Kebangkitan luas pada aktifitas keislaman (Islamisme/fundamentalisme) di area berkebudayaan Islam atau negara-negara berpenduduk mayoritas Islam (khususnya di Timur Tengah), sering dilihat sebagai reaksi terhadap globalisasi-modernitas. Padahal, globalisasi, secara spesifik, juga merupakan bentuk pemangsa (predator) yang mematikan, sebagai dasar dari tumbuhnya Islamisme.
Islamisme menurut Bassam Tibi dalam buku Islamism and Islam (Yale Universisi Press (2012) lebih berkaitan dengan tatanan politik, bukan iman. Meski demikian, Islamisme bukanlah semata politik, tetapi politik yang di-agamaisasi-kan. Islamisme merupakan fenomena global tentang fundamentalisme religius yang memperalat agama untuk tujuan-tujuan politik.
Sedangkan, globalisasi sendiri menawarkan dunia tanpa batas yang sayangnya hanya bisa dinikmati oleh segelintir orang saja. Misalnya, benar bahwa globalisasi dalam konteks ekonomi telah banyak mengentaskan pengangguran, seperti pembukaan perusaan-perusahaan asing di Afrika yang mampu membuka lapangan pekerjaan bagi sebagian besar pengangguran, tetapi ini justru makin mempertajam jurang antara si kaya dan si miskin.
Globalisasi juga memungkinkan negara mengikuti sistem neo-liberalisme, akan tetapi, dalam konteks dunia Islam di Timur Tengah, sistem ini justru menjebak karena neo-liberalisme memungkinkan adanya pasar bebas yang makin mempersempit kontrol negara. Akibatnya, ada jarak antara negara dan rakyatnya.
Sekarang, mari kita lihat konteks globalisasi di negara-negara mayoritas Islam dan bagaimana problem akut itu terjalin antara Islam dan Barat. Selama ini, Barat masih menganggap Islam dengan sebelah mata, yaitu sebagai agama dan kelompok yang anti modern dan demokrasi. Gambaran ini terus disuarakan sehingga wajah dunia Islam seperti itu terus, tanpa ada perubahan.
Ini terjadi karena Barat menganggap kebudayaannya sebagai kebudayaan yang universal. Sementara universalitas Barat ini tentu saja tidak bisa diterima oleh dunia Islam secara luas. Akan tetapi, mayoritas negara-negara berpenduduk Muslim seperti di Timur Tengah yang tidak bisa menerima Barat ini kemudian dilihat sebagai fenomena anti modernitas.
Salah satu alasan penting mengapa negara-negara di Timur Tengah sulit menerima nilai-nilai dari Barat karena berasal dari watak perpolitikannya. Misalnya, sistem politik di negara-negara Timur Tengah tidak bisa memisahkan agama dan politik, dan pada titik inilah yang membuat mereka tidak bisa menerima neo-liberalisme dan sekulerisme. Mereka mau menerima demokrasi, tetapi yang berbasis pada agama.
Di seluruh dunia Islam, konflik terjadi tidak hanya antara rezim otoriter dan oposisi Islamis, tetapi juga antara Islamisme dan kelompok yang pro demokrasi liberal. Otokrasi (pemerintahan otoriter) mengatakan demokrasi itu asing bagi orang-orang Arab, sementara kalangan Islamis mengatakan demokrasi itu asing bagi Islam.
Lemahnya demokrasi di dunia Islam ini juga tidak bisa dijelaskan dengan mengacu pada imperialisme dan kolonialisme, atau dengan teori konsiprasi. Sebabnya, persepsi negatif terhadap demokrasi bukanlah warisan kolonialis, tetapi sistem demokrasi memang tidak pernah ada di dunia Islam.
Di Barat, sebagaimana diungkap Mustapha Kamal Pasha dalam Globalization and Democraty in the Islamic Word (2002), ada banyak anggapan bahwa umat Islam (oriental) adalah kelompok yang irasional. Sehingga ide-ide tentang demokrasi, kesetaraan, dan lainnya, banyak tertolak bagi dunia Islam.
Kelompok Islamisme sendiri bisa juga merupakan respon terhadap anggapan ini. Maksudnya, Islamisme itu sebenarnya juga orang-orang modern, tetapi tanpa kehadiran sekulerisme, dalam arti gerakan politik yang selalu menghadirkan agama.
Dalam The Challenge of Fundamentalisme terbitan University of California (1998), Bassam Tibi menyoroti bahwa paling tidak ada tiga tipologi dari gerakan Islamisme. Pertama, Islamisme yang secara resmi berkuasa, seperti Iran yang berkuasa melalui revolusi melawan modernisasi sekuler dan Sudan dengan perkembangan gerakan Islamis yang mengambil alih kekuasaan negara.
Kedua, Islamisme yang berdampingan dengan negara, seperti Pakistan dengan organisasi Jemaat Islami dan Malaysia dengan Angkatan Belia Islam (kalau di Indonesia mungkin seperti PKS). Ketiga, Islamisme menjadi rival negara, seperti di Siria, Maroko, Turki, Algeria, dan Mesir dengan berbagai variasinya.
Mengacu pada relasi antara negara-negara di Timur Tengah dan kalangan Islamisme, maka negara-negara di dunia Islam dihadapkan pada kondisi dilematis. Misalnya, jika negara mengakomodasi kelompok Islamisme, itu adalah bagian dari bunuh diri demokrasi.
Namun, bila negara menolak partisipasinya dalam politik, demokrasi juga menjadi inkonsitusional. Di sini ada upaya untuk membajak demokrasi oleh kalangan Islamis, dan jika pembajakan ini berhasil, maka akan membahayakan kesetaraan gender, hak-hak minoritas, dan lainnya.
Posisi dilematis juga tidak berhenti di sini, dunia Islam juga dihadapkan dengan kondisi dilematis ketika berhadapan dengan globalisasi, dan inilah watak ‘predator’ yang bisa mematikan bagi dunia Islam.
Misalnya, globalisasi yang berlangsung dengan sistem neo-liberal hanya akan melemahkan posisi negara, maksudnya, negara kemudian tidak memiliki kontrol. Mendukung Islamis juga akan melemahkan posisi negara, dan mendukung neo-liberal juga berakibat pada fatalnya distribusi ekonomi.
Bila negara-negara di kawasan Timur Tengah mengikuti pola neo-liberal, ini hanya akan menambah hegemini Barat dan melemahkan posisi Islamis yang secara kultural termarginalisasi. Tekanan negara terhadap Islamislah yang nantinya akan menjadikan mereka semakin ekstremis. Jadi, salah satu faktor lahirnya ekstremis itu karena suara mereka tidak akomidir oleh negara yang sah. Mengapa mereka bisa menjadi ekstremis? Karena (interpretasi) agama melegitimasi itu.
Globalisasi yang ‘Memangsa’
Alih-alih mengamini pendapat terdahulu yang mengatakan maraknya penggunaan identitas/simbol Islam dalam praktik politik sebagai fenomena anti globalisasi-modernisasi, justru yang terjadi sebaliknya, modernitas beserta wataknya yang ‘memangsa/presator’ justru menjadi faktor penting dalam menciptakan kondisi yang subur bagi maraknya Islamisme.
Melemahnya kapasitas negara-negara di dunia Islam dalam pemenuhan layanan sosial-ekomoni, yang berarti menurunkan pengaruhnya di mata warga/dunia, membuka jalan bagi neo-liberalisme, dan menciptakan jarak dengan warga.
‘Jarak’ yang melahirkan pengasingan secara politik mendorong negara menjadi semakin represif dan otoritarian, membatasi ruang ekspresi Islamisme, juga bisa menjadikan mereka mengarah pada ekstremisme.
Lalu apa solusi bagi dunia Islam? Tawaran yang sejauh ini paling masuk akal adalah membuka jalan bagi demokrasi liberal. Dalam konteks negara-negara di dunia Islam, ada penolakan yang meluas pada globalisasi neo-liberalisme. Juga, globalisasi ini pada tingkatan tertentu dianggap sebagai ‘iblis’.
Watak predator dari globalisasi (yang memicu lahirnya semua bentuk aksi-reaksi) bukannya menyuburkan bagi tatanan kehidupan yang lebih ideal, tetapi justru mengancam kelangsungan demokrasi liberal itu sendiri.
Berhasil tidaknya (prospect) sistem demokrasi liberal ini tergantung pada bagaimana resolusi dialektika internal di tubuh negara-negara dunia Islam. Sebabnya, syarat utama membangun masyarakat yang demokratis adalah dengan menyelenggarakan pemilu dan membangun budaya politik yang pluralis, menghargai kebebasan, kesetaraan, dan hak asasi. Dalam membangun budaya politik ini, negara-negara di dunia Islam masih membutuhkan waktu yang lama untuk mencapainya.
Rohmatul Izad. Kandidat Doktor Islamic Studies UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.