Istilah kebhinekaan sedang ramai diperbincangkan. Maklum, publik sedang ramai membincang baliho dan bilboard seorang politisi yang menggunakan istilah kebhinnekaan sebagai slogannya. Sebetulnya publik menunggu ada pesan apa dibalik istilah Kepak Sayap Kebhinekaan itu?
Seorang kawan berceletuk ” ah itu dia mencoba menafsirkan Q.S Al-Hujurat: 13 bro”, dari celetukan itu akhirnya membuatku buka tafsir yang mana arti dari surat Al-Hujurat: 13 sebagai berikut: “Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa.”
Kebhinekaan, keberagaman yang disampaikan oleh surat Al-Hujurat: 13 memang terlihat nyata, bahwa kita diciptakan beragam ini agar kita bisa saling mengenal dan memahami satu sama lain dalam satu bingkai humanis-religius. Akhir dari ayat itu dikatakan bahwa ” orang yang paling mulia di sisi Allah itu adalah yang paling bertakwa”, bukan dari suku mana, bukan karena jabatannya, bukan karena hartanya. Jelas itu.
Tapi muncul pertanyaan berikut, bertakwa itu apa? takwa ada yang menyebutkan menjahui segala laranganNya dan menjalankan segala perintahNya. Takwa dalam definisi ini muncul dari pemahaman Q.S. Al-Baqarah: 2-5 (perintah untuk beriman kepada hal-hal gaib, mendirikan shalat, dan menyedekahkan sebagian harta yang dimiliki) dan Q.S At-Tahrim: 6 (perintah agar keluarga dan diri sendiri dari api neraka).
Ilustrasi takwa bisa dilihat secara sederhana dari kisah Abu Hurairah. Suatu ketika, Abu Hurairah ditanya oleh seseorang, ”Wahai Abu Hurairah, apakah yang dimaksud dengan takwa itu?” Abu Hurairah tidak menjawab pertanyaan itu, tetapi memberikan satu ilustrasi.
”Pernahkah engkau melewati suatu jalan dan engkau melihat jalan itu penuh dengan duri? Bagaimana tindakanmu untuk melewatinya?” Orang itu menjawab, ”Apabila aku melihat duri, maka aku menghindarinya dan berjalan di tempat yang tidak ada durinya, atau aku langkahi duri-duri itu, atau aku mundur.” Abu Hurairah cepat berkata, ”Itulah dia takwa!” (HR Ibnu Abi Dunya).
Dengan demikian bisa kita lihat istilah takwa merujuk kepada tindakan, perbuatan yang tentunya mengarah keperbaikan. Tidak hanya jargon atau slogan.
Merujuk statement seorang kawan, yang menyikapi maraknya baliho dan bilboard yang mengumbar slogan itu ” Coba lepas jabatan yang melekat, turunlah ke masyarakat berdialog langsung dengan mereka tanpa ada sekat . Tampil dan bicara lah di forum-forum diskusi yang melibatkan banyak tokoh. Berdebat lah secara elegan lewat forum diskusi bisa di televisi ataupun panggung lain. Tunjukkan bahwa kau tokoh yang memang layak tanpa bayang bayang keluarga besar dan jabatan.
……
Publik butuh tahu seberapa cerdas anda dalam mengungkapkan visi dan publik menunggu seberapa besar pemahaman anda terhadap persoalan bangsa dan negara. Buktikan, jangan diam!”
Mungkin statement itu adalah definisi takwa versi kawan tersebut. Mengapa? karena dalam era pandemi seperti saat ini, rakyat membutuhkan kerja rill, bukan kerja seremonial, bukan hanya hiburan di sosial media dan bilbooard, tapi bagaimana bisa menyentuh relung paling dalam dari sisi kemanusiaan.
Tapi di luar itu kita tahu, bahwa dominasi elitis masih sangat dominan dam kehidupan sosial kebernegaran kita yang menyebabkan puncak tertinggi sangat jauh dari rakyat. Budaya elitis menjadikan kehidupan masyarakat didominasi oleh sekelompok kecil masyarakat dengan agitasi dan rayuan melalui tindakan tindakan ekonomi dan politik baik langsung maupun tidak langsung yang berakibat pada penyerahan pengambilan keputusan yang memiliki pengaruh besar kepada mekanisme politik.
Perruci & Pilisuk (1970) menyebutkan The elitist tradition has maintained the position that community life is dominated by a relatively small group of men with economic and political power who initiate, direct, and resolve that level of decision making which has major bearing upon the body politic.
Wis gini saja ngelihat ciri takwa “Khoirunnas anfauhum linnas”, manusia yang terbaik (takwa) adalah orang yang mampu memberikan kontribusi kebaikan kepada lingkungan sekitarnya. Maturnuwun