Kolonialisme, sepanjang sejarahnya, tidak hanya menjadi proyek eksploitasi ekonomi, melainkan juga menaburkan narasi diskursif dan kultural yang patut dicurigai. Di antara berbagai wacana yang digunakan oleh kekuatan kolonial, gagasan “misi pemberadaban” (mission civilisatrice) muncul sebagai kerangka kerja utama untuk melegitimasi penaklukan masyarakat terjajah.
Misi pemberadaban ini didasarkan pada keharusan moral untuk mendidik, mencerahkan, dan “mengangkat” apa yang disebut populasi “biadab”, “barbar”, “terbelakang”, dan semisalnya. Feminisme, khususnya dalam konteks proyek kolonial, menjadi salah satu alat untuk memperkuat misi pemberadaban ini.
Dengan kedok memperjuangkan hak-hak dan pembebasan perempuan, kekuatan kolonial berusaha memaksakan gagasan Barat tentang keperempuanan dan kemajuan pada perempuan terjajah, mengabaikan kompleksitas dan nuansa budaya, sejarah, dan identitas mereka.
Feminis kolonial, yang sering kali dipengaruhi oleh gagasan Aufklärung tentang hak dan kebebasan universal, memandang diri mereka sebagai agen kemajuan sehingga merasa perlu memperluas nilai-nilai modernitas Barat ke masyarakat “terbelakang”.
Mereka melihat “perempuan pribumi” sebagai lambang penindasan—ditundukkan oleh norma-norma budaya “primitif”, seperti perjodohan, jilbab, atau poligami. Para feminis kolonial menganggap bahwa adalah tanggung jawab moral mereka untuk “menyelamatkan” para perempuan ini dari patriarki yang mereka anggap melekat dalam masyarakat non-Barat. Namun, persepsi ini berakar pada kesalahpahaman yang mendalam tentang hubungan yang rumit antara gender, budaya, dan kekuasaan di wilayah-wilayah ini.
Salah satu prinsip utama feminisme kolonial adalah asumsi bahwa perempuan Barat telah mencapai tingkat kebebasan dan agensi yang lebih tinggi dibandingkan dengan rekan-rekan mereka di belahan dunia yang dijajah. Hal ini menciptakan narasi hierarkis di mana Barat dipandang sebagai puncak dan sentral peradaban, dengan perempuan Barat diposisikan sebagai panutan utama bagi perempuan yang tertindas di wilayah koloni.
Feminis kolonial membingkai intervensi mereka sebagai upaya kemanusiaan, mengabaikan kenyataan bahwa sistem yang mereka advokasi sering kali terikat pada struktur kekuasaan dan dominasi kolonial yang menindas baik perempuan maupun laki-laki di dunia yang dijajah.
Menguniversalkan Keperempuanan
Salah satu konsekuensi paling luas dari feminisme kolonial adalah kecenderungannya untuk menguniversalkan apa artinya menjadi seorang perempuan. Kerangka universalisasi ini, yang berakar pada feminisme liberal dan radikal Barat, mengabaikan keberagaman pengalaman perempuan dan konteks sosiopolitik spesifik masyarakat yang dijajah.
Bagi feminis kolonial, menjadi seorang perempuan berarti memiliki keinginan, perjuangan, dan tujuan yang sama dengan perempuan di Barat. Namun, asumsi ini memaksakan homogenitas sehingga menghapus heterogenitas suara dan realitas hidup perempuan—dari apa yang disebut—”Dunia Ketiga”.
Misalnya, praktik seperti jilbab di masyarakat muslim dipandang sebagai simbol penindasan perempuan oleh feminis kolonial. Hal ini menyebabkan semaraknya kampanye untuk melarang dan menstereotipekan jilbab di berbagai wilayah jajahan dengan dalih untuk membebaskan perempuan.
Yang gagal dipahami oleh para feminis ini adalah bahwa jilbab, dalam banyak kasus, bukan sekadar penanda kendali patriarki, tetapi juga simbol budaya, agama, dan bahkan politik yang kompleks. Bagi sebagian perempuan, jilbab melambangkan otonomi, identitas, dan perlawanan terhadap cengkeraman kolonial.
Pemberlakuan aturan berpakaian Barat sering kali dilihat oleh perempuan terjajah sebagai perpanjangan dari dominasi kolonial, alih-alih jalan menuju pembebasan. Lebih lanjut, para feminis kolonial jarang mempertanyakan asumsi budaya mereka sendiri, sehingga memperkuat hierarki kolonial yang mereka klaim untuk ditentang.
Logika yang sama berlaku untuk aspek lain dalam kehidupan perempuan Dunia Ketiga. Para feminis kolonial yang mempromosikan cita-cita Barat tentang keluarga, pernikahan, dan seksualitas, sering kali mengabaikan fakta bahwa cita-cita ini dibentuk oleh keadaan historis dan budaya Eropa yang spesifik. Asumsi bahwa norma-norma Barat berlaku secara universal berarti bahwa perempuan Dunia Ketiga dinilai menurut standar yang tidak selaras dengan realitas hidup mereka.
Orientalisme Feminis: Memperkuat Stereotipe
Perempuan feminis kolonial juga bersinggungan dengan apa yang oleh para cendekiawan disebut sebagai “Orientalisme Feminis”. Orientalisme, sebagaimana yang dianalisis secara masyhur oleh Edward Said, merujuk pada cara Barat mengonstruksi Timur sebagai Yang Lain yang eksotis, terbelakang, dan inferior.
Orientalisme Feminis secara khusus berfokus pada cara-cara di mana “perempuan Oriental” digambarkan sebagai korban utama dari budayanya sendiri sehingga membutuhkan uluran tangan orang-orang Barat. Feminis kolonial sering menggambarkan perempuan dari masyarakat terjajah sebagai orang yang pasif, tidak bersuara, dan tidak mampu bertindak, sehingga memosisikan diri mereka sebagai penyelamat (messiah) yang akan membawa pencerahan dan pembebasan.
Dinamika ini dapat dilihat dari cara feminis Inggris terlibat dengan isu sati di India, praktik di mana seorang janda akan membakar diri di atas api pembakaran jenazah suaminya. Meskipun praktik ini tidak diragukan lagi berbahaya, intervensi feminis Inggris bukanlah tentang melibatkan perempuan India atau memahami perspektif mereka.
Sebaliknya, hal itu menjadi titik kumpul bagi superioritas moral Barat, dan pemberantasan sati dibingkai sebagai kemenangan peradaban Inggris atas kebiadaban India. Suara perempuan India dikesampingkan dalam narasi ini, karena wacana kolonial memprioritaskan otoritas moral Barat.
Warisan Feminisme Kolonial: Implikasi Kontemporer
Warisan feminisme kolonial terus bergema dalam wacana feminis kontemporer, terutama dalam cara feminisme Barat sering berbicara untuk atau tentang perempuan dari belahan dunia lain tanpa melibatkan mereka secara memadai. Iterasi feminisme kolonial zaman modern dapat dilihat dalam inisiatif pembangunan internasional.
Intervensi ini sering gagal memperhitungkan konteks, sejarah, dan keinginan lokal perempuan yang mereka klaim untuk dibantu, yang mengakibatkan bentuk-bentuk baru imperialisme budaya.
Para cendekiawan feminis lain seperti Chandra T. Mohanty, telah mengkritik pendekatan ini, dengan menyatakan bahwa feminis Barat harus menghadapi keterlibatan mereka sendiri dalam sistem kekuasaan global.
Mohanty menunjukkan bahwa perempuan Dunia Ketiga sering kali dibingkai sebagai kelompok yang homogen dan tertindas, padahal pada kenyataannya, pengalaman mereka dibentuk oleh berbagai faktor seperti kelas, ras, agama, dan sejarah kolonial. Ia menyerukan feminisme yang berakar pada solidaritas, bukan penyelamatan—dengan kata lain, feminisme yang mendengarkan dan bekerja sama dengan perempuan dari berbagai budaya, daripada memaksakan solusi yang sama untuk semua orang.
Sebagai kesimpulan, feminisme kolonial, dengan kedok misi pemberadaban, memaksakan cita-cita Barat tentang keperempuanan ke masyarakat terjajah, menghapus berbagai pengalaman dan suara perempuan Dunia Ketiga.
Meskipun mengklaim untuk membebaskan, feminisme kolonial sering kali memperkuat struktur dominasi kolonial, menyingkirkan perempuan yang sebenarnya ingin ditolongnya. Saat ini, sangat penting bagi kaum feminis untuk mengenali warisan wacana ini dan berupaya menuju pendekatan yang lebih inklusif dan peka terhadap konteks yang benar-benar memberdayakan perempuan di berbagai budaya dan sejarah.