Tasawuf merupakan suatu usaha yang dilakukan seorang Muslim dalam rangka menyucikan dirinya dari segala hal yang bersifat keduniawian dan lebih memusatkan dirinya untuk beribadah kepada Allah SWT.
Selain itu, tasawuf juga dimaknai sebagai upaya untuk memperindah diri dengan akhlak yang mulia yang tujuan untuk lebih dekat dengan Sang Pencipta. Banyak sekali manfaat tasawuf bagi kehidupan beragama manusia yakni dapat membersihkan diri dari pengaruh duniawi, menumbuhkan dan memperteguh keyakinan agama, dan memperbaiki akhlak manusia.
Ajaran tasawuf dengan menempuh jalan tarekat sudah menyebar luas di kalangan Muslim. Tarekat-tarekat tersebut antara lain: Tarekat Syadziliyah dengan pendirinya ِِِAbu al-Hasan al-Syadzili, Tarekat Qadiriyah dengan pendirinya ‘Abdul Qadir al-Jilani, Tarekat Maulawiyah dengan pendirinya Jalal al-Din Rumi, Tarekat Naqsyabandiyah dengan pendirinya Muhammad ibn Baha’ al-Din, dan masih banyak lagi. Yang akan penulis bahas pada kesempatan kali ini adalah tarekat Syadziliyah yang dengan konsep zuhud-nya melalui perspektif dari sang pendiri yakni al-Syadzili.
Al-Syadzili atau yang bernama lengkap Ali bin Abdullah bin ‘Abd Al-Jabbar Abu al-Hasan al-Syadzili merupakan sosok pendiri tarekat Syadziliyah. Beliau lahir pada 1196 M di Maroko dan wafat pada 1258 M di Humaithara. Garis keturunan al-Syadzili mempunyai hubungan dengan Hasan bin Ali bin Abi Thalib yang tidak lain juga merupakan keturunan Nabi Muhammad SAW. Konon dalam fana–nya, ia pernah bertanya kepada Tuhan mengapa ia bernama al-Syadzili. Kemudian Tuhan menjawab bahwa nama al-Syadz adalah makna dari jarang, atau karena keistimewaanya yang selalu taat kepada-Nya.
Bagi al-Syadzili yang merupakan pendiri sebuah tarekat, dalam bertasawuf seorang harus menjalankan perintah Allah secara lahir dan batin. Karena akan percuma sebuah ibadah jika hanya tubuh yang menjalankan, tetapi hatinya berpaling dari Allah.
Yang menarik dari dari al-Syadzili adalah konsep zuhud-nya dalam bertasawuf. Zuhud secara garis besar yakni mengutamakan kehidupan akhirat dibandingkan kehidupan duniawi. Selain itu zuhud dapat didefinisikan sebagai pengosongan diri dari segala macam bentuk keduniawian dan memfokuskan untuk beribadah kepada Allah.
Menjauhkan diri dari gemerisik dunia yang melalaikan, mengalihkan, dan menyesatkan manusia dengan nikmat yang diberikan. Sehingga orang yang zuhud akan bersih hatinya dari perkara-perkara dunia.
Umumnya, para sufi yang berzuhud akan meminimalisir kehidupan duniawi seperti harta dan cara berpakaian agar tidak termakan oleh gemerlapnya dunia. Tetapi berbeda dengan ajaran zuhud dari al-Syadzili. Dalam ajaran zuhud al-Syadzili tidak dianjurkan untuk meninggalkan dunia secara berlebihan hingga lupa atas nikmat yang sudah diberikan.
Karena pada dasarnya, Allah memberikan nikmat kepada hamba-Nya untuk menambah rasa syukur seperti yang diajarkan al-Syadzili. Tetapi juga tidak melupakan ibadah kepada-Nya dan tidak menggunakan nikmat tersebut secara berlebihan karena akan mengarah pada bentuk kezaliman.
Ajaran zuhud al-Syadzili membolehkan para sālik atau orang yang sedang menjalankan perjalanan spiritualnya dengan bertasawuf untuk merasakan kenikmatan duniawi. Mereka dapat berambisi untuk menjadi kaya raya dan berpakaian yang sepadan dengan harta mereka. Memakan makanan yang enak sesuai dengan kebutuhan. Tapi kesemua itu tidak menjadi targetutama, karena akhirat adalah orientasi utamanya.
Al-Syadzili pernah mengatakan bahwa siapa saja yang ingin menjadi muridnya, maka tidak diperbolehkan untuk meminta-minta sesuatu kepada orang lain meskipun seseorang memberikan sesuatu itu secara cuma-cuma tanpa sebab. Al-Syadzili tidak menyarankan untuk mengambil kesempatan itu. Beliau juga mengatakan, jika seseorang ingin menjadi pengikut Rasulullah SAW, maka ikuti cara beliau dalam mendapat rezeki. Tidak boleh mengambil suatu upah dari pekerjaan yang tidak dikerjakan.
Konsep ajaran zuhud al-Syadzili bukan semata-mata ingin menghambur-hamburkan nikmat, tetapi bertujuan untuk memupuk rasa syukur dan memanfaatkannya sesuai dengan petunjuk dari Allah dan Rasul-Nya. Lain halnya dengan orang-orang yang menganggap bahwa nikmat adalah suatu keberuntungan yang harus dirayakan dengan mewah. “Lalai”, adalah satu kata untuk orang-orang yang senang ketika mendapatkan nikmat dunia tetapi lupa dengan Dzat yang memberi kenikmatan tersebut.
Namun, terkadang masih banyak manusia yang belum tahu seberapa besarnya nikmat dari-Nya, kecuali pada saat orang itu kehilangan nikmat tersebut. Jika diperumpamakan dengan nilai air, orang tidak akan tahu seberapa besar nilai air jika ia tidak dalam kondisi kehausan di tengah hutan. Orang yang tidak bisa menghargai suatu nikmat, maka nikmat tersebut akan dicabut tanpa sepengetahuannya. Karena itu, sekecil apapun nikmat baik itu hanya hembusan nafas akan terasa lebih nikmat lagi jika dihembuskan dengan rasa syukur. [MZ]