartanya yang begitu banyak, Muhammad bin Hasan Asy-Syaiban langung berucap: “Anda kagum dan  kaget melihat orang salih yang kaya. Kalau begitu bagaimana jika harta saya berikan saja kepada orang-orang fasik biar dipakai untuk maksiat?” Lalu Imam Syafi’i menjawab: “Jangan, jangan, harta ini harus tetap di tangan orang salih. Kalau jatuh ke tangan orang fasik, akan berbahaya.”

Baca Juga  Kepemimpinan Demokratis di Era Pandemi

Pada banyak ajaran agama, kekayaan dilihat sebagai anugerah dari Tuhan yang bisa digunakan untuk kebaikan. Orang saleh tidak dilarang untuk menjadi kaya, selama kekayaan tersebut diperoleh dengan cara yang halal dan digunakan untuk tujuan yang baik. Dalam Islam, misalnya, Nabi Muhammad SAW adalah seorang pedagang yang sukses, dan banyak sahabatnya yang juga dikenal kaya raya seperti Utsman bin Affan dan Abdurrahman bin Auf.

Dialog antara Imam Syafi’i dengan Muhammad bin Hasan Asy-Syaiban ini mengisyaratkan bahwa orang alim, orang salih boleh bahkan harus menguasai harta. Sebab jika harta dikuasai orang fasik, maka akan menimbulkan mudarat dan maksiat. Setelah peristiwa itu, kemudian pendapat-pendapat Imam Syafi’i kepada duniawi mulai berubah. Bahkan beliau mengatakan jika kafir zimmy mempunyai rumah dengan lantai satu, maka orang Islam harus memiliki rumah lebih daripada itu. Jadi izzah atau harga diri itu harus berada di tangan umat Islam. Jika harta di tangan orang baik akan menimbulkan kemaslahatan untuk seluruh umat,  bangsa dan negara. Jangan sampai berada di tangan orang yang dholim.

Dari kisah di atas, jika umat Islam tidak kaya, lalu umat lain kaya, maka umat Islam akan sulit berkontribusi. Apalagi jika uang itu beredar lebih banyak ditangan orang- orang jahat, maka indikasi masyarakat akan menjadi rusak. Tetapi, bila uang beredar di tangan orang- orang salih, indikasi masyarakat bisa semakin sehat dan sejahtera.

Uang akan bermanfaat bila berada di tangan orang yang baik karena uang itu akan mengalir di saluran- saluran yang baik. Dengan kekayaan, umat Islam dapat membangun sekolah, masjid, panti asuhan, membantu orang-orang miskin, dan mendukung berbagai kegiatan sosial lainnya. Kekayaan dapat menjadi alat yang sangat kuat untuk mendukung dan memperluas dampak kebaikan di masyarakat. Ini tentu saja tergantung pada niat dan tindakan orang yang memiliki kekayaan tersebut.

Baca Juga  Kuntowijoyo dari Mencari Tuhan sampai Khotbah di Atas Bukit

Orang saleh tidak hanya boleh kaya, tetapi justru diharapkan mampu mengelola kekayaan mereka dengan baik untuk kebaikan yang lebih luas. Kekayaan adalah ujian, tetapi juga kesempatan besar untuk memberi manfaat kepada sesama dan memperjuangkan keadilan sosial. Pada akhirnya, yang terpenting bukanlah seberapa banyak harta yang dimiliki, tetapi bagaimana harta tersebut diperoleh dan digunakan.  Mereka yang memiliki hati yang baik, iman yang kuat, dan niat untuk berbuat kebaikan seharusnya tidak takut untuk menjadi kaya, karena melalui kekayaan mereka dapat memperluas dampak positif di dunia ini.